Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Kitab Suci, Menyesap Rezeki

Mereka ini pencari jalan menuju Tuhan. Mereka menemukan metode baru yang menuntun santri atau pengikutnya lebih mantap mendalami Islam. Solihin Bunyamin Ahmad dan Taufiqul Hakim, misalnya, meretas jejak penemu Iqra’—metode baca Al-Quran yang amat populer. Solihin menciptakan inovasi cara cepat menerjemahkan Al-Quran. Sedangkan Taufiqul berjasa membantu para santri, yang selama ini berjibaku memahami Arab gundul selama bertahun-tahun, menjadi cukup enam bulan saja lewat metode Amtsilati temuannya.

Hanya, zaman terus bergerak. Mereka hidup di tengah era yang berjalan dengan logika pasar. Mereka sadar bahwa punya banyak pengikut, dan temuannya itu punya dimensi bisnis. Tak terelakkan, untuk mengikuti pelatihan salat khusyuk dari Abu Sangkan saja jemaah harus merogoh kocek berjuta-juta. Para pencari jalan Tuhan ini pun menyesap rezeki tak terbilang dari para jemaah. Apakah mereka masuk kategori para penjual ayat?

8 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAUFIQUL Hakim tak pernah membayangkan akan menjadi kiai setenar sekarang. Maklum saja, ia tak memiliki darah biru kiai. Ia juga tak berasal dari keluarga berada. Dulu, untuk bisa bersekolah, Taufiqul harus menjadi penggembala kambing dan tukang sol sepatu.

Kini ia telah menyulap gubuk 4 x 9 meter persegi di desanya di Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, menjadi Pondok Pesantren Darul Falah seluas 1 hektare dan membeli tanah 2,7 hektare lagi untuk pengembangan pondok. Jumlah santrinya, dari semula empat orang pada 1995, kini melar menjadi 700 murid. Para santri itu pun menyebut lelaki 32 tahun ini ”Pak Kiai”.

Revolusi rezeki Pak Kiai itu tak akan pernah terjadi bila enam tahun lalu ia tak menemukan metode Amtsilati. Ini metode yang memudahkan para santri mempelajari bahasa Arab dan huruf Arab gundul. Taufiqul menyaksikan murid-muridnya kesulitan menghafal seribu bait alfiyyah, syair Arab karya Ibn Malik, yang mengandung hukum dan aturan dalam ilmu nahwu (tata bahasa), yang ditulis plontos alias tanpa tanda baca. ”Dari 100 santri, paling hanya lima yang berhasil,” ujarnya.

Ia pun berpikir keras mencari cara termudah menguasai Arab gundul yang biasa ditulis dalam kitab-kitab kuning di pesantren—kertasnya biasanya berwarna kekuningan. Singkat cerita, Kiai Taufiqul menemukan metode yang memperpendek penguasaan ribuan lembar kitab kuning dari 6-9 tahun menjadi hanya enam bulan. Inilah inovasi yang, selain mengubah hidup Taufiqul, telah memperkaya khazanah pengetahuan terhadap kitab-kitab klasik Islam.

Temuan dai dari kota ukir ini tentu bukan inovasi yang pertama dalam metode pendalaman Al-Quran, hadis, atau kitab-kitab pendukung lain. Al-Quran terbuka untuk didekati dari pelbagai sudut pandang. Ini sebabnya muncul berbagai macam tafsir Al-Quran, dari yang terkenal, misalnya tafsir Jalalain dan tafsir Ibnu Katsir, hingga tafsir bikinan ulama Indonesia, seperti tafsir Al-Azhar karya Hamka dan tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab.

Dari teknik penguasaan membaca Al-Quran pun telah terlahir pelbagai metode. Salah satu metode tertua adalah metode Bagdad yang ditemukan Abu Mansur Hafzul Fikkir di Bagdad, Irak, pada 998. Metode ini kemudian diperbarui oleh KH Dachlan Salim Zarkasyi, ulama dari Semarang, yang memperkenalkan cara baca tartil pada 1963.

Dari Yogyakarta juga lahir metode yang kini populer: Iqra’. Ini adalah cara baca praktis Al-Quran yang ditemukan KH As’ad Humam dari Kotagede pada 1989. Buku Iqra’ yang terdiri atas enam jilid itu kemudian dipakai di taman kanak-kanak Al-Quran seluruh Indonesia. Dan banyak lagi temuan ”cara praktis” membaca dan menulis huruf hijaiyah itu yang kini terdisplay di mana-mana.

Terobosan baru untuk lebih mendalami Islam itu tampaknya terus muncul. Mereka menawarkan cara untuk memudahkan ibadah, dari bagaimana melakukan salat lebih khusyuk, pengaruh salat tahajud dan kesehatan, menerjemahkan Al-Quran dan menguasai Arab gundul lebih cepat, atau cara membangun hubungan dengan Sang Khalik dengan lebih mudah.

Para ”penemu” ini terbilang masih muda, tak puas dengan metode yang sudah ada, punya banyak pengikut, dan amat sadar temuannya itu punya dimensi bisnis. Inilah yang membedakan mereka dengan KH As’ad, yang membikin kurikulum Iqra’ dan kemudian menggratiskannya.

Taufiqul, misalnya, mematenkan temuannya. Naluri bisnis Taufiqul rupanya tergugah. Ia membentuk sistem koordinator wilayah untuk menyebarkan metodenya dan menjual buku dengan harga murah. ”Membeli buku berarti juga bersedekah untuk pembangunan pesantren,” katanya kepada peserta seminar Amtsilati.

Buku metode Amtsilati memang terhitung murah karena dicetak dalam kertas merang. ”Kalau difotokopi, malah lebih mahal,” kata Fathoni, kepala percetakan Pesantren Darul Falah. Fathoni menyebutkan satu set buku Amtsilati yang terdiri atas 10 jilid dijual seharga Rp 35 ribu.

Buku Amtsilati itu dicetak dalam jumlah yang mencengangkan. Fathoni menyebut setiap hari, kecuali Jumat, mereka mencetak 2.000 eksemplar. Padahal penerbitan buku Amtsilati itu telah berlangsung selama empat tahun! Permintaan dari pesantren-pesantren di Indonesia dan Malaysia, katanya, ”Luar biasa banyak.” Ini belum termasuk pendapatan dari pelatihan atau seminar yang, kata Taufiqul, ”Bertarif seratusan ribu rupiah saja.”

Solihin Bunyamin Ahmad, 38 tahun, penemu kursus singkat penerjemahan Al-Quran dengan metode Granada, mematok tarif lebih tinggi. Alasannya, orang tak akan percaya bahwa kursus bertarif murah bisa mencapai hasil optimal. Ia mematok tarif pelatihan di hotel sebesar Rp 1,75 juta per orang. Tapi ia tak menarik biaya untuk pelatihan di masjid.

Metode Granada adalah teknik pengajaran empat langkah praktis penerjemahan Al-Quran dalam waktu hanya delapan jam. Dalam metode ini, ia membuat tabel sederhana yang berisi semua akhiran, sisipan, dan awalan yang ada dalam bahasa Arab. Metode ini, kata Solihin, bisa dipelajari siapa saja asalkan syaratnya bisa membaca Al-Quran, sekalipun belum lancar. Granada diambil dari nama kota di Spanyol yang pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam dan penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab.

Metode yang ditemukan pada 1999 ini kemudian diuji coba di sejumlah tempat selama beberapa bulan dan terbukti berhasil. Panti Asuhan Putra Mulia, Jakarta Timur, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah DKI Jakarta, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal termasuk yang pernah mencicipinya. Departemen Agama pun berniat menjadikannya kurikulum di madrasah mulai tahun ajaran 2009. Dengan masuknya metode itu ke kurikulum, pelajar SMP sudah bisa menerjemahkan Al-Quran kurang dari setahun. ”Ini khayalan saya,” ujarnya.

Rencana Departemen Agama tersebut jelas penting. Bagi lulusan Lembaga Ilmu Pendidikan Islam dan Bahasa Arab Jakarta ini, pengakuan itu sekaligus menepis anggapan buruk sebelumnya. ”Karena sebelumnya banyak yang menganggap metode ini hanya tipuan,” katanya. Yang juga penting bagi Solihin, hidupnya kini telah berubah karena temuannya.

Solihin, misalnya, kini tak perlu lagi menumpang angkot untuk mengajarkan penerjemahan Al-Quran secara privat. Omzetnya mencapai sekitar Rp 50 juta per bulan. Ini didapat dari pelatihan dan penjualan paket buku, berikut VCD. Saat ini, buku metode Granada sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Terobosan berikutnya dilakukan oleh Abu Sangkan, yang memilih tema salat khusyuk sebagai fokus pelatihan. Ia rupanya jeli melihat kenyataan banyak orang tak bisa melakukan salat dengan khusyuk meski sudah mempraktekkannya sejak kanak-kanak.

Jebolan Institut Agama Islam Negeri Jakarta ini semula berdagang ikan hias. ”Saya tak bergerak di bidang dakwah karena ingin kaya,” kata pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, 40 tahun lalu, itu bercanda. Tapi minatnya pada dakwah kemudian ia salurkan melalui milis Dzikrullah.com. Dari situ, muncul komunitas berzikir sebelum berubah menjadi kelompok belajar salat khusyuk.

Pelatihan salat pertama digelar di Islamic Center, Bekasi, dan di masjid Bank Indonesia pada 2002. Pesertanya membeludak. Panggilan pelatihan pun mulai berdatangan. Apalagi setelah bukunya, Pelatihan Shalat Khusyu’, terbit dua tahun kemudian. Ia sibuk luar biasa. Setiap bulan, Abu Sangkan empat kali memandu pelatihan. Jadwalnya sudah padat sampai Februari tahun depan.

Apa sih istimewanya? ”Sebenarnya salat yang saya ajarkan salat biasa. Bedanya, kita harus rukuk dan sujud dengan merendahkan hati dan melibatkan perasaan,” katanya. Ia memberikan perumpamaan, setiap orang yang bertemu dengan raja pasti akan berbicara dengan pelan, tenang, dan jelas kepada raja. ”Nah, Allah itu rajanya raja. Masak, terburu-buru (berdoa kepada-Nya)?” katanya. Dalam pelatihan, ia selalu mengungkapkan, saat rukuk dan sujud, darah dan oksigen mengalir ke otak. Akibatnya, badan menjadi lebih segar. ”Ini ada hadisnya,” katanya.

Sejak panggilan untuk menggelar pelatihan naik tajam, ia membentuk Shalat Center, yang mengatur semua jadwalnya. Untuk pelatihan di hotel, peserta dikenai biaya Rp 1,5 juta. Itu, katanya, biaya untuk sewa hotel, makan, dan akomodasi. ”Sebulan hanya tiga kali, tapi yang gratisan bisa berkali-kali, hanya saja tak diekspos,” katanya.

Shalat Center kini telah dibuka di berbagai daerah oleh jemaahnya. Setiyo Purwanto, dosen di perguruan tinggi swasta di Solo yang pernah mengikuti pelatihan Abu Sangkan, misalnya, menjadi pelatih salat khusyuk di Solo. Ia melatih keluarga Sugondo, pemilik warung makan Steak Obong, pekan lalu.

Pelatihan lain yang sangat populer adalah pelatihan Emotional and Spiritual Quotient (ESQ) yang digelar oleh Ary Ginanjar Agustian, 42 tahun. Pelatihan ini memang tak ditujukan bagi pemeluk Islam semata, meski banyak memakai Al-Quran sebagai sumber pelatihan. Quran, katanya, merupakan solusi pembinaan yang terbukti aplikatif dan sesuai dengan teori manajemen modern. ”Saya bukan ustad,” katanya. Tapi, kenyataannya, banyak peserta memanfaatkan pelatihan ini sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Training ESQ memang untuk mengasah sisi spiritual, bersamaan dengan sisi emosi dan intelektual seseorang. Itu bisa dilihat ketika sekitar 500 orang mengikuti pelatihan di Jakarta Convention Center, Jumat lalu. Mereka dipandu Ary menjelajahi alam semesta selama dua jam. Peserta pun merasa betapa kecil manusia dalam gugus alam semesta yang diciptakan Tuhan. Suasana menjadi kian syahdu karena pelatihan dilakukan di ruang besar tanpa lampu, ditambah suara dari sound system berkekuatan 10 ribu watt. Tangisan peserta tak terbendung manakala pemandu mengingatkan seseorang akan dosa-dosanya di masa lalu.

Ary menyebutkan ESQ sebenarnya sama dengan lembaga pelatihan seperti 7 Habits, Asia Works, atau Dale Carnegie. Sebagai lembaga profesional, timnya tentu harus bisa menghidupi diri sendiri. ”Untuk itu, ada biaya bagi peserta,” katanya. Pelatihan ESQ terbagi dalam beberapa kelas. Untuk eksekutif dipatok Rp 3 juta, profesional Rp 1,9 juta, reguler Rp 1,15 juta, mahasiswa Rp 500 ribu, remaja Rp 990 ribu, dan anak-anak Rp 750 ribu. Tapi ESQ kadang kala memberikan pelatihan gratis kepada guru, anak yatim, dan kaum duafa.

Kisah sukses yang sama diraup oleh ”penemu” metode salat tahajud untuk terapi kesehatan, Mohammad Sholeh, serta zikir dan air untuk penyembuhan kanker, Ustad Haryono. Lantaran laris, Haryono berhenti dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik bergaji Rp 70 ribu. Ia kini punya rumah bak istana seharga Rp 25 miliar di samping Hotel Horizon, Bekasi. Rumah itu terdiri atas 14 kapling, dilengkapi sarana bisnis seperti butik, apotek, supermarket, serta biro travel haji dan umrah yang dikelola istrinya.

Amtsilati, Granada, ESQ, dan beragam inovasi lainnya itu adalah metode-metode yang dikreasi untuk membangun hubungan dengan Sang Pencipta secara lebih mudah. Dan para pencetus metode itu lihai mengemasnya menjadi unit bisnis. Kelas-kelas yang mereka gelar selalu penuh. Jadwalnya padat sampai tahun depan.

Apakah kegiatan mereka ini identik dengan menjual ayat? Mantan Rektor IAIN Jakarta, Azyumardi Azra, mengatakan, dalam pandangan moderat, kegiatan mereka itu merupakan konsekuensi logis dari realitas keagamaan masa kini. Para ustad menggelar pelatihan di hotel atau tempat-tempat mewah lantaran ada kebutuhan dari kelas menengah ke atas yang merasa kurang nyaman atau kurang bergengsi bila belajar di musala. Ini sudah menjadi gaya hidup.

Sebaliknya, pendapat ulama klasik menyatakan seorang ustad tak boleh menentukan tarif. Tugas pokok orang yang punya ilmu adalah menyampaikan ilmu untuk kebaikan umat. ”Makanya, para ulama dulu bilang, seorang ustad harus punya pekerjaan dulu sebelum berceramah ke mana-mana,” ujar Azyumardi. ”Ia menggantungkan hidup dari pekerjaannya itu, bukan dari ceramahnya.”

Yudono, Yandi M.R., Imron Rosyid (Solo), Hamluddin (Bekasi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus