Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umar al-Faruq berhasil kabur dari penjagaan ketat di penjara Bagram, Afganistan. Dunia pun terkejut. Peristiwa itu sebenarnya terjadi pada Juli lalu, namun kabarnya baru terkuak awal bulan ini. Faruq, menurut Amerika Serikat, berperan sebagai tangan kanan Usamah bin Ladin dalam organisasi Al-Qaidah. Dalam interogasinya, dia mengaku berada di belakang aksi pengeboman sejumlah gereja pada 2000 di berbagai tempat di Indonesia, serta mendalangi upaya pembunuhan Megawati Soekarnoputri ketika masih menjabat sebagai presiden.
Wajar jika pemerintah Indonesia merasa kecewa atas lolosnya Faruq. “Wah, kita kecewa berat,” kata mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Abdullah Makhmud Hendropriyono. Hendropriyono bersama timnya menangkap Faruq di Bogor, Jawa Barat, 5 Juni 2002. Faruq hanya ditahan beberapa hari, kemudian dikirim ke penjara Bagram di bawah pengawasan tentara Amerika Serikat. Namun, Jenderal Purnawirawan berusia 60 tahun ini menolak jika penangkapan itu disebut sebagai order dari Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA).
Koran Washington Post pekan lalu melaporkan bahwa Hendropriyono bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam bidang apa pun. Hendro disebut-sebut kerap menjalin kontak dengan mantan Direktur CIA George Tennet. Sejak adanya kerja sama itu, Badan Intelijen Nasional (BIN) mendapatkan tangkapan-tangkapan besar.
Hendropriyono menampik klaim sepihak tersebut. Menurut dia, penangkapan Umar al-Faruq adalah hasil kerja BIN yang telah menyusup dalam jaringan teroris itu lama sebelumnya. Bahkan dia mengaku sempat kebingungan mendeportasi Faruq karena semua negara menolaknya. Wartawan Tempo Agung Rulianto, Hanibal W.Y. Wijayanta, dan Widiarsi Agustina menemui Hendropriyono di kantor pengacara Hendropriyono Law Office di Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu. Inilah petikan wawancara tersebut:
Mengapa Umar al-Faruq bisa lolos dari penjara Bagram, Afganistan, yang dijaga superketat?
Tahanan bisa lepas itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, melarikan diri sendiri. Kemungkinan kedua, dia melarikan diri dengan dibantu orang dalam. Nah, kalau orang bisa lepas, padahal penjaranya ketat, itu pasti dibantu. Pada kemungkinan kedua itu bisa jadi dilepas untuk mendapatkan yang lebih besar dari dia. Atau, kemungkinan dilepas untuk ditiadakan. Jadi, dia dilepas lalu ditangkap, tapi dalam keadaan mati. Kemungkinan itu sehari-hari dalam dunia intelijen.
Apakah Al-Faruq dilepas untuk membongkar jaringan teroris di Indonesia, seandainya memang dilepas?
Kalau rencana itu dilakukan tanpa koordinasi dengan Kepala BIN atau Presiden, maka ini perbuatan sangat bodoh, karena pasti akan gagal. Waktu dia kita tangkap (di Bogor, Jawa Barat, Juni 2002), walau cuma beberapa hari, kita sudah tahu network-nya. Kalau dia kembali, gampang kita tangkap saja. Ya, kalau tertangkap hidup. Kalau mati? Kecuali dipakai untuk tempat lain, kita tidak tahu, karena kita tidak cukup data.
Apa reaksi Anda ketika mendengar Al-Faruq lepas, sebab dulu tim Anda yang menangkap?
Wah, kecewa berat. Kita mendapat dia bukan diberi tahu Amerika seperti yang disebut-sebut selama ini. Amerika sendiri tidak tahu. Jadi, ketika peristiwa Poso meletus, anak buah saya menemukan beberapa orang asing ada di sana. Orang asing ini ada di kedua pihak yang bertikai. Tetapi yang ketahuan memberikan hasutan, penggalangan, dan sebagainya adalah Umar Faruq. Ada dokumen berupa rekaman film yang dibuat Seyam Reda (warga negara Jerman keturunan Arab) setelah dia kita tangkap (September 2002). Mukanya (Faruq) jelas, orangnya berbahasa arab dan di film itu diterjemahkan oleh Nasir.
Maksud Anda Nasir Abas, mantan Ketua Mantiqi III di Jamaah Islamiyah?
Nah! Apakah Nasir Abas yang itu atau Nasir yang lain, saya belum sempat tanya. Karena saat Nasir Abas sudah turun dan bisa dipakai polisi, saya tidak lagi menjabat. Kalau film itu diputar lagi, kita bisa lihat benar dia atau bukan.
Jadi, keberadaan Umar Faruq itu infonya bukan dari Amerika Serikat?
Tidak, tidak sama sekali. Makanya itu digulir-gulirkan oleh siapa, kita tidak tahu. Mungkin kelompok mereka juga. Setelah kita tangkap, kita kebingungan siapa orang ini. Karena waktu kita periksa dia seperti orang bloon saja. KTP-nya aspal. Makanya, pada 2001 saya sudah katakan, awas ada orang asing bermain di Poso. Wah, semuanya membantah, termasuk penguasa setempat. Mengapa saya katakan? Supaya masyarakat ikut berpartisipasi dan merazia juga.
Mengapa kemudian dia dideportasi?
Kesalahannya kan jelas menghasut. Waktu kita mau bawa dia ke pengadilan ditanyakan bukti. Kita bawa film. Katanya, film tidak bisa menjadi bukti, kaset juga tidak bisa. Terus apa? Saksi juga susah, sebab orang-orang pada tidak mau karena takut. Bagaimana mau kita bawa ke hukum kita? Kapolri meminta diusut di negeri kita. Saya bilang ini bukan soal locus delicti (tempat terjadinya perbuatan pidana). Ini cerita orang asing main di tempat kita sehingga bangsa kita bunuh-bunuhan. Lalu kita pikir sebaiknya kita deportasi saja orang ini. Masalahnya, mau dideportasi ke mana? Dia tidak mengaku asalnya dari mana. Dia bilang orang Kuwait, terus Kuwait bikin press conference menolak. Kita pulangkan ke Pakistan, dia bilang bukan orang Pakistan. Kedutaan Pakistan juga menolaknya.
Bagaimana akhirnya Anda menyelesaikannya?
Kita saling tukar catatan. Our enemy’s enemy is our friend (musuhnya musuh adalah teman kita), karena kan tidak ada teman atau musuh sejati. Eh, Pakistan barusan menangkap Abu Zubaida yang lalu dipinjam Amerika Serikat karena dia pimpinan Al-Qaidah. Abu Zubaida bilang, ini (Umar Faruq) anak buah saya. Nah, jadi bukannya kita mempersembahkan seperti Tempo bilang. Kita itu siapa saja, mau Amerika, mau Rusia, mau Cina, silakan saja. Itu makanya saya bilang, Al-Qaidah main di Poso, bukan Jamaah Islamiyah, bukan yang lain.
Saat penangkapan Umar Faruq, disebut-sebut peran Abdul Haris yang diduga agen BIN. Apakah dia disusupkan ke jaringan ini sejak awal?
Sebelum saya jadi Kepala BIN, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Nasional) dan Bais (Badan Intelijen Strategis dari militer) anggotanya sudah menyusup ke mana-mana. Ada yang jadi wartawan, kelompok mahasiswa, ada juga yang sekolah beneran sampai jadi dokter. Jadi, kalau nama memang susah kita cari. Banyak sekali nama Abdul Haris di BIN. Nah Abdul Haris siapa? Karena saya memang umumkan ke semua anggota, saya tak butuhkan nama. Jadi, nama bisa ganti.
Abdul Haris yang mengaku mendapat proyek pemasangan karpet di BIN.
Wah, kalau orang-orang operasional bisa siapa saja. Seperti nyewa, ngontrak, jadi mahasiswa, itu kan bisa-bisanya bagaimana mereka bersiasat. Ada yang intel Melayu yang masuknya ketahuan. Ada yang pintar masuknya tidak ketahuan sampai dapat posisi tinggi. Jadi, dalam kita menentukan sasaran, kita mendapat masukan dari informan. Mereka ini hanya memberi info, tetapi tidak melakukan tindakan apa-apa. Sementara ada juga agen kita di sana. Terakhir yang sangat meyakinkan saat kita tangkap Seyam Reda. Seyam Reda ini contoh bahwa ternyata saya tidak salah tangkap meskipun sebelumnya saya sempat ragu.
Apa saja yang dilakukan intelijen saat menyusup?
Mereka melakukan tiga hal, penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Pengamanan itu bagaimana cara dia mengamankan dirinya, penyelidikan bagaimana dia masuk ke sasaran-sasaran atau ikut memonitor, kemudian menggalang dan mengkondisikan dengan cara merangkul. Jadi, kalau kita sudah masuk, orang itu kita rangkul. Tetapi kalau sudah tidak bisa, kita cari siapa musuh dia. Musuhnya ini yang kita garap. Makanya kita (minta) izin untuk menahan orang selama empat hari dan keluarganya kita kasih tahu—begitu saja saya tidak dikasih.
Dikhawatirkan akan menjadi represif seperti zaman dahulu.
Lho, kalau zaman dahulu kan tidak ada aturannya. Nah, sekarang diatur dong dalam satu organisasi itu, siapa yang boleh diambil.
Misalnya?
JI yang begitu kecil saja tidak semuanya setuju dengan teror, di antaranya Nasir Abas yang sejak awal tidak setuju. Jadi, yang kita pegang Nasir. Waktu di Poso saya penasaran apakah ini Nasir Abas. Bagaimana caranya supaya gue bisa ambil dia. Tetapi kalau itu sampai saya ambil, pasti ramai. Karena itu saya ngotot ngincar dia. Eh, sekarang ditangkap dan identitasnya terbuka karena bom Bali. Kalau sudah terbuka kan tidak ada gunanya. Paling disuruh nulis buku.
Apakah intelijen kita juga terlibat dalam penangkapan Hambali?
Tidak. Tetapi saya menulis pertanyaan yang saya kirim ke sana (Thailand, tempat Hambali ditahan), lalu dikasih jawaban dari sana. Banyak pertanyaan tentang situasi Indonesia, hanya tidak bisa dipakai untuk menyeret ke hukum, karena orangnya harus dihadirkan. Nah, cap yang diberikan kepada saya, apalagi setelah saya pensiun, bahwa saya bonekanya Amerika. Padahal, saya tidak kenal sama si Bush. Satu-satunya orang Amerika yang saya kenal yang kerja di bengkel BMW… hahaha!
Bagaimana upaya kerja sama intelijen antarnegara?
Saya kan dulu Ketua Organisasi Intelijen Negara-negara Islam. Kalau kita kumpul itu saling bagi informasi. Kalau saya usulkan kerja sama, kita itu lebih dekat ke Pakistan, karena di situ sarangnya. Kalau di sini kan cuma sarang-sarangan. Mereka sekolahnya di Pakistan semua. Kemudian muncul konsep enlightening moderation dari Pervez Musharraf (Presiden Pakistan). Pemerintah Pakistan mensubsidi semua pesantren di sana, jadi tidak boleh swasta. Artinya, kurikulumnya juga disubsidi dan dibina. Musharraf bicara kepada saya: ”Sekarang saya kasih (santri Pakistan) pelajaran ilmu pengetahuan tinggi agar mereka tertarik. Daripada hanya memperdalam filsafat, nanti ngomongnya di awang-awang.” Pesantren di sana disuruh memilih, yang mau kedokteran, mau teknologi pertanian, pemerintah menyiapkan.
Bagaimana Anda melihat perburuan pasangan Dr Azahari dan Noor Din Top?
Saya berani bilang sesudah Azahari mati, Noor Din Top akan segera tertangkap, karena simpul-simpulnya pasti sudah pada ketakutan. Mereka akan berpikir, Azahari yang orang penting dan dilindungi saja tertangkap, apalagi saya. Ini pasti ada yang membocorkan. Makanya, kalau ada orang yang datang, pasti mereka akan bilang, “Saya tidak mau ikut-ikut lagi.”
Bukankah di luar masih ada Zulkarnaen, Umar Patek, Dulmatin yang bisa melakukan balas dendam?
Ya, tapi mereka kan tetap tidak bisa sendiri. Mereka harus cari dulu orang yang bisa dipercaya. Mereka pasti mengira orang-orang yang dekat mereka jangan-jangan intel. Itu kan dia tetap takut. Saya kok tidak melihat mereka sebagai bahaya. Karena mereka harus merekrut lagi orang-orang yang bisa dipercaya. Berarti itu mulai dari anaknya sendiri, keponakan, dan sebagainya. Itu makan waktu, baru dia akan main lagi.
Bagaimana dengan kader-kader di bawah mereka?
Memang mereka tidak ada istirahat. Kita harus pandai membaca mereka karena ini perang. Mereka ini kan berangkat ke Afganistan yang sedang perang melawan Soviet. Kita mengirimkan orang menjadi mujahidin di sana, padahal itu melanggar UUD. Tetapi setelah menang mereka terkejut, mengapa jadinya Taliban yang mendapat kekuasaan, padahal mereka yang perang. Nah, orang-orang seperti Ja’far Umar Thalib: dia pernah bertemu Usamah Bin Ladin saat masih pakai dasi, sementara dia sudah perang. Tahu-tahu sekarang Usamah yang jadi bosnya, sementara dia terlempar. Nah, orang-orang yang kecewa pada keadaan ini bisa dipakai intelijen.
Nama Anda disebut-sebut dalam kasus kematian aktivis Munir. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya itu kan leher saja, dan saya tidak pernah jadi yang nomor satu. Jadi, saya itu dikiranya selalu sebagai operator. Bagi saya, itu bukan barang baru. Mulai Theys (Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua), saya juga disebut yang membunuh. Bahkan Tempo pun sampai sekarang belum meralat, padahal sudah terbukti bukan saya. Soal Warsidi (saat itu Hendro menjadi Komandan Korem Garuda Hitam Lampung, 1989) saja, yang disuruh tanggung jawab kan saya. Memangnya waktu itu saya tidak punya atasan? Waktu itu kan atasan saya ngumpul semua di sana. Kok, jadi saya yang disebut? Tetapi setiap kali ditanya siapa atasannya, ya lihat saja sendiri. Bos saya datangnya pakai helikopter ke sana-sini. Eh, saya yang dibilang menyerbu pakai helikopter. Padahal, sampai waktu itu saya belum pernah naik heli. Bagi saya, seorang perwira tidak boleh lempar badan, kecuali di pengadilan, karena disumpah.
Apakah Anda pernah diminta menjadi saksi terdakwa Pollycarpus yang disebut agen BIN dalam kasus pembunuhan Munir?
Kalau dipanggil, saya mau. Tetapi kan saya tidak kenal, jadi biarkan saja. Wong namanya saja aneh. Saya kira orang Ambon, ternyata orang Jawa. Makanya saya tidak takut, silakan saja. Wong saya tidak ngerasa. Dan saya tidak bodoh begitu. Saya kan sudah tua di intelijen. Masak, begitu caranya kalau saya menyuruh orang yang saya tidak kenal. Mana mungkin? Tolol amat.
A.M. Hendropriyono
Lahir:
- Yogyakarta, 7 Mei 1945
Pendidikan:
- Akademi Militer Nasional, Magelang (1967)
- Australian Intelligence Course, Woodside (1971)
- United States Army General Staff College, Fort Leavenworth, USA (1980)
- Sarjana Administrasi Negara STIA LAN RI, Jakarta (1985)
- Sarjana Hukum Sekolah Tinggi Hukum Militer, Jakarta
- Sesko ABRI (1989)
- Sarjana Ekonomi Universitas Terbuka, Jakarta (1995)
- Sarjana Teknik Industri Universitas Achmad Yani, Bandung
- Pascasarjana Administrasi Niaga University of the City of Manila, Filipina
Karier:
- Asisten Intelijen Kodam Jaya (1985)
- Danrem 043 Garuda Hitam (1987) Lampung
- Direktur A Badan Intelijen Strategis (1990)
- Panglima Kodam Jakarta Raya (1993)
- Komandan Kodiklat TNI AD (1994)
- Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan RI (1996)
- Menteri Transmigrasi dan PPH RI (1997)
- Kepala Badan Intelijen Negara (2001-2004)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo