Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam upaya menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan transparan, agaknya Indonesia tak perlu jauh-jauh berkaca pada negara maju. Dibandingkan dengan sesama negara berkembang, seperti Filipina dan Thailand saja, kita sudah kalah langkah.
Kedua negara itu bahkan merasa perlu mencantumkan ketentuan tentang pentingnya pejabat negara yang bersih dari bisnis dan konflik kepentingan dalam konstitusinya.
Undang-undang di sana mewajibkan para penyelenggara negara melaporkan kekayaannya, melarang rangkap jabatan, dan sebagainya. Hal serupa dilakukan Afrika Selatan agar selingkuh kepentingan sang pejabat bisa dicegah sedini mungkin.
Konstitusi Filipina
Kongres
Bab VI mengenai Legislative Department mengatur anggota kongres:
- Wajib membuka semua kepentingan finansial dan bisnisnya (Pasal 12).
- Dalam mengajukan rancangan undang-undang, anggota kongres wajib memberitahukan potensi konflik kepentingan yang ada pada diri mereka (Pasal 12).
- Larangan rangkap jabatan di pemerintahan, termasuk di badan usaha milik negara atau daerah. Mereka juga tak boleh menduduki jabatan di institusi yang dibentuk pada masa ia menjabat sebagai legislator (Pasal 13).
- Larangan menjadi pengacara atau penasihat hukum (Pasal 14).
- Larangan mendapatkan kontrak proyek dan privilese lainnya, yang mendatangkan keuntungan finansial langsung maupun tak langsung (Pasal 14).
EksekutifBab VII mengenai Executive Department mengatur:
- Larangan rangkap jabatan (Pasal 13).
- Larangan terlibat dalam bisnis, mendapatkan kontrak, konsesi, lisensi dari negara (Pasal 13).
- Kewajiban menghindari selingkuh kepentingan (Pasal 13).
- Larangan bagi keluarga presiden dan keluarga mereka (empat lapis = fourth civil degree) untuk menduduki jabatan publik apa pun, termasuk di birokrasi dan badan usaha milik negara/daerah.
- Presiden juga tak boleh mengangkat pejabat selama dua bulan sebelum pemilihan presiden, untuk menghindari adanya bagi-bagi jabatan guna meraup dukungan pada pemilihan kembali dirinya (Pasal 15).
Akuntabilitas Bab XI Konstitusi Filipina juga mengatur tentang akuntabilitas para pejabat publik:
- Bank-bank maupun lembaga keuangan pemerintah tidak diperkenankan memberi pinjaman dan garansi bisnis kepada presiden dan keluarganya, anggota Mahkamah Agung, Komisi Konstitusi, dan Ombudsman selama masa jabatannya (Pasal 16).
- Mewajibkan pelaporan kekayaan dari pejabat publik, termasuk perwira militer, dan harus dibuka ke publik (Pasal 17).
Konstitusi Thailand
Legislatif
- Larangan rangkap jabatan bagi anggota National Assembly (Pasal 110).
- Larangan bagi anggota lembaga legislatif menerima konsesi dan kontrak dari pemerintah, serta dilarang mempunyai saham maupun kerja sama di perusahaan. Larangan mencakup penerimaan uang dan keuntungan lainnya dari institusi mana pun (kecuali gaji sebagai anggota National Assembly) (Pasal 110).
Eksekutif
- Untuk perdana menteri dan jajarannya, berlaku ketentuan larangan mempunyai usaha, saham, dan kerja sama di perusahaan tertentu (Bab VII Pasal 208).
- Larangan untuk menjadi pegawai di perusahaan apa pun (Bab VII Pasal 208).
- Pejabat yang baru diangkat harus melaporkan usaha bisnisnya ke Komisi Nasional Antikorupsi (NCCC). Dalam waktu 30 hari, kepemilikannya sudah harus ditransfer ke orang lain (Bab VII Pasal 209).
- Aturan laporan kekayaan pejabat meliputi pula harta atas nama istri/suami dan anak-anak (Bab X Pasal 291).
- Konstitusi membuat mekanisme pemecatan dari jabatan oleh publik. Konstituen cukup mengumpulkan 50 ribu tanda tangan dan diserahkan kepada President Senate, dan setelah itu meneruskannya ke NCCC (Bab III Pasal 304).
Konstitusi Afrika Selatan
Pasal 96:
- Semua anggota kabinet dan deputi menteri dilarang rangkap jabatan dan bekerja di tempat lain.
- Mereka juga dilarang terlibat dalam urusan dengan risiko konflik kepentingan antara kewenangannya sebagai pejabat publik dan kepentingan pribadinya.
Konstitusi ini memiliki lembaga Public Protector, yang berhak menginvestigasi penyimpangan dari posisi publik dan menjatuhkan sanksi. Public Protector diatur dalam UU khusus dan memiliki akses tak terbatas (Pasal 182).
Indonesia
Konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dua kali diamendemen, belum sedikit pun mengatur soal korupsi dan kolusi pejabat negara. Upaya pencegahan selingkuh kepentingan dan penyalahgunaan jabatan publik baru sebatas diatur dalam ketetapan MPR, undang-undang, dan peraturan-peraturan di bawahnya.
- Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
- Penyelenggara negara meliputi: pejabat pada lembaga tinggi dan tertinggi negara, menteri, gubernur, hakim, dan pejabat lain yang diatur undang-undang (Pasal 2).
- Pejabat negara wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat (Pasal 5, ayat 3).
- Larangan melaksanakan tugas dengan pamrih pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tak boleh mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun (Pasal 5, ayat 6).
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 memerintahkan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Banyak yang terkejut ketika pada Desember tahun lalu Presiden Yudhoyono mengeluarkan pernyataan yang intinya mengizinkan keluarga pejabat berbisnis. Memang betul belum ada undang-undang yang khusus mengatur soal bisnis keluarga pejabat. Meski begitu, sesungguhnya sudah ada peraturan di bawah undang-undang, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974, yang mengatur pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam usaha swasta.
Pada Bab II Pasal 2, ayat 1, peraturan ini dinyatakan:
Pegawai negeri sipil golongan ruang IV/a ke atas, anggota ABRI berpangkat letnan II ke atas, pejabat, serta istri dari :
- Penjabat eselon I dan yang setingkat, baik di pusat maupun di daerah;
- Perwira tinggi ABRI; penjabat-penjabat lain yang ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga yang bersangkutan; dilarang untuk:
- memiliki seluruh atau sebagian perusahaan swasta;
- memimpin, duduk sebagai anggota pengurus atau pengawas suatu perusahaan swasta;
- melakukan kegiatan usaha dagang, baik resmi maupun sambilan.
Y. Tomi Aryanto dan riset ICW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo