Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Meja Bedah ke Meja Perundingan

Tokoh ini menjalankan sejumlah perintah Jusuf Kalla dengan berhasil: membawa pihak-pihak yang berseteru ke meja perundingan.

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namanya Farid Wadji Husain, 55 tahun. Profesinya dokter bedah. Tetapi bakat terbesarnya bukan hanya mereparasi tubuh manusia. Dia sanggup menghalau kelompok-kelompok yang baku bantai untuk duduk secara patut di meja perundingan.

Dokter Farid tak setenar orang-orang dekat Jusuf Kalla. Tugasnya memang lebih mirip gerilyawan; diam-diam mendekati para seteru yang saling rangsek. Dia membujuk, memikat, lalu menggiring mereka untuk duduk bersama. Tatkala sentimen agama mendidihkan Poso, Sulawesi Tengah, beberapa tahun lalu, Farid berjumpalitan di belakang layar. Hasilnya, Perjanjian Damai Malino I diteken pada Desember 2001.

Dari Poso, Farid bergeser ke Ambon, Maluku. Lintang-pukang kian kemari, Farid merangkul kubu-kubu yang saling melotot sembari menghunus kelewang. Hasilnya, Perjanjian Damai Malino II diparaf di Ambon dua bulan kemudian. Edisi terbaru hasil kerja Farid adalah mempertemukan para sesepuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan wakil pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia, pada Agustus 2005. ”Saya hanya membuka komunikasi dan mengantar ke meja perundingan,” kata Farid. Saat mereka bertemu, dia menepi.

Kepada Tempo, Farid mengakui, semua langkahnya membuka jalan dialog adalah atas perintah langsung Jusuf Kalla. Order itu sudah ia terima sejak JK—sebutan populer Jusuf Kalla—masih Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Poso adalah pekerjaan rumah pertama yang dijejalkan Jusuf ke bahu Farid tatkala JK dan Yudhoyono—di masa itu menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan—berkunjung ke Makassar, Sulawesi Selatan. Kebetulan, bulan-bulan itu Farid sering bolak-balik ke Poso sebagai dokter yang menolong korban konflik.

Tugas sebagai dokter bedah membikin Farid leluasa bertemu dua pihak yang berperang. Kesempatan itu ia pakai mendekati para tokoh paling berpengaruh dari setiap kelompok. ”Saya beruntung karena bukan politisi,” ujar pria kelahiran Sopeng, Sulawesi Selatan, ini. Saat bertemu dengan pentolan kerusuhan, Farid menggunakan ilmu kedokteran sebagai ”angle” pembicaraan: ada konsultasi singkat kondisi kesehatan, disusul bantuan pengobatan secara gratis. Tak-tik ini tak langsung cespleng dalam pertemuan pertama. Perlu beberapa kali pengobatan plus konsultasi kesehatan, barulah kepercayaan terbangun.

Nah, di titik inilah Farid beralih dari Pak Dokter menjadi ”pialang” perundingan. Menurut Farid, sukses terbesarnya di Poso adalah saat dia berhasil mengajak kedua pihak yang berperang datang ke Malino. Mereka ditempatkan di hotel berbeda. Cara serupa berhasil ia pakai dalam membereskan pertikaian di Ambon. Setelah itu dia diangkat sebagai Ketua Pemantau Pelaksanaan Malino I dan II. ”Jadi, setiap dua minggu saya terbang ke Poso dan Ambon,” katanya.

Keberhasilan itu membuat JK mengajaknya ke Jakarta. Kalla memberinya kursi Deputi II Menko Kesra Bidang Kesehatan dan Lingkungan Hidup. Belum lama duduk di kursi itu, tugas baru sudah disodorkan ke mejanya. Dia diminta membuka jalan damai dengan GAM. Menembus kelompok dengan organisasi yang rumit di level internasional tentu butuh pendekatan yang lebih kaya ketimbang sekadar jarum suntik dan tas dokter.

Perintah Kalla kepada Farid: berangkatlah ke Swedia, temui para pentolan GAM di negeri itu. Sebelum melanglang ke Swedia, Farid mengajak istrinya sering-sering makan di warung Aceh di kawasan Benhil, Jakarta Pusat. Gagal. Upayanya berhasil setelah bertemu pengusaha asal Finlandia, Juha Christensen, yang telah lama mengenal pimpinan GAM di Eropa. Dan berhasil.

Farid bukan diplomat, politisi, atau juru runding resmi. Jadi, mengapa Jusuf Kalla mempercayakan tugas berat itu kepada dokter bedah ini? Aha, rupanya mereka sudah saling kenal lebih dari 30 tahun. Pertalian dua pria Sulawesi Selatan ini terbuhul tatkala Farid menempuh studi kedokteran di Universitas Hasanuddin. Saman Kalla, adik JK yang meninggal dua dasawarsa lalu, adalah teman Farid. Kakak Farid, Syarifuddin Husein, adalah teman sekolah Jusuf Kalla. Klop.

Satu lagi sahabat masa kuliah Farid adalah Idrus Paturusi. Kini dia Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Layaknya sobat kental, mereka sering belajar, makan, dan tidur bersama. Di rumah mereka masing-masing selalu ada kamar yang dijadikan markas secara bergantian. ”Tetapi paling sering di rumah Saman Kalla di Jalan Laiya dan Jalan Andalas, Makassar,” kata Idrus kepada Tempo.

Idrus masih ingat, kamar Saman ada di lantai dua, kamar Jusuf ada di lantai satu. Saat mereka belajar, sang kakak selalu memerintahkan Saman dan gengnya untuk memboyong semua makanan yang ada di kamarnya. ”Paling sering di bulan puasa,” kata Idrus. Dengan girang mereka memboyong semua kudapan dari kamar Jusuf. Menurut Idrus, Farid paling suka usil dan membual dengan lelucon yang menyegarkan suasana. Jusuf kadang-kadang ikut mengobrol, tapi lebih sering sibuk mengurus bisnisnya.

Farid berasal dari keluarga besar. Dia anak ketiga dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Muhammad Husein, selama 39 tahun bekerja sebagai guru. Terakhir dia menjadi kepala sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Makassar. Ibu Farid bernama Saidah. Di mata ibunya, Farid adalah anak yang selalu berani tampil beda. Ketika tamat sekolah dasar, dia menolak belajar di SMP yang dipimpin ayahnya. Alasannya, kalau dia menjadi juara kelas, akan ada saja mulut usil yang bilang itu gara-gara bapaknya kepala sekolah. ”Padahal saya benar-benar pintar. Buktinya bisa jadi dokter, ha-ha-ha…,” kata Farid sambil terbahak.

Keluarganya sempat mengharapkan dia menjadi dokter anak. Menurut kakaknya, Syarifuddin, dia punya kebiasaan menidurkan adik-adiknya di atas kaki sambil membaca buku pelajaran. ”Eh, sekarang malah menjadi dokter bedah,” kata Syarifuddin.

Farid tak membantah kedekatannya dengan Jusuf Kalla. Tapi dia mengaku tak pernah memanfaatkan hubungan mereka. Kerja sama di bidang non-birokrasi antara JK dan Farid sudah lama terjalin. Dia pernah menjadi Direktur Rumah Sakit Islam Faisal di Makassar, yang didirikan Jusuf Kalla pada 1980.

Empat bulan lalu, Deputi II Menko Kesra ini resmi menjabat Dirjen Pelayanan Kesehatan di Departemen Kesehatan. Farid berjanji untuk setia: ke mana pun Kalla menugasi, akan ia kerjakan. Namanya pernah ”listing” di Kabinet Indonesia Bersatu pada jam-jam terakhir penentuan, tapi kemudian dicoret. ”Saya tak mau berpolitik,” katanya. Faktanya, Farid tidak buta soal politik.

Sejak masa sekolah, dia telah mengikuti berbagai organisasi. Dia pernah menjadi Ketua Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia Makassar pada sekitar tahun 60-an. Saat itu Jusuf Kalla menjadi Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Sulawesi Selatan. Saat pencalonan Wali Kota Makassar periode 1999-2004, dia mencoba peruntungannya. Tapi Pak Dokter kalah bersaing dengan H.B. Amiruddin Maula, rivalnya yang kemudian terpilih sebagai wali kota.

Kedekatan Farid dengan keluarga Jusuf Kalla sudah teruji. Bahkan, menurut seorang pejabat di Departemen Kesehatan, Farid lebih sering ”berkantor” di kantor wakil presiden. Akibatnya, sebagian karyawan di Departemen Kesehatan nyaris tak mengenal wajahnya.

Soal ini, Farid punya jawaban. Katanya: ”Saya tidak bolos. Ini perintah atasan dan untuk kebaikan di Depkes.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus