Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya Sempat Ganti Baju
Dari Solo, arah pelarian Thukul adalah sejumlah tempat di Yogyakarta, Magelang, dan Salatiga. Ia mendapat ilmu menyamar dari Arief Budiman.
MATAHARI terik ketika penyair Wiji Thukul keluar dari rumah kontrakannya di Kampung Kalangan, Solo. Saat itu awal Agustus 1996. Berita tentang Partai Rakyat Demokratik yang dicap kiri dan dikutuk pemerintah Orde Baru masih terus diulang-ulang di televisi. "Dia tidak bawa apa-apa. Hanya baju. Memakai sandal jepit. Tidak bawa tas," ujar istrinya, Dyah Sujirah alias Sipon, mengenang peristiwa 17 tahun lalu itu.
Setelah kerusuhan 27 Juli 1996, para pemimpin PRD, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah, memang dikejar-kejar polisi dan tentara. Menurut Kepala Staf Bidang Sosial dan Politik ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid, bentrokan di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia itu didalangi para aktivis PRD. Bentrokan terjadi manakala Soerjadi dengan dukungan tentara menyerbu kantor di Jalan Diponegoro, Jakarta, itu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melaporkan 5 orang tewas, 149 luka-luka, dan 28 orang hilang dalam peristiwa tersebut.
Sebagai koordinator Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat alias Jaker yang menjadi organ PRD, Thukul terhitung salah satu pimpinan partai itu. "Saat itu ada informasi akan ada polisi datang ke rumah," ujar Sipon. Khawatir, dia memanggil Thukul, yang sedang tiduran di depan rumah, agar masuk, dan Sipon menyuruhnya cepat-cepat ganti baju.
Benar saja, belum lama Thukul masuk kamar, beberapa orang tak dikenal menyerobot masuk rumah. Mereka tak mengenakan pakaian seragam, tapi Sipon tahu mereka polisi.
Awalnya pakai kaus, Thukul ganti memakai hem biasa yang bersih. Selesai ganti baju, ia ke luar rumah, berpapasan dengan para "tamu" itu. "Saya bilang ke Thukul agar bersikap wajar saja, temui baik-baik, tanya apa maunya, jangan lari," cerita Sipon.
Para polisi membiarkan Thukul pergi. Mereka mengira yang keluar itu Joko, teman Thukul dari Yogya yang menurut informasi tengah berkunjung. Setelah Thukul berlalu, baru mereka bertanya kepada Sipon di mana suaminya. Mereka menggeledah rumah, mencari-cari dokumen. Tetamu tak diundang itu akhirnya pergi, tapi Thukul malam itu tak pulang atau memberi kabar.
BANGUNAN besar Mal Malioboro di jantung Kota Yogyakarta menyimpan sepotong cerita Wiji Thukul. Sebelum jadi mal, di lokasi ini dulu berdiri warung makan berukuran 4 x 4 meter. Warung itulah yang disinggahi Thukul ketika ia singgah di Yogya.
Thukul membalut tubuhnya yang ceking dengan kaus putih memudar. Ia menyusuri pinggiran Malioboro bersama Sipon, istrinya, dan dua anaknya, sekitar Agustus 1997. Mereka didampingi dua aktivis Partai Rakyat Demokratik, Prijo Wasono (Aboe) dan Kelik Ismunandar (Menhir). "Thukul gemar memakai kaus putih yang warnanya sudah tidak putih lagi," kata Aboe. Aboe kini sekretaris jenderal Dewan Kesehatan Rakyat Jawa Tengah. Menhir koordinator Pusat Perjuangan Buruh Indonesia. Ia juga anggota Badan Pembina Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia.
Aboe ingat obrolan di warung makan itu berlangsung setengah hari. Setelah itu, Thukul pamit karena harus ke Jakarta pada pukul dua siang dengan naik bus. "Tapi Thukul bilang, sebelum kabur ke Jakarta, ia hendak berobat ke Rumah Sakit Mata Dr Yap dulu. Sipon dan dua anaknya kembali ke Solo," ujar Aboe, yang pada 1996 menjadi Ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi Solo.
Aboe dan Menhir merupakan pengatur pertemuan Thukul dan istrinya apabila Sipon hendak bertemu dengan Thukul di Yogyakarta. Thukul dan Sipon pernah menyamar sebagai pelancong di Keraton Yogyakarta. Mereka bertemu di depan Seni Sono. Aboe dan Menhir mengatur waktu khusus untuk Thukul dan Sipon, membiarkan mereka berdua selama satu-dua jam.
Di Yogyakarta, Thukul, menurut Aboe, kerap berkunjung ke Rumah Sakit Mata Dr Yap di Jalan Cik Di Tiro, di selatan kawasan kampus Universitas Gadjah Mada. Di sana, Thukul berobat. Mata kanan Thukul cedera hampir buta akibat dipukuli aparat pada aksi buruh PT Sri Rejeki Isman Textile (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Desember 1995.
Tempat persembunyian lain Thukul selama jadi buron aparat Orde Baru adalah Hotel Rajasa di Jalan Badrawati 2, Ngaran, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Magelang. Hotel ini milik Ariswara Sutomo atau Tomo, 67 tahun. Hotel dengan sepuluh kamar ini menghadap hamparan sawah hijau, tak jauh dari Candi Borobudur. Tamu juga bisa menyaksikan kemegahan barisan Bukit Menoreh.
Thukul beberapa kali menginap di kamar nomor delapan. Kamarnya standar berukuran 4 x 4 meter dengan fasilitas spring bed, AC, kamar mandi dan shower, serta lemari. Menurut Tomo, kamar nomor delapan kesukaan Thukul. Kamar itu selalu dipesan Thukul ketika ia singgah ke rumahnya. "Wiji Thukul sering kemari. Pernah ketemu keluarganya juga di sini," kata Tomo.
Tomo menyatakan bertemu untuk terakhir kali dengan Thukul di rumahnya sekitar pukul tiga sore—"Bila tak salah ingat, Maret 1997." Saat itu Thukul, berkaus putih, bercelana panjang hitam, dengan tas kecil di punggung.
Setelah makan, Thukul menyatakan hendak ke Jakarta. Tomo mengenang, Thukul minta "digendong". Maksudnya, Thukul minta uang saku. "Digendong itu istilah akrab di kalangan seniman," ujarnya. Tomo mengatakan saat itu sudah melarang Thukul ke Jakarta. Sebab, situasi politik di Jakarta sedang panas. "Saya sudah bilang ke dia, di Jakarta sedang ada sweeping."
Namun Thukul nekat ingin ke Jakarta. Tomo pun memberi Thukul duit dan segera mengantarnya ke Terminal Borobudur, yang berjarak dua kilometer.
Tomo, yang dikenal sebagai budayawan Borobudur, mengaku bertemu pertama kali dengan Thukul ketika ia membaca puisi di Goethe-Institut, Jakarta, pada 1994. Tomo terpesona waktu itu. Dengan idiom sederhana, Thukul bisa membacakan puisi dengan ekspresi yang bagus dan mendalam. Sejak pertemuan di Jakarta itu, Tomo dan Thukul bersahabat.
Sebelum ke Yogya dan Magelang, Thukul sempat mampir ke rumah cendekiawan Arief Budiman di Salatiga. Arief dan istrinya, Sitti Leila Chairani, tak ingat kapan pertemuan terakhir mereka dengan Thukul. Yang jelas, itu sebelum keduanya menetap di Australia serta setelah Arief tak mengajar lagi di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Arief pergi ke Australia pada 1997, menjadi profesor di University of Melbourne, setelah tiga tahun sebelumnya dikeluarkan dari Universitas Kristen Satya Wacana.
Penggalan kenangan yang tersisa adalah kedatangan Thukul seorang diri pada suatu hari selepas zuhur di kediaman Arief, di kawasan Kemiri, Salatiga. Thukul datang membawa tas selempang. "Penampilannya seperti orang kampung," kata Arief kepada Tempo.
Seperti biasa, Arief menemui tamunya di beranda yang letaknya agak terpisah dari bangunan utama rumah. Berukuran 2 x 4 meter, lantai beranda terbuat dari batu kali. Meja dan kursi antik menambah klasik ruang beranda. Siang itu tak ada tamu lain. Kepada Arief, Thukul datang tanpa memberitahukan sebelumnya. Ia menyatakan sedang dalam pelarian karena merasa diawasi tentara.
Kepada sang tamu, Arief menyarankan agar jangan bersembunyi di tempat saudara, kolega, atau kawan jaringan prodemokrasi, karena hal itu akan mudah diendus aparat. Jangan pula berkomunikasi melalui telepon. Disarankan juga agar dia bersembunyi di pelosok desa yang jauh dari akses informasi, atau pergi kepada seseorang yang sebelumnya tak dikenal. Arief juga berbagi trik penyamaran dan pelarian: pandai-pandailah menyaru.
Atas nasihat itu, Thukul tak lama berada di rumah Arief. Pada kunjungan sebelumnya, Thukul selalu berdiskusi lama, bahkan bermalam. Pada kunjungan saat itu, Thukul berada di rumah Arief kurang dari satu jam. Selanjutnya, Arief memerintahkan Leila mengantar Thukul ke jalan raya yang mudah diakses untuk mendapat angkutan umum. Kalau yang mengantar Arief, tentu sangat mudah dikenali orang. Sebelum Thukul pamitan, Arief memberikan bekal uang. Soal jumlahnya, ia lupa. Yang jelas, untuk ukuran saat itu, cukup buat bekal hidup hingga sebulan. "Uang itu dari Herbert Feith, Indonesianis asal Australia," ujar Arief. Herbert Feith memang sering menitipkan uang kepada Arief untuk disalurkan kepada siapa saja yang dianggap membutuhkan bantuan.
Setelah menyeruput kopi hingga tandas, Thukul bergegas mengikuti Leila ke garasi mobil. Mengendarai mobil Daihatsu Zebra, Leila mengantar Thukul ke perempatan Pasar Sapi, sekitar sepuluh kilometer dari rumah Arief. Sejak dari garasi sampai tujuan, Leila memerintahkan Wiji menelungkup di jok tengah agar tak terlihat dari luar. Menurut Leila, perempatan Pasar Sapi dipilih karena merupakan tempat ramai dan dilewati angkutan umum, baik dalam maupun luar kota. "Kalau terjadi apa-apa, mudah pula minta pertolongan," kata Leila. Setelah Thukul turun dari mobil, Leila langsung meninggalkan dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo