Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jembatan di Belakang Layar

Achmad Kalla menjadi kepercayaan Jusuf Kalla dalam mengelola Bukaka. Dari bengkel kecil di Cileungsi.

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH Toyota Vios menggelinding perlahan memasuki halaman kafe di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Seorang pria berkemeja putih, dengan celana gelap, keluar dari mobil itu—seorang diri. Tak ada sopir, ajudan, apalagi pengawal. ”Ah, pengawal kan untuk wakil presiden, istri, dan anak-anaknya,” kata pria itu.

Dialah Achmad Kalla, adik kandung Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sambil memesan kopi, Achmad membuka cerita tentang Bukaka, perusahaan keluarga yang kini ia pimpin. Tersebutlah pada 1996, ketika Indonesia di ambang krisis ekonomi, saat ia terpaksa tampil sebagai tulang punggung Bukaka.

Ia menjadi direktur utama menggantikan Fadel Muhammad. Adik lelakinya yang lain, Suhaeli Kalla, menjadi komisaris utama. Padahal, di jagat bisnis Indonesia ketika itu, nama Achmad kalah mengkilap ketimbang Fadel.

Achmad, yang low profile, selalu di bawah bayang-bayang Fadel yang flamboyan. Jarang sekali ia duduk di kelas bisnis bila bepergian dengan pesawat terbang. ”Barangkali sesekali saja, kalau kehabisan tiket kelas ekonomi,” katanya.

Dalam berkongsi, dua sahabat sejak di bangku kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) itu memang berbagi tugas. Fadel tampil di depan, sebagai pelobi dan pemasar yang ulung. Achmad, yang menganggap dirinya ”insinyur berbakat”, bekerja di belakang layar sebagai inovator aneka produk keluaran Bukaka.

Kerja sama yang mulanya harmonis itu bubar di tengah jalan. Setelah menjadi direktur utama selama 12 tahun, Fadel mengundurkan diri dari Bukaka, untuk membangun bisnisnya sendiri. Perpisahan ini, menurut Achmad, kurang mulus. ”Tapi kami tak dendam,” katanya tentang sahabat lamanya yang kini menjadi Gubernur Gorontalo itu.

Mengambil nama sebuah kampung di Kota Watampone, Sulawesi Selatan, tanah kelahiran Jusuf, Achmad, dan ibunda mereka Athirah Kalla, Bukaka sejak awal didirikan untuk pengembangan rekayasa industri permesinan. Dengan Achmad—lulusan Fisika Teknik ITB—sebagai motor, Bukaka memulai usaha dari sebuah bengkel kecil di Cileungsi, Bogor.

Pekerjaan pertama Bukaka adalah membuat sasis panjang untuk Toyota Land Cruiser yang dirakit di Indonesia. Perlahan tapi pasti, Bukaka berhasil membuat produk berkandungan teknologi tinggi. Satu di antaranya adalah jembatan penghubung antara terminal dan pesawat terbang yang bentuknya mirip belalai gajah—yang kemudian disebut garbarata.

Bukaka kini rata-rata membuat 500 unit garbarata dalam setahun. Produk dengan harga sekitar US$ 250 ribu—setara dengan Rp 2,5 miliar—per unit itu dipakai di berbagai bandara di Malaysia, Thailand, Cina, Iran, Myanmar, Hong Kong, dan Jepang. Produk terbarunya berdinding kaca. Dalam tender, biasanya mereka mengalahkan produk serupa buatan Amerika, Jerman, Jepang, dan Cina.

Di bawah Achmad, Bukaka belakangan kian gesit berekspansi, terutama di bisnis pembangkit listrik. Di Sulawesi saja, Bukaka sedang membangun enam pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Satu di antaranya di Poso, Sulawesi Tengah, yang menggunakan tenaga air terjun dan bisa menghasilkan listrik 600 megawatt. ”Itu bisa memasok kebutuhan listrik untuk seluruh Sulawesi saat ini,” katanya.

Di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Bukaka berkongsi dengan NV Hadji Kalla memulai pembangunan PLTA berkapasitas 25 megawatt. Achmad cuma butuh waktu enam jam untuk memperoleh izin dari Bupati Kolaka. Bahkan pemerintah setempat membangun 10 kilometer jalan ke lokasi proyek.

Masih berpatungan dengan NV Hadji Kalla, di Pinrang, Sulawesi Selatan, Bukaka membangun PLTA senilai Rp 1,44 triliun. Kilang itu rencananya akan beroperasi tahun depan. Namun, proyek ini menuai silang pendapat karena Bukaka ingin menggunakan bendungan yang dibangun dan dimiliki oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Achmad memang melihat, masa depan gemilang ada di industri energi. Bukaka, katanya, lebih mengembangkan PLTA jenis runofriver, yang memanfaatkan arus sungai atau air terjun, ketimbang jenis reservoir (bendungan). Biaya pembangunannya lebih murah, dan sumbernya banyak terdapat di Indonesia.

Gencarnya pembangunan PLTA didorong oleh target agar lima tahun ke depan Bukaka menjadi ”the biggest hydroplayer” di Indonesia. Di luar PLTA, mereka menggandeng perusahan daerah Batam mendirikan PT Bukaka Barelang Energy, untuk membangun pipa gas alam senilai US$ 750 juta—setara dengan Rp 7,5 triliun—dari Pagar Dewa, Sumatera Selatan, ke Batam.

Perusahaan ini pun berkongsi dengan investor Malaysia untuk membangun pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) senilai US$ 92 juta—atau Rp 920 miliar— di Pulau Sembulang, dekat Batam. Proyek lain energi alternatif adalah membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi di Sarulla, Tarutung, Sumatera Utara. Jika rampung, kilang setrum di dekat Danau Toba itu akan menghasilkan 300 megawatt.

Di bidang infrastruktur, Bukaka ikut mengerjakan proyek senilai US$ 500 juta dari pemerintah Jakarta untuk membangun monorel. Di sana, mereka bekerja sama dengan Siemens dari Jerman dan dua perusahaan pelat merah: PT INKA dan PT LEN.

Untuk modal mengerjakan proyek-proyek besar itu, Bukaka menjual perusahaan dan berbagai aset lain. Termasuk yang sedang dijajakan adalah Bukaka Singtel, perusahaan telekomunikasi yang mengerjakan sambungan telepon tetap di Sulawesi Selatan. Kekurangannya ditutup dengan berutang, terutama ke luar negeri. ”Kami tak memiliki utang kepada bank pemerintah di dalam negeri,” ujar Achmad.

Urusan utang sempat membuat nama Achmad Kalla mencuat. Ia pasang badan soal pinjaman NV Hadji Kalla senilai Rp 200 miliar dari Jamsostek. Adalah Ketua DPR Akbar Tandjung, dan Farid Faqih dari Government Watch, yang meledakkan kasus itu menjelang kampanye pemilihan presiden tahun lalu. ”Saya, bukan Jusuf atau Bukaka, yang menerima utang dari penerbitan medium term notes NV Hadji Kalla,” katanya saat itu.

Padahal, NV Hadji Kalla resminya tak memiliki kaitan dengan Bukaka. Perusahaan keluarga itu dipimpin adik perempuannya, Fatimah Kalla. Kisah utang Jamsostek berakhir setelah Achmad membeli kembali surat utang itu, yang mestinya baru jatuh tempo tahun depan.

Sebagai pengusaha, Achmad dikenal berani dan tegas. Syarifudin Husain, bekas direktur di salah satu anak perusahaan NV Hadji Kalla, menceritakan kemarahan Achmad ketika Presiden Abdurrahman Wahid dulu menuduh Bukaka memperoleh proyek transmisi listrik dari PLN lewat kolusi.

Ia lantang menyemprot balik Gus Dur sebagai ”asal bicara tanpa fakta”. Bukaka kemudian menggugat PLN, yang membatalkan tender itu. ”Saya gugat habis dan menang, sampai akhirnya PLN bersedia membayar ganti rugi,” ujar Achmad.

Syarifudin juga mengenang Achmad sebagai orang yang baik dan suka menolong. Ia pernah mendapat arloji Rolex ketika akan sekolah ke Amerika. ”Biar tidak malu-maluin saat di sana,” Syarifudin menirukan ucapan Achmad. ”Kita tak pernah mendengar berita negatif tentang Achmad,” kata Zainal Bintang, tokoh Partai Golkar asal Sulawesi Selatan, yang sering berseberangan dengan Jusuf Kalla.

Dibandingkan dengan Jusuf, yang aktif dalam organisasi dan kegiatan kemasyarakatan sejak usia muda, Achmad lebih banyak berkutat dengan pekerjaan. Sekarang ia hanya menjadi anggota Majelis Wali Amanat di Universitas Indonesia, tempat anak sulungnya kuliah, dan di Universitas Al-Azhar.

Setelah Jusuf Kalla menjadi wakil presiden, Achmad mengaku acap dimintai tolong mengerjakan urusan kenegaraan kecil-kecilan. Misalnya memeriksa ulang harga pembelian barang di satu departemen.

Ia pun kadang-kadang memberi masukan terkait dengan kebijakan pemerintah di bidang energi. Contohnya, penggunaan gas alam cair yang lebih banyak diekspor. Padahal harga gas alam cair lebih murah 40 persen ketimbang solar. ”Ironis, gas alam yang harganya murah kita ekspor, tapi kita mengimpor solar yang harganya lebih mahal,” katanya.

Achmad juga menjadi jembatan bagi adik-adiknya dalam berhubungan dengan Jusuf. Soalnya, bila bertemu langsung, adik-adiknya merasa menghadap wakil presiden, bukan kakak kandung. ”Mungkin karena usia terpaut jauh, dan mereka terbiasa menganggap Jusuf sebagai pengganti ayah,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus