Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laki-laki bertubuh kecil, kurus, gondrong, dan menyandang ransel itu mendadak muncul di kantor Solidaritas Perempuan di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur, pada siang hari, 6 Agustus 1996. Beberapa anggota staf lembaga advokasi perempuan itu panik karena khawatir dengan kedatangannya.
Nama Wiji Thukul, lelaki itu, sedang mencuat. Wajahnya terpampang di koran-koran dan televisi sebagai orang paling dicari polisi dan tentara setelah kerusuhan 27 Juli pada tahun itu. "Kami akhirnya mengadakan rapat kecil dan memutuskan membawa dia ke rumah saya," ujar Veronica Indriani, pertengahan April lalu.
Indriani adalah aktivis perempuan dari Yogyakarta yang bergabung dengan Solidaritas Perempuan bersama Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul. Dengan taksi, siang itu juga Indri, Thukul, Wahyu, dan seorang teman Indri berangkat menuju rumah Indri di Bojong Gede, Bogor. "Habis Rp 100 ribu mungkin. Terus kami tambahi, karena memang jauh dan jalannya jelek," kata Indri.
Rumah Indri kecil, tanpa pagar, dan agak jauh dari tetangga di sebuah kompleks perumahan di Bojong Gede. Depan dan belakang rumahnya masih tanah terbuka. Kepada ibunya, Indri tak menceritakan siapa tamunya. "Saya bilang, dia kakak Mas Wahyu. Tapi mungkin Ibu tahu ada yang tidak biasa," ujar Indri.
Di rumah itu Thukul tidur di ruang tamu. Indri dan ibunya hanya mengobrol secukupnya dengan sang tamu. Thukul tak lama bersembunyi di sana, hanya tiga-empat hari, kemudian dijemput Alexander Irwan dan istrinya, Edriana Nurdin. Pasangan suami-istri itu adalah aktivis prodemokrasi. Alexander saat itu anggota dari jaringan Partai Rakyat Demokratik, dan Edriana aktif di sebuah lembaga nonpemerintah. Sebelum pergi, mereka sempat makan bersama dengan sayur lodeh dalam suasana yang hangat.
Sejak itu Indri hanya mendapat kabar tentang Thukul dari rekan-rekan sesama aktivis dengan sandi khusus. Tapi dia tidak memantau betul keberadaan Thukul. "Waktu itu kami menyamarkan dia dengan sandi 'Kulkas'. Kebetulan waktu itu saya mau beli kulkas dari seorang teman," kata perempuan yang pernah ikut mengadvokasi para korban pembangunan Waduk Kedungombo di Jawa Tengah pada 1987 itu. "Oh, Kulkas sudah aman, ya, syukur," dia mencontohkan.
Alex dan Edriana lalu membawa Thukul ke rumah mereka di Bumi Serpong Damai, Tangerang. Thukul agak lama bersembunyi di sini. Tapi Edriana mengaku tak ingat betul berapa hari Thukul tinggal. Dia memperkirakan seminggu-dua minggu, antara Agustus dan Oktober. Thukul tinggal di kamar tamu di samping kamar mereka.
Sebelum berangkat kerja, Nana—panggilan akrab Edriana—memasak makanan dan menaruhnya di meja makan, tak jauh dari kamar Thukul. Dia sebenarnya membolehkan Thukul memanaskan makanan jika diperlukan, tapi hal itu tidak pernah dilakukan. Gorden jendela selalu ditutup dan lampunya mati, membuat rumah itu seperti tak berpenghuni.
Nana juga berpesan agar tidak melakukan aktivitas yang mencurigakan selama ia dan Alex pergi, seperti menyalakan lampu dan televisi, merokok, atau membuat suara-suara tertentu. Nana heran dengan keteguhan dan kedisiplinan Thukul karena dia tak pernah melihat sesuatu yang berubah di rumahnya ketika pulang.
"Bagaimana dia mandi, coba. Tak ada suara apa pun selama rumah ditinggal," kata Nana, yang sempat mengecek ke tetangga dan pedagang makanan keliling yang lewat depan rumahnya kalau-kalau mereka mendengar suara yang mencurigakan dari rumahnya. "Dia itu orangnya disiplin banget, teguh, tahu konsekuensi dan tidak pernah ngrepoti."
Selama di sana, Thukul biasanya hanya duduk bersila atau menekuk kedua lututnya di kursi di dekat kamar sambil menulis atau sekadar menggambar di buku seukuran kuarto. Jika tidak, ia mendekam di kamarnya.
Sesekali mereka berdiskusi jika ada teman aktivis yang datang menjenguk Thukul. Biasanya televisi dinyalakan dengan suara keras untuk menyamarkan percakapan. Thukul akan ikut merokok jika tamunya merokok. Seniman ini juga masih bersemangat jika berdiskusi tentang buruh dan situasi saat itu.
Keberadaan Thukul di rumahnya sempat membuat Nana cemas dan gelisah karena situasi saat itu sulit ditebak. Dia bahkan sempat memberi Thukul jaket musim dingin merah yang tebal. Selain untuk melindungi dari dingin, jaket itu dipakai sewaktu-waktu untuk menyamarkan penyair asal Solo tersebut, misalnya saat pindah ke tempat Galuh Wandita.
Sebelum ke tempat Galuh, Thukul disembunyikan dulu di tempat Mohammad Mu'tashim Billah, aktivis prodemokrasi yang kemudian menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Malam itu mereka mengantarkan Thukul bertemu dengan Hendra Budiman, aktivis dari Yogyakarta. Hendra mengenal Thukul sejak 1987, saat pertemuan pers mahasiswa di Yogyakarta. Dia anggota Rode, sebutan bagi kelompok aktivis dan mahasiswa yang indekos di Gang Rode di kawasan Mergangsan, Yogya.
Hendralah yang meminta atasannya, Billah, menampung Thukul karena rumahnya di Jatibening, Bekasi, dinilai cukup aman untuk bersembunyi. Apalagi ada paviliun di belakang rumah Billah yang pernah Hendra tinggali ketika baru menikah. "Saya antar dia (Thukul) malam-malam," kata Hendra.
Hendra mengabarkan kedatangan Thukul pada saat sarapan. Billah cukup kaget mengetahui ternyata sang tamu sudah datang semalam. Menurut Hendra, dia tak memberitahukan siapa teman yang akan ia titipkan. Dia juga sempat mengunjungi Thukul dan berpesan supaya tidak ke luar rumah.
Tapi, menurut Billah, sebelumnya dia sudah diberi tahu akan diminta menyembunyikan Thukul. "Kami sekeluarga sudah siap dan sadar konsekuensinya," ujarnya saat ditemui Tempo di rumahnya yang asri. Billah mengaku tak kenal secara pribadi dengan Thukul dan bukan anggota jaringan PRD, tapi mau menampungnya karena Thukul termasuk jaringan prodemokrasi.
Rumah Billah agak menjorok ke dalam dari jalan kampung di Jatibening. Tamu yang datang harus melewati dua pintu gerbang menuju rumahnya, sekitar 30 meter. Saat itu, sudah tengah malam ketika Thukul tiba. Billah menunggu di sudut luar rumah, tapi lampu luar rumah sengaja dimatikan.
Mereka lalu menuju paviliun di halaman belakang rumah. Billah kemudian menunjukkan jalan lewat pintu samping, lalu melipir ke jalan setapak di samping rumah, melewati musala, taman belakang, dan kolam renang yang di atasnya sekarang terdapat ruang kerjanya—saat itu ruang kerja itu belum dibangun. "Jadi dia tidak masuk ke rumah utama," ujar Billah.
Paviliun itu tidak besar. Luasnya sekitar 6 x 4 meter. Di sebelahnya juga ada satu paviliun lagi. Rumah itu dibatasi dengan tembok dan kawat berduri. Tak ada celah bagi orang luar masuk ke pekarangan, karena di balik tembok sudah langsung rumah tetangga.
Paviliun itu memiliki ruang tamu bercat putih dengan tiga kursi dan meja, dua foto di dinding, serta ukiran kayu seperti gebyok. Di samping ruang tamu terdapat kamar mandi dan dapur kecil. Thukul ditempatkan di salah satu kamar dari dua kamar di lantai dua. Kamar yang ditempatinya di sisi kanan. Jendela dengan terali menyilang berada di depan dan samping kamar.
Kamar Thukul itu berisi satu ranjang dan sebuah meja rias komplet dengan kaca yang agak buram menghitam. Di dinding terdapat tiga hiasan diding, yakni sebuah gambar kapal kecil, hiasan bunga dari kerang, dan gambar bunga berukuran hampir satu meter di sisi atas tempat tidur. Ketiga hiasan itu tampak kusam.
Billah tak berinteraksi dengan Thukul. Segala keperluan makan disediakan oleh Tamin, pembantu Billah. Menurut Tamin, Thukul tak banyak berbicara. Biasanya Tamin menyajikan makan tiga kali sehari dan menyiapkan termos air, gelas, gula, serta kopi atau teh. Dia akan memanggil Thukul manakala saat makan tiba. "Mas, sudah siap!" ujarnya saat itu, lalu meninggalkan paviliun.
Thukul tak lama berada di sana, hanya tiga hari hingga sepekan. Dia lalu dijemput lagi oleh Hendra dan pasangan Alex-Nana, yang kemudian mengantarnya ke jaringan aktivis Jawa Barat. Mereka bertemu dengan Boy Frido, mantan aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung, di Bandung. "Sampai ke saya pada Oktober atau November 1996," kata Boy saat ditemui Tempo di Desa Pasawahan, Kecamatan Banjarsari, Pangandaran, Jawa Barat, awal April lalu.
Boy mengaku bukan anggota PRD, tapi berteman dengan pimpinan PRD. Dia mengenal Thukul di Yogyakarta pada 1980 sebagai anak Rode. Boy dan Thukul semakin akrab setelah terlibat dalam pembangunan sekolah darurat di daerah pelosok. Mereka bertemu lagi saat Thukul masuk PRD. "Karena itu mungkin Wiji mau kami sembunyikan," ujarnya.
Boy menduga Alex mengantar Thukul ke dia setelah berkomunikasi dengan teman serumahnya, Bambang Hari. Boy dan Bambang sering berkumpul dan melakukan kegiatan bersama. Menurut Nana, Bambang bertindak sebagai pengatur persembunyian Thukul, sedangkan Boy sebagai pelaksana di lapangan. Sayangnya, Bambang tak bisa menjelaskan hal ini karena sudah meninggal lima tahun lalu.
Pertemuan Boy dan Thukul terjadi pada malam hari di suatu tempat di Bandung. Dalam pertemuan itu ada penjelasan singkat penyerahan Thukul dari Alex kepada Boy, tapi Thukul lalu dibawa Alex lagi. "Saya tak tahu proses selanjutnya," kata Boy.
Menurut Nana, Thukul tidak disembunyikan di Jawa Barat karena tempatnya terbuka dan dinilai kurang aman. Mereka lalu membawanya ke tempat Galuh Wandita di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Galuh juga aktivis prodemokrasi yang bergerak di bidang hak asasi manusia.
Saat akan keluar dari rumah Alex, mereka menyamarkan Thukul dengan rasa khawatir. "Kami sendiri yang parno (paranoid). Padahal cuma mindahin dari rumah ke halaman yang sangat dekat, mungkin tiga-lima meteran," ujar Nana. "Dia memakai jaket winter, jadi badannya terlihat besar dan pakai topi untuk menutup kepala dan wajahnya."
Tapi mereka rupanya tak paham daerah Menteng dan tersasar hingga Jalan Cendana, dekat rumah Presiden Soeharto. "Deg-degan banget, apalagi saat itu ada banyak tentara. Tapi kami berusaha sewajar mungkin," kata Nana. Untunglah, akhirnya mereka bisa menemukan rumah Galuh malam itu.
Galuh menampung Thukul selama tiga hari. "Di rumah orang tua saya, kami katakan teman ini sedang sakit, butuh istirahat sementara," ucap Galuh, yang mengenal Thukul pada 1994-1995 saat dia bekerja di sebuah organisasi nirlaba asing, Oxfam. Karena dianggap sakit, Thukul hanya berdiam di kamarnya dan tak banyak berhubungan dengan keluarga Galuh.
Sedangkan Boy mendapat pesan untuk mengantar Thukul ke tempat persembunyian berikutnya: Pontianak. "Temui orang ini. Namanya Djueng," begitu bunyi pesan itu. Boy diarahkan untuk membeli dua tiket pesawat ke Kalimantan melalui biro perjalanan dengan menggunakan nama palsu. "Dulu masih boleh membeli tiket pesawat tanpa pakai KTP. Tidak seketat sekarang. Cukup datang ke biro jasa, setor nama dan tujuan," ujar Boy.
Setelah tiket siap, Alex dan Nana mengantar Thukul ke Bandara Soekarno-Hatta. Selama di bandara dan di pesawat, Thukul dan Boy tak banyak mengobrol. Mereka berangkat memakai topi dan kacamata untuk menyamarkan penampilan. Di pesawat, keduanya duduk terpisah dan hanya berbicara seperlunya seperti orang yang tidak saling kenal. Pesawat itu berangkat sekitar pukul 08.00 menuju tempat pelarian baru Thukul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo