Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Selisih Ulama di Bulan Muda

NU dan Muhammadiyah berembuk ihwal penetapan 1 Syawal. Lebaran berbeda lagi?

8 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI perkara lama yang masih saja sukar dikompromikan. Mengapa hampir saban tahun Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah berdebat apakah umur puasa 29 atau 30 hari. Buntutnya, Lebaran pun jatuhnya tidak bersamaan. Ini bisa rumit, karena ada larangan untuk berpuasa pada 1 Syawal. Umat akhirnya terbelah saat merayakan Lebaran.

Wakil Presiden Jusuf Kalla pun gundah. Ia lalu memanggil Ketua Umum Pengurus Besar NU, KH Hasyim Muzadi, dan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dien Syamsuddin, ke istana, Senin pekan lalu. Ia berharap ada kompromi antara dua organisasi Islam terbesar di Tanah Air ini. ”Mudah-mudahan sama. Bulan itu kan letaknya tidak pindah-pindah,” ujarnya tersenyum.

Baru kali inilah pihak Istana sampai turun tangan mencoba ”mendamaikan” keduanya. NU dan Muhammadiyah memang memilih metode yang berbeda untuk menentukan 1 Syawal. Hasilnya bisa sama, tapi lebih sering berbeda. Contohnya pada Idul Fitri 1994, 1998, 2000, 2002, dan 2006. Tahun ini pun kemungkinan besar akan berbeda.

Muhammadiyah berpendapat hasil hisab hakiki wujudul hilal atau perhitungan terbitnya bulan muda menunjukkan ijtimak atau posisi sejajar antara matahari, bulan, dan bumi menjelang Syawal 1428 Hijriyah, terjadi pada Kamis 11 Oktober pukul 12:02:29 WIB. Ketinggian hilal atau bulan muda saat terbenam matahari di Yogyakarta adalah +00 derajat 37 menit 31 detik. Jadi, hilal sudah terbentuk, sehingga Idul Fitri (1 Syawal) jatuh pada Jumat, 12 Oktober. ”Kemajuan bidang astronomi dan ilmu pengetahuan alam membuat perhitungan masuknya bulan baru lebih akurat,” kata Dien.

Merujuk hisab Muhammadiyah, belum seluruh wilayah Indonesia telah melihat bulan pada 11 Oktober itu. Ada garis batas wujudul hilal atau ketampakan bulan muda melintas Indonesia. Wilayah di barat garis batas ini, Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Kalimantan, dan sebagian kecil Sulawesi telah masuk 1 Syawal, sementara sebagian besar Sulawesi, Maluku, dan Papua belum. Namun, karena Muhammadiyah menganut kaidah wilayatul hukmi atau kesamaan wilayah hukum, Indonesia timur pun mengikuti Indonesia barat.

Beda lagi cara kaum nahdliyin menetapkan Lebaran. Menurut Ketua Lajnah Falakiyah (Bidang Astronomi) PB NU Ghazalie Masroeri, untuk menetapkan 1 Syawal, organisasinya menunggu rukyatul hilal bil fikli atau melihat bulan muda dengan mata telanjang saat magrib Kamis 11 Oktober. Referensinya surat Al-Baqarah ayat 185, yang artinya ”Barang siapa menyaksikan bulan, maka berpuasalah.” Hadis Nabi juga menyebutkan, ”Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang, genapkan menjadi 30 hari.”

Namun, agaknya ada soal lain yang jadi biang selisih pandangan. Ahli Astronomi Institut Teknologi Bandung, Dr. Moedji Raharto, mengungkapkan, NU dan Muhammadiyah bersilang pendapat akibat mereka punya definisi hilal yang tidak sama. Muhammadiyah menggunakan prinsip berapa pun derajatnya, jika hilal sudah tampak, maka itu artinya bulan baru sudah tiba. Sedang NU berketetapan posisi hilal minimal dua derajat. Kurang dari itu, alamat Lebaran jatuh pada Sabtu, 13 Oktober.

Sejumlah ulama dan ahli berpendapat tidak ada kebenaran mutlak dalam menentukan 1 Syawal, baik yang dianut Muhammadiyah maupun NU. Di kalangan Muhammadiyah muncul kritik terhadap konsep hisab hakiki wujudul hilal dan wilayatul hukmi. Ini dilontarkan anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hamim Ilyas, dalam Musyawarah Nasional Majelis Tarjih Muhammadiyah di Padang pada 2003.

Menurut Hamim, konsep yang dianut Muhammadiyah juga akan melahirkan perbedaan wujudul hilal di kalangan mereka sendiri. Jika menggunakan konsepnya yang sekarang, katanya, dalam seratus tahun (2001 hingga 2100), katanya, akan melahirkan perbedaan awal Ramadan 30 kali, awal Syawal 26 kali, dan awal Zulhijah (bulan Haji) 34 kali. Inilah yang kemudian diatasi dengan konsep wilayatul hukmi.

Muhammadiyah sebetulnya juga pernah menganut rukyat. Musyawarah Tarjih Muhammadiyah pada 1932 di Makassar menyatakan bahwa dasar berpuasa dan Idul Fitri menggunakan rukyat dan tidak dilarang dengan hisab atau hisab imkanurrukyat, yaitu tingginya hilal yang memungkinkan untuk dilihat mata. Namun, sejak 1969 Majelis Tarjih tidak lagi menggunakan rukyat. Alasannya, melihat hilal secara langsung adalah pekerjaan yang sangat sulit.

Nahdlatul Ulama pun terus memperbaiki metodenya. Pada 1994, misalnya, NU membuat pedoman rukyat dan hisab. Intinya, NU tetap menggunakan metode rukyat dan istikmal dalam menentukan awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijah. Namun, kata Ghazalie, metode rukyat NU bukannya tanpa cacat. Jika gagal rukyat karena terhalang awan, maka umur puasa digenapkan 30 hari. Padahal, bisa jadi sesungguhnya hilal sudah terbit.

Kelemahan lain, rukyat bisa ditolak jika tidak didukung hisab akurat. Padahal, mungkin saja rukyatnya sudah tepat. Ahli hisab NU juga tidak menggunakan metode tunggal dalam menghitung data rukyat. NU memakai metode yang tumbuh secara tradisional di lingkungan pesantren, sekaligus metode astronomi modern. Uniknya, kata sumber Tempo di NU, ahli hisab NU mengawinkan hasil dua metode ini tanpa tahu mana yang paling benar. Walhasil, di kalangan NU pun pernah terjadi perbedaan seperti pada 2006.

Untuk menerobos kebuntuan, NU, Muhammadiyah, pemerintah, dan organisasi Islam yang lain pada Mei 2003 sepakat untuk mencari titik temu. Pada Desember 2005 juga pernah diselenggarakan Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriyah. Langkah maju dilontarkan Wakil Sekretaris Majelis Tarjih Muhammadiyah, Susiknan Azhari. Gagasannya adalah mengintegrasikan hisab dan rukyat atas dasar nalar ilmiah. Ia usul konsep wujudul hilal ditambahi ketentuan ”untuk seluruh wilayah Indonesia”. ”Artinya, pada saat matahari terbenam, maka hilal harus sudah terbit di seluruh Indonesia, tidak sebagian,” katanya.

Nahdlatul Ulama juga beringsut memperpendek perbedaan. Menurut Ghazalie, pendapat ahli hisab NU makin sejajar dengan rukyat. Berbeda dengan dulu, pendapat ahli hisab itu dianggap masih kalah dibanding rukyat. Konsep imkanurrukyat bahwa hilal harus setinggi 2 derajat, azimuth 3, dan berumur 8 jam yang disarankan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) ia terima. Sebelumnya, ahli rukyat NU belum punya patokan hilal.

Agar soal ini bisa segera dipecahkan, kedua pihak perlu mendengar usulan Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, Lapan, T. Djamaluddin. Untuk mempertemukan hisab dan rukyat, katanya, perlu dibangun kriteria bersama mengenai penampakan hilal. Dasarnya adalah hasil analisis semua data rukyatul hilal plus kajian data hisab. Lalu semua data ini dievaluasi sepanjang masa. Jika kriteria hilal sudah bulat, Idul Fitri bareng tinggal selangkah lagi. Selamat tinggal kenangan habis salat Ied ngumpet di rumah karena tetangga masih puasa.

Sunudyantoro, Ahmad Fikri (Bandung)


Tiga Kriteria 1 Syawal 1428 H

Kriteria Rukyatul Hilal Dipegang teguh Nahdlatul Ulama. Pada 11 Oktober ini, berdasarkan peta sesuai dengan Kriteria Limit Danjon, hilal tidak mungkin terlihat. Maka, NU harus menolak semua kesaksian yang menyatakan bahwa mereka telah melihat hilal pada hari itu. Hilal baru mungkin terlihat pada hari kedua ijtimak, yakni 12 Oktober. Itu sebabnya, puasa harus digenapkan menjadi 30 hari. Idul Fitri jatuh pada Sabtu, 13 Oktober 2007.

Kriteria Imkanur Rukyat Kriteria ini secara resmi digunakan pemerintah Indonesia, Singapura, Brunei, dan Malaysia. Menggabungkan hisab dan rukyat. Hilal dianggap tampak dan esoknya ditetapkan awal bulan Hijriyah jika memenuhi syarat: (1) saat matahari terbenam, ketinggian bulan minimal dua derajat, (2) jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari tiga derajat: atau (3) ketika bulan terbenam, umur bulan sudah 8 jam selepas ijtimak berlaku.

Menurut Peta Ketinggian Hilal, posisi hilal di seluruh wilayah Indonesia berada pada ketinggian antara minus 1 derajat di bawah ufuk hingga 1 derajat di atas ufuk saat matahari terbenam. Menjelang Syawal 1428 H ini, ijtimak jatuh Kamis 11 September. Karena itu, syarat imkanurrukyat belum terpenuhi, sehingga puasa digenapkan menjadi 30 hari.

Kriteria Wujudul Hilal Menjadi pedoman Muhammadiyah. Jika setelah terjadi ijtimak, bulan terbenam sesudah tenggelamnya matahari, maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Syawal, tanpa melihat sudut ketinggian bulan. Muhammadiyah menganut prinsip wilayatul hukmi, yakni Indonesia adalah satu kesatuan wilayah hukum negara. Jika ada satu wilayah yang sudah wujud hilal, maka berlaku untuk seluruh wilayah negara. Maka, 1 Syawal 1428 H, menurut Muhammadiyah, jatuh pada 12 Oktober 2007.

Sunudyantoro Sumber: rukyatulhilal.org

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus