Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Pasar Klewer Ke Pasar Ya'ik

Pusat perdagangan pasar di Solo dan keadaan kota Solo setelah terjadinya peristiwa rasial anti Cina bulan Nopember 1980.(kt)

13 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASAR Klewer yang terletak di pusat Kota Sala masih agak sepi. Kios-kiosnya yang sempit dan sedikit suram karena kurang penerangan, memang padat oleh timbunan berbagai jenis batik, bahan pakaian biasa maupun pakaian jadi --seperti biasanya. Tapi gang-gangnya yang biasa dijejali pembeli, hingga akhir pekan lalu masih tampak sepi. "Pedagang luar kota belum kelihatan datang, mas," kata seorang wanita penjual batik ketika ditanya sebab-sebab pasar itu masih belum ramai. Sebagai pasar yang biasa disebut pusat bursa tekstil, terutama batik, di Jawa Tengah, Pasar Klewer memang banyak dikunjungi pedagang dari luar kota, bahkan dari luar Pulau Jawa. Pengusaha batik dari kota-kota Yogyakarta dan Pekalongan mendatangi pasar bertingkat dua ini untuk menjual hasil pembatikan mereka--termasuk para pengusaha batik di Kota Sala sendiri. Sebaliknya para pedagang batik datang ke pasar ini untuk membeli barang dagangan mereka. Suasana sepi masih terlihat pula di blok selatan dan timur lantai pertama pasar itu. Bahkan beberapa kios di bagian ini masih terkunci rapat--sejak huru-hara yang terjadi menjelang akhir November. Di kedua blok ini umumnya dijual bahan baku batik, seperti mori, malam dan soga. Para penjualnya hampir seluruhnya "nonpri". Dan memang, lebih dari 60% mereka yang berdagang di Pasar Klewer adalah "nonpri". Kios-kios mereka yang lebih besar, umumnya menjual bahan baku batik. Para produsen batik, hampir seluruhnya menggantungkan bahan baku pada pedagang-pedagang di pasar ini. Di kota ini sesungguhnya ada 3 buah koperasi yang menyediakan bahan baku batik untuk para anggotanya. Tapi demikian besar pengaruh para pedagang bahan baku di Klewer, sehingga koperasi itu hampir tak berarti apa-apa bagi anggotanya. Misalnya, tak jarang pengurus koperasi harus menelepon dulu ke Klewer untuk menanyakan harga suatu bahan baku sebelum menjualnya kepada salah seorang anggotanya. Sadar akan hal ini, para anggota koperasi pun merasa lebih baik membeli langsung ke pasar. "Sebagai anggota koperasi, kami hanya menerima keuntungan Rp 3.000 sampai Rp 4.000 sebulan," tutur seorang pengusaha batik, "tanpa pernah tahu dari mana uang itu." Ternyata bahan-bahan baku yang dibeli koperasi untuk anggotanya, hampir seluruhnya dijual ke pedagang di Pasar Klewer, bukan kepada anggotanya. Begitu pula terjadi misalnya Februari tahun ini. Pabrik mori GKBl di Medari (Yogyakarta) tak mampu menentukan harga produksinya sebelum mengecek harga yang terjadi di antara para pedagang Pasar Klewer--meskipun yangmereka jual adalah produksi pabrik itu sendiri. Walaupun demikian, pemusatan bahan baku di Klewer ternyata dianggap banyak menolong para produsen batik di kota ini, terutama mereka yang tergolong kecil. "Selain bahan baku yang dibutuhkan banyak, di Klewer saya dapat mengutang, seminggu, bahkan sebulan," ungkap Nyonya Haryono, pengusaha di pusat batik tradisional Laweyan. Tapi daya tarik pasar itu adalah juga karena harganya yang sanggup bersaing dengan koperasi dan pabrik (mori) --walaupun para pedagang membeli uarang mereka dari kedua sumber itu. TAPI sejak peristiwa keributan itu, pasaran bahan baku sepi sampai sekarang," kata seorang pedagang "nonpri" dalam bahasa Jawa halus. Mengapa? Produsen batik masih ragu, karena pedagang-pedagang dari luar kota belum banyak yang masuk Kota Sala, ceritanya. Keraguan serupa itu juga dialami produsen batik besar, seperti Batik Keris, Batik Semar dan Danar Hadi. "Padahal November dan Desember biasanya bulan-bulan baik untuk memasarkan batik," tambah seorang pegawai perusahaan batik Danar Hadi. Pasar Klewer yang biasanya setiap hari beromset lebih dari Rp 1 milyar rupiah, hanya menampung batik-batik kelas menengah ke bawah. Yang bermutu tinggi umumnya disedot perusahaan-perusahaan besar (Batik Keris Danar Hadi dan Semar). Meskipun ada pula produsen batik bermutu bagus yang memasarkan langsung ke kotakota di luar Sala. Tapi sebagai bursa batik, harga di pasar ini memang lebih murah 30 hingga 40% dibanding harga yang dibayar konsumen kepada pedagang di luar Klewer. Karena itu pasar ini tak hanya ramai oleh pedagang yang berjual-beli bahan pakaian tradisional itu, tapi juga warga pedesaan di kawasan Surakarta dan sekitarnya. Selain Pasar Klewer, bagian Kota Sala lainnya tak banyak berubah dibanding tahun 1960-an. Jalan jalan masih tetap berdebu tebal, di sana-sini aspal mengelupas. Jalan Slamet Riyadi, jalan protokol kota ini, telah tanpa trotoar yang duluterkenal lebar--digusur untuk memberi jalan bagi becak dan kendaraan lambat lainnya. Toko-toko dan rumah di kiri-kanan jalan protokol itu memang banyak yang dipermak. Tapi pemiliknya agaknya tak banyak berubah. di sebelah utara kebanyakan "nonpri' dan di sisi Selatan "pri" Tapi rel kereta-api yang menghubungkan Jebres (timur kota) dengan Purwosari (barat kota) masih tetap terentang di sepanjang Jalan Slamet Riyadn Rumput-rumput telah meranggas disekitar rel baja itu, pertanda jarang dilewati kereta-api. Angkutan kota rupanya telah digantikan pik-ap Daihatsu, hampir ke seluruh penjuru kota--sesudah memunahkan andong. Jalan jalan kampung banyak yang kehilangan aspal. Atau karena samasekali memang belum pernah tersentuh aspal. Di musim hujan seperti sekarang, jalanjalan itu terkadang menyatu dengan air got yang melimpah. Pemandangan lebih tak sedap lagi, karena di sana-sini tumpukan sampah belum tertampung. Pemandangan yang agak aneh, terutama di pusat-pusat pertokoan akhirakhir ini, adalah rumah atau toko-toko tanpa kaca atau dengan kaca yang tingga1 sebagian. Ini tentu peninggalan kericuhan yang terjadi belum lama ini: di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, dan di asal mula keributan, Jalan Jenderai Urip Sumoharjo, yang menghubungkan Pasar Gede di satu sisi dan kampus Universitas 11 Maret di sisi lain. Kaca-kaca yang pecah telah diganti dengan tripleks atau samactkali memakunya dengan papan biasa Di kiri kanan Jalan Urip Sumoharjo hampir seluruhnya dihuni (sekaligus dijadikan toko) oleh "nonpri". Dengan penduduk 450.000 jiwa, seki tar 10% warga Kota Sala adalah "non pri". Jika "nonpri" Arab tetap dikenal mnghuni kawasan Pasar Kliwon, "nonpri" Cina memusatkan tempat tinggal mereka di Kampung Balong, Kelurahan Sudiroprajan, Jebres. "Bahkan seluruh kelurahan di sini 90% penduduk "nonpri", kata juru tulis Kelurahan Sudiroprajan, Seno. Kelurahan ini berpenduduk hampir 6.000 jiwa. Tapi selama keributan baru-baru ini, Kampung Balong dan sekitarnya luput dari sasaran. "Karena di sini hubungan antara "pri" dan "nonpri" sangat akrab," tutur Tan Boen llan yang menjadi Ketua RT 2 RK 2 Balong. TAN Boen Han mengakui, masih ada warganya yang lebih mudah memberi sumbangan uang dari pada menyumbang tenaga. Misalnya untuk ronda maupun gotongroyong. Padahal warga di sini tergolong berekonomi menengah dan bawah. "Hanya ada satu dua yang kekayaannya menonjol," sambung Boen Han. Warga "nonpri" di Kampung Balong umumnya masih meninggali rumah-rumah berasitektur lama berdinding tembok tinggi dan agak tertutup. Jalan yang melintasi kampung yang tak jauh dari Pasar Gede ini tak beraspal, hanya batubatu yang tak rata. Begitu pula gang gang di sekitar rumah warganya. Di Semarang, Pasar Johar maupun Pasar Ya'ik (yang saling berdekatan) rupanya secara tak disadari telah menjadi pusat pertemuan warga kota ini. Beberapa tahun lalu, sebelum kedua pasar itu diperbesar, hampir selunih kios di kedua pasar itu dimiliki pedagang "nonpri". Sehingga yang "pri" harus puas dengan menggelar tikar di sepanjang kaki lima. Tapi setelah kedua pasar itu tampak modern, para pedagang "pri" mulai memasuki kios-kios. Keadaan ini tak terlepas dari usaha seorang pengusaha, Kho Boen Bak, yang ingin mengangkat para pedagang kaki lima menjadi penghuni kios-kios. Untuk itu ia memperluas Pasar Ya'ik Permai dengan membuat kioskios berukuran 2 x 4 meter. Ia pula yang mengusahakan agar pedagang-pedagang lemah itu mendapat kredit ringan dari BRI untuk mendapat kios. Hasilnya bagus: 60 orang pedagang kaki lima langsung mendapat kios Tak berarti masalah pedagang kaki lima selesai. Puluhan pedagang masih tetap merentang payung-payung besar di antara dua pasar di tengah Kota Sennarang itu. Karena itu Kuntoro (Kho Boen Tik), salah seorang pedagang di Pasar Johar, kini sedang mendebati kawan-kawannya sesama "nonpri" untuk mengumpulkan modal. Dari modal itu nanti saya akan membangun kios-kios untuk pedagang kaki lima yang belum kebagian kios," tutur Buntoro. Perbauran antara pedagang "pri" dan "nonpri" memang terlihat jelas di Pasar Johar maupun Pasar Ya'ik. Mungkin karena itulah, pasar ini tak disentuh kerusakan sedikitpun ketika terjadi kerihutan 24 & 25 November lalu. Untuk memperjelas perbauran itulah Walikota Semarang, 11. Imam Soeparto rjakrajuda SH, bertekad hendak melaksanakan Inpes No. 6/1980. Yaitu ketentuan tentang keharusan mcnyediakan 60% pertokoan (kios? untuk "pri' dan 40% untuk "non)ri". Karena itu dalam waktu dekat hli ia akan menerapkan Kepres itu untuk pusat pertokoan di dekat Karangayu, kompleks pertokoan Jurnatan, Kanjengan, Pasar Dargo dan Pasar Langgar. Tapi tak hanya pembauran di pusatpusat perdagangan yang sedang diusahakan Walikota Semarang. "Juga di tempat-tempat pemukiman, sekolah dan olahraga," kata Imam Soeparto. (lihat juga box: Dari Gedung Batu MAsuk Kampung). Yang pasti di hari-hari tertentu, kelenteng Gedung Batu memang tak hanya ramai dikunjungi "nonpri", tapi juga "pri". Misalnya terjadi pada Jumat Kliwon 5 Desember lalu. Para pengunjung baik yang "pri" maupun "nonpri" berdatangan ke kelenteng yang menandai tempat pendaratan pertama utusan Kaisar Cina di abad ke-15 M. Di tempat-tempat pemukiman baru, perbauran agaknya telah terlihat misalnya di kompleks perumahan Tanah Mas bagian timur yang membangun daerah perumahan itu menolak tuduhan seakan-akan Tanah Mas, bagian timur Konl Semarang. Djamin Ceha (Tjioe Tik I loei) pemilik perusahaan yang membangun daerah perumahan itu menolak tuduhan seakan-akan Tanah Mas sebagai "pecinan" baru. Dari 2000 buah rumah yang ditempati sekarang, hanya 700 rumah milik "nonpri" kata Djamin, "itupun terpisah-pisah" Malahan tambahnya, ketika terjadi kericuhan akhir bulan lalu, semua warga di sana sama-sama berjaga agar tak terkena pengrusakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus