Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ruang Seminarium I, Universitas Wina, Greg Soetomo menayangkan rangkaian slide itu di depan sebagian peserta konferensi internasional Pax Romana-ICMICA. Tema konferensi—Time of Crises, Time to Share Vision and Actions; Searching for New Paradigms—rupanya menarik banyak peminat juga. Para filsuf, ekonom, teolog, antropolog, analis sosial, bahkan profesional semacam dokter dan insinyur dari 35 negara sudi melakukan perjalanan pribadi untuk hadir di Wina, Austria, pada awal Agustus lalu.
Sebagian ”pencari paradigma baru” tersebut tampak bertekun menyesap pendedahan pada Jumat siang itu. Greg, 48 tahun, adalah padri Yesuit dan Pemimpin Redaksi Hidup—mingguan Katolik berbasis di Jakarta. Tapi dia hadir di forum itu sebagai satu dari enam perwakilan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), yang merupakan anggota Pax Romana-ICMICA.
Greg sedang berbagi pengalaman dalam hal kekerasan atas nama agama di negerinya sejak Reformasi 1998, serta jatuh-bangunnya dialog antarkeyakinan dalam melawan fundamentalisme. Dia membuka ceritanya dengan periode yang disebutnya The Shadow. Peta Indonesia dimunculkan di layar karena para cerdik-pandai dalam ruangan itu belum tentu hafal letak negeri berpenduduk muslim terbesar di muka bumi ini.
Sang padri mencontohkan empat peristiwa berdarah yang menuntut korban nyawa dan menghancurkan kehidupan di banyak wilayah di masa penuh kabut itu. Di Ambon, pulau yang dilanda kerusuhan besar pertama di luar Jawa selepas Reformasi, ada konflik antara preman muslim dan Kristen pada 19 Januari 1999. Pertikaian kecil itu melebar, dan melontarkan Ambon ke latar penuh darah dan dendam: pulau itu tiba-tiba tersegregasi ke dalam dua wilayah secara ketat. Islam yang disebut ”putih” dan Kristen yang disebut ”merah”. Ada pasar khusus merah, pasar khusus putih, pelabuhan speedboat merah dan putih, becak merah dan putih, angkot merah dan putih, bank merah dan putih.
Cuaca di Wina pada Jumat siang itu terik bukan main. Pintu Seminarium I dibuka lebar-lebar. AC dan kipas angin berembus dari segala arah, tapi gagal menangkal hawa mendidih di bawah matahari musim panas. Tapi siapa peduli? Semua mata terpaku dalam sunyi ke layar monitor.
Beberapa peserta dari Afrika mulai menggeser kursi, dua perwakilan muslim dari Albania berbisik terlalu keras, sehingga melahirkan hardikan dari peserta lain. Margariette, profesor dari Prancis, mencengkeram kursi lalu berkata pelan: ”Mon Dieu, mais c’est grave—ya Tuhan, kok soalnya sebesar ini….”
Greg menaikkan slide pembakaran gereja di Jawa Tengah dan Jakarta, sebelum berpindah ke tragedi Ahmadiyah di Cikeusik, Jawa Barat, Februari 2011, serta konflik berdarah Syiah vs Sunni di Sampang, Madura, akhir Desember 2011. Pekan lalu, tatkala laporan ini ditulis, episode berdarah Syiah versus Sunni di Sampang terulang dengan korban nyawa.
Toh, kabut tak terus-menerus membayangi Indonesia. Master teologi dari Universitas Ateneo, Manila, itu beralih ke The Light Period. ”Di tengah masa-masa suram di negeri kami—yang dipicu oleh fundamentalisme agama—kegiatan prorekonsiliasi, propluralisme di Indonesia tetap hidup, berkembang, dan meniupkan harapan,” Greg menegaskan. Terutama melalui kerja sama di level basis antarumat Islam dan Nasrani yang berkembang menjadi jaringan yang kuat dan luas.
Contoh-contoh dimunculkan: pela gandong di Ambon, rekonsiliasi Malino di Poso, hubungan antara umat Islam dan Nasrani yang begitu guyupb aja, hingga Flores. Presentasi selesai. Lampu dihidupkan, dan diskusi pun memanas tatkala Margariette membela keputusan pemerintahnya dalam soal jilbab, yang menurut perwakilan muslim Austria ”tak sebebas di negara kami”. Profesor Angjelin Shtjefni dari Albania memekik minta waktu membacakan tiga halaman narasi, karena ”di negeri kami, penderitaan umat Islam pun tak terperikan dalam beberapa pembantaian”.
Tampillah Adrian Pareira, seorang pegiat ICMICA di Malaysia yang sudah khatam dalam urusan debat interfaith bertegangan tinggi. Suaranya tenang dan jernih, menurunkan tensi. ”Bila diskusi ini hendak kita teruskan dengan berbuah baik, janganlah berkutat di urusan detail agama, atau pada penderitaan masing-masing. We have to go further, beyond religious issue,” ujarnya.
NARASI Greg Soetomo tidak lahir dari ruang kosong. Padri Yesuit ini datang dengan bekal cukup. Selama empat tahun sejak 2009, Greg memandu para Yesuit muda, calon-calon imam, untuk menempuh program live-in di sejumlah pesantren di Jawa. Dari Pesantren Edi Mancoro di Salatiga, Jawa Tengah, hingga Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur (lihat Santri-santri Yesuit).
Senior Greg di Serikat Yesus, Heru Prakosa, adalah penggagas dan arsitek program tersebut. Doktor religious studies yang pernah belajar di Libanon, Inggris, dan Italia itu sejak mahasiswa sudah giat dalam dialog antarkeyakinan. Ketika belajar di Eropa, dia terbang ke negeri-negeri Timur Tengah pada liburan musim panas, berbaur dengan penduduk setempat, menyesap tradisi dan budaya lokal.
Tesis doktoral Heru berkaitan dengan Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209)—tokoh Islam abad pertengahan—berjudul Meaning in the Order of Discourse and an Attempt to Approach It: A Study on Al-Râzî’s Nihâyat al-Îjâz fî- Dirâyat al-I`jâz. Dari segala kekayaan tradisi dan kepercayaan yang diserapnya, pastor Yesuit ini sampai pada kesimpulan: ”Teologi Kristiani perlu dikembangkan melalui pengalaman terhadap kemajemukan, kekayaan kultur, dan kepercayaan lain.”
Dosen pascasarjana di Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini lantas menggagas ide agar para calon imam Yesuit belajar kemajemukan dari tradisi agama dan kepercayaan lain. Islam, Hindu, Buddha. ”Karena Indonesia mayoritasnya Islam, kami memulainya dengan live-in di pesantren,” tutur Heru.
Persoalan radikalisme agama, menurut Heru dan para pendidik di Yesuit, merupakan tantangan kebangsaan yang serius. Salah satu upaya menetralkannya, ”Harus ada perkenalan antaragama. Kalau kenal pasti mudah berembuk,” ujarnya. Di Amerika Latin, teologi Katolik dibangun atas dasar respons pada kemiskinan. Di Indonesia, Heru dan sejumlah koleganya berpendapat, teologi perlu merespons pluralitas agama dan kemajemukan.
Tatkala Greg membagi pengalaman program live-in itu di Wina, situasinya mirip ”tumbu ketemu tutup”. Austria adalah lahan subur dan inspiratif, setidaknya di tanah Eropa, bagi dialog antarkeyakinan. Negeri itu baru saja merayakan 100 tahun masuknya Islam, suatu perjalanan dan perjumpaan iman panjang dengan mayoritas Katolik: tanpa catatan kekerasan atau kerusuhan.
Tarafa Baghanjati, 51 tahun, Ketua Austrian Muslim Initiative (AMI), mengatakan, ”Kami berhasil melampaui satu abad dengan damai. Kegiatan ibadah dan pendidikan Islam dapat kami kembangkan dengan baik sekali di negeri ini. Semuanya karena iktikad baik dan, di atas segalanya, berkah Allah.”
Sekolah-sekolah muslim di Austria tumbuh subur melalui Wiener Islamisches Institut, di mana Tarafa duduk sebagai anggota Dewan Pimpinan. Seperti Heru Prakosa, Tarafa tahu dengan baik betapa berbahayanya fundamentalisme agama. Itu sebabnya, ”Kesadaran akan pluralisme kami tanamkan melalui pendidikan,” katanya. Melalui AMI, Tarafa dan rekan-rekannya, para tokoh muslim Austria, meluaskan pemikiran dengan perspektif Islam, melakukan kegiatan dialog antaragama serta menyokong aktivitas hak asasi manusia.
Insinyur sipil keturunan Libanon ini berbicara tentang aktivitas interfaith dan hubungan komunitas muslim dengan Gereja Katolik di Austria dan Eropa dari kacamata pemeluk Islam. Greg berbagi pengalaman melalui penceritaan berjudul A Muslim Vision’s: Indonesia in Experience and Action.
Kekerasan atas nama ras dan agama adalah lahan yang dikenal baik oleh Tarafa ketika dia menjadi Wakil Presiden European Network Against Racism (ENAR): Aksi-aksi kekerasan, menurut Tarafa, tidak akan merusak identitas Islam yang sempurna. Tapi dia mengakui problem amat serius akan timbul, ”Bila ada pemeluk yang menyimpangkan ajaran Islam dalam cara-cara kekerasan dan rasis.”
DI pinggiran tenggara Wina, di Distrik 15, terbentanglah Burjanplatz, wilayah kelas pekerja yang jauh dari keanggunan dan elegansi Wina klasik di pusat kota. Gereja-gereja di Burjanplatz tampak sederhana—untuk tak menyebutnya miskin—dibanding Stephansdom, Katedral Santo Stefanus yang megah-perkasa. Berusia 865 tahun, katedral itu diserbu ribuan turis dari segala penjuru dunia—entah untuk ziarah entah sekadar berfoto-foto.
Di Burjanplatz, Gereja Kristus Raja didirikan oleh Phil Hildegard Burjan, seorang beata asal Austria, pendiri Ordo Suster Caritas Sosialis. Dari gereja sederhana ini, nama Martin Rupprecht, 49 tahun, menuai keharuman berkat karya dialog antarkeyakinan, khususnya dalam hubungan Katolik-Islam yang dia giatkan selama bertahun-tahun. Walau ada saja hadangan kontroversi, misionaris Jerman ini didukung penuh oleh pemimpin Gereja Katolik di Austria, Kardinal Dr Christoph Schönborn OP. ”Kardinal amat menyokong dialog Islam-Kristen,” tulis Martin kepada Tempo dalam salah satu e-mail-nya dari Turki, pekan lalu.
Maka, dalam misa Minggu di Gereja Kristus Raja, yang berdiri di mimbar homili (khotbah dalam misa Katolik) bisa saja seorang ustad. Pada Juni lalu, misalnya, Imam Hizir Uzuner asal Turki dari masjid di Bad Vöslau, sekitar 30 kilometer di luar Wina, datang memberi homili. Karena ia tak bisa berbahasa Jerman, ada ustad lain ikut naik dan menerjemahkan teks khotbah Imam Hizir. Sebagai ”kunjungan balasan”, Martin datang ke masjid tersebut dan memberi khotbah dalam sembahyang Jumat.
Imam Hizir mengirimkan petikan khotbahnya via Martin kepada Tempo dalam bahasa Turki. Salah satu terjemahan bebas kutipannya: ”Berkhotbah bagi umat di gereja ini adalah kehormatan besar bagi saya. Kehormatan yang sama kami terima tatkala Pastor Martin berkhotbah di masjid kami. Inilah rahmat Allah yang memperkaya hidup keimanan dalam komunitas kita.”
Bagaimana reaksi umat Burjanplatz? Kata Martin, ”Di luar dugaan, tak ada yang menolak. Bahkan ada yang menitikkan air mata karena merasa ada harapan untuk selalu hidup damai dalam keragaman.” Bukan berarti semuanya serba mulus. Fransiska Vilvovich, 52 tahun, ibu dua anak, tadinya penggiat Gereja Kristus Raja. Ketika Tempo berkunjung ke Burjanplatz, Fransiska sedang duduk-duduk di bawah pohon di halaman gereja bersama teman-temannya. Kata Fransiska, ”Saya putuskan pindah ke paroki lain, karena kurang nyaman dengan Pater Martin yang terlalu sibuk mengurusi agama-agama lain.” Selain dengan Islam, Martin memang bekerja sama dengan gereja-gereja Ortodoks dan pemeluk Judaisme.
Datang dari Yugoslavia sebagai imigran 36 tahun lalu, Fransiska merindukan Gereja Katolik seperti di kampung halamannya dulu. Di sana, ”Kami hanya mengurusi doa, ibadah, serta berkhusyuk kepada Tuhan.” Situasi serupa kita temukan juga pada komunitas muslim Wina. Tempo mengobrol panjang dengan Liselotte Abid, 53 tahun, perempuan muslim asli Austria.
Doktor psikologi dan studi kebudayaan ini berasal dari Desa Gabitz, kampung miskin di tengah hutan jauh di luar Wina. Pada usia 19 tahun, dia memeluk Islam—dan mulai mengenakan jilbab—yang menggegerkan penduduk kampung kecil itu. Lise, begitu dia dipanggil, juga bergiat sebagai wartawan radio Wina, dan aktif menolong ”wanita-wanita muslim imigran yang miskin dan berpendidikan rendah”.
Menurut Lise, dibanding negeri-negeri Eropa lain, komunitas muslim di Wina hidup jauh lebih tenang. Tapi, dia mengakui, sebagian warga—terutama imigran dari Timur Tengah—masih sulit menerima dialog antarkeyakinan. Tekanan dalam industri kerja juga terasa, walau tidak terang-terangan. ”Konstitusi kami tak membedakan hak perempuan berjilbab dalam mencari kerja. Faktanya, banyak wanita kami yang mampu dan berpendidikan tapi kandas saat mencari kerja karena mereka berkerudung,” ujar pengajar di Universitas Wina ini.
Jean Baptiste Ndudu, 32 tahun, pria asal Kinshasa, Kongo, duduk bersama Tempo di tengah rambatan tanaman anggur di satu restoran bir, di arah selatan Kota Wina. Dia bicara dalam Prancis beraksen Kongo, mirip anak-anak Afrika yang tengah berlagu. Ndudu produk anak perang yang menyaksikan betapa politik, ras, dan agama bisa melahirkan kematian ratusan manusia dalam sekejap. Wajahnya tampan, kulitnya pekat seperti malam, dengan sep asang mata indah-jernih.
Pada akhir diskusi kami selama berjam-jam, Ndudu mengatakan, ”Dialog antaragama, keyakinan, atau apa pun istilahnya, bisa saja lahir di lahan subur seperti Wina, atau di zona-zona kematian seperti di Afrika.” Yang harus kita lakukan,” dia menyitir ujaran kaum tua-tua di negerinya, ”adalah jangan pernah berhenti ‘mencangkul’—parce que tant qu’il y a de la vie, il y a de l’espoir—karena selama ada kehidupan, di situ ada harapan.”
Hermien Y. Kleden (Wina, Austria), Kukuh S. Wibowo (Jombang), Dian Yuliastuti (Jakarta), Addi mawahibun Idhom , Sunu Dyantoro (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo