PASAR Klewer yang terletak di pusat Kota Sala masih agak
sepi. Kios-kiosnya yang sempit dan sedikit suram karena kurang
penerangan, memang padat oleh timbunan berbagai jenis batik,
bahan pakaian biasa maupun pakaian jadi --seperti biasanya. Tapi
gang-gangnya yang biasa dijejali pembeli, hingga akhir pekan
lalu masih tampak sepi.
"Pedagang luar kota belum kelihatan datang, mas," kata
seorang wanita penjual batik ketika ditanya sebab-sebab pasar
itu masih belum ramai. Sebagai pasar yang biasa disebut pusat
bursa tekstil, terutama batik, di Jawa Tengah, Pasar Klewer
memang banyak dikunjungi pedagang dari luar kota, bahkan dari
luar Pulau Jawa.
Pengusaha batik dari kota-kota Yogyakarta dan Pekalongan
mendatangi pasar bertingkat dua ini untuk menjual hasil
pembatikan mereka--termasuk para pengusaha batik di Kota Sala
sendiri. Sebaliknya para pedagang batik datang ke pasar ini
untuk membeli barang dagangan mereka.
Suasana sepi masih terlihat pula di blok selatan dan timur
lantai pertama pasar itu. Bahkan beberapa kios di bagian ini
masih terkunci rapat--sejak huru-hara yang terjadi menjelang
akhir November. Di kedua blok ini umumnya dijual bahan baku
batik, seperti mori, malam dan soga. Para penjualnya hampir
seluruhnya "nonpri".
Dan memang, lebih dari 60% mereka yang berdagang di Pasar
Klewer adalah "nonpri". Kios-kios mereka yang lebih besar,
umumnya menjual bahan baku batik. Para produsen batik, hampir
seluruhnya menggantungkan bahan baku pada pedagang-pedagang di
pasar ini.
Di kota ini sesungguhnya ada 3 buah koperasi yang
menyediakan bahan baku batik untuk para anggotanya. Tapi
demikian besar pengaruh para pedagang bahan baku di Klewer,
sehingga koperasi itu hampir tak berarti apa-apa bagi
anggotanya.
Misalnya, tak jarang pengurus koperasi harus menelepon dulu
ke Klewer untuk menanyakan harga suatu bahan baku sebelum
menjualnya kepada salah seorang anggotanya. Sadar akan hal ini,
para anggota koperasi pun merasa lebih baik membeli langsung ke
pasar.
"Sebagai anggota koperasi, kami hanya menerima keuntungan
Rp 3.000 sampai Rp 4.000 sebulan," tutur seorang pengusaha
batik, "tanpa pernah tahu dari mana uang itu." Ternyata
bahan-bahan baku yang dibeli koperasi untuk anggotanya, hampir
seluruhnya dijual ke pedagang di Pasar Klewer, bukan kepada
anggotanya.
Begitu pula terjadi misalnya Februari tahun ini. Pabrik
mori GKBl di Medari (Yogyakarta) tak mampu menentukan harga
produksinya sebelum mengecek harga yang terjadi di antara para
pedagang Pasar Klewer--meskipun yangmereka jual adalah
produksi pabrik itu sendiri.
Walaupun demikian, pemusatan bahan baku di Klewer ternyata
dianggap banyak menolong para produsen batik di kota ini,
terutama mereka yang tergolong kecil. "Selain bahan baku yang
dibutuhkan banyak, di Klewer saya dapat mengutang, seminggu,
bahkan sebulan," ungkap Nyonya Haryono, pengusaha di pusat batik
tradisional Laweyan. Tapi daya tarik pasar itu adalah juga
karena harganya yang sanggup bersaing dengan koperasi dan pabrik
(mori) --walaupun para pedagang membeli uarang mereka dari kedua
sumber itu.
TAPI sejak peristiwa keributan itu, pasaran bahan baku sepi
sampai sekarang," kata seorang pedagang "nonpri" dalam bahasa
Jawa halus. Mengapa? Produsen batik masih ragu, karena
pedagang-pedagang dari luar kota belum banyak yang masuk Kota
Sala, ceritanya. Keraguan serupa itu juga dialami produsen batik
besar, seperti Batik Keris, Batik Semar dan Danar Hadi. "Padahal
November dan Desember biasanya bulan-bulan baik untuk memasarkan
batik," tambah seorang pegawai perusahaan batik Danar Hadi.
Pasar Klewer yang biasanya setiap hari beromset lebih dari
Rp 1 milyar rupiah, hanya menampung batik-batik kelas menengah
ke bawah. Yang bermutu tinggi umumnya disedot
perusahaan-perusahaan besar (Batik Keris Danar Hadi dan Semar).
Meskipun ada pula produsen batik bermutu bagus yang memasarkan
langsung ke kotakota di luar Sala.
Tapi sebagai bursa batik, harga di pasar ini memang lebih
murah 30 hingga 40% dibanding harga yang dibayar konsumen kepada
pedagang di luar Klewer. Karena itu pasar ini tak hanya ramai
oleh pedagang yang berjual-beli bahan pakaian tradisional itu,
tapi juga warga pedesaan di kawasan Surakarta dan sekitarnya.
Selain Pasar Klewer, bagian Kota Sala lainnya tak banyak
berubah dibanding tahun 1960-an. Jalan jalan masih tetap berdebu
tebal, di sana-sini aspal mengelupas. Jalan Slamet Riyadi, jalan
protokol kota ini, telah tanpa trotoar yang duluterkenal
lebar--digusur untuk memberi jalan bagi becak dan kendaraan
lambat lainnya.
Toko-toko dan rumah di kiri-kanan jalan protokol itu memang
banyak yang dipermak. Tapi pemiliknya agaknya tak banyak
berubah. di sebelah utara kebanyakan "nonpri' dan di sisi
Selatan "pri"
Tapi rel kereta-api yang menghubungkan Jebres (timur kota)
dengan Purwosari (barat kota) masih tetap terentang di sepanjang
Jalan Slamet Riyadn Rumput-rumput telah meranggas disekitar rel
baja itu, pertanda jarang dilewati kereta-api. Angkutan kota
rupanya telah digantikan pik-ap Daihatsu, hampir ke seluruh
penjuru kota--sesudah memunahkan andong.
Jalan jalan kampung banyak yang kehilangan aspal. Atau
karena samasekali memang belum pernah tersentuh aspal. Di musim
hujan seperti sekarang, jalanjalan itu terkadang menyatu dengan
air got yang melimpah. Pemandangan lebih tak sedap lagi, karena
di sana-sini tumpukan sampah belum tertampung.
Pemandangan yang agak aneh, terutama di pusat-pusat
pertokoan akhirakhir ini, adalah rumah atau toko-toko tanpa kaca
atau dengan kaca yang tingga1 sebagian. Ini tentu peninggalan
kericuhan yang terjadi belum lama ini: di sepanjang Jalan Slamet
Riyadi, dan di asal mula keributan, Jalan Jenderai Urip
Sumoharjo, yang menghubungkan Pasar Gede di satu sisi dan kampus
Universitas 11 Maret di sisi lain. Kaca-kaca yang pecah telah
diganti dengan tripleks atau samactkali memakunya dengan papan
biasa Di kiri kanan Jalan Urip Sumoharjo hampir seluruhnya
dihuni (sekaligus dijadikan toko) oleh "nonpri".
Dengan penduduk 450.000 jiwa, seki tar 10% warga Kota Sala
adalah "non pri". Jika "nonpri" Arab tetap dikenal mnghuni
kawasan Pasar Kliwon, "nonpri" Cina memusatkan tempat tinggal
mereka di Kampung Balong, Kelurahan Sudiroprajan, Jebres.
"Bahkan seluruh kelurahan di sini 90% penduduk "nonpri", kata
juru tulis Kelurahan Sudiroprajan, Seno. Kelurahan ini
berpenduduk hampir 6.000 jiwa.
Tapi selama keributan baru-baru ini, Kampung Balong dan
sekitarnya luput dari sasaran. "Karena di sini hubungan antara
"pri" dan "nonpri" sangat akrab," tutur Tan Boen llan yang
menjadi Ketua RT 2 RK 2 Balong.
TAN Boen Han mengakui, masih ada warganya yang lebih mudah
memberi sumbangan uang dari pada menyumbang tenaga. Misalnya
untuk ronda maupun gotongroyong. Padahal warga di sini tergolong
berekonomi menengah dan bawah. "Hanya ada satu dua yang
kekayaannya menonjol," sambung Boen Han.
Warga "nonpri" di Kampung Balong umumnya masih meninggali
rumah-rumah berasitektur lama berdinding tembok tinggi dan agak
tertutup. Jalan yang melintasi kampung yang tak jauh dari Pasar
Gede ini tak beraspal, hanya batubatu yang tak rata. Begitu pula
gang gang di sekitar rumah warganya.
Di Semarang, Pasar Johar maupun Pasar Ya'ik (yang saling
berdekatan) rupanya secara tak disadari telah menjadi pusat
pertemuan warga kota ini. Beberapa tahun lalu, sebelum kedua
pasar itu diperbesar, hampir selunih kios di kedua pasar itu
dimiliki pedagang "nonpri". Sehingga yang "pri" harus puas
dengan menggelar tikar di sepanjang kaki lima.
Tapi setelah kedua pasar itu tampak modern, para pedagang
"pri" mulai memasuki kios-kios. Keadaan ini tak terlepas dari
usaha seorang pengusaha, Kho Boen Bak, yang ingin mengangkat
para pedagang kaki lima menjadi penghuni kios-kios. Untuk itu ia
memperluas Pasar Ya'ik Permai dengan membuat kioskios berukuran
2 x 4 meter. Ia pula yang mengusahakan agar pedagang-pedagang
lemah itu mendapat kredit ringan dari BRI untuk mendapat kios.
Hasilnya bagus: 60 orang pedagang kaki lima langsung mendapat
kios
Tak berarti masalah pedagang kaki lima selesai. Puluhan
pedagang masih tetap merentang payung-payung besar di antara dua
pasar di tengah Kota Sennarang itu. Karena itu Kuntoro (Kho Boen
Tik), salah seorang pedagang di Pasar Johar, kini sedang
mendebati kawan-kawannya sesama "nonpri" untuk mengumpulkan
modal. Dari modal itu nanti saya akan membangun kios-kios untuk
pedagang kaki lima yang belum kebagian kios," tutur Buntoro.
Perbauran antara pedagang "pri" dan "nonpri" memang
terlihat jelas di Pasar Johar maupun Pasar Ya'ik. Mungkin karena
itulah, pasar ini tak disentuh kerusakan sedikitpun ketika
terjadi kerihutan 24 & 25 November lalu.
Untuk memperjelas perbauran itulah Walikota Semarang, 11.
Imam Soeparto rjakrajuda SH, bertekad hendak melaksanakan Inpes
No. 6/1980. Yaitu ketentuan tentang keharusan mcnyediakan 60%
pertokoan (kios? untuk "pri' dan 40% untuk "non)ri". Karena itu
dalam waktu dekat hli ia akan menerapkan Kepres itu untuk pusat
pertokoan di dekat Karangayu, kompleks pertokoan Jurnatan,
Kanjengan, Pasar Dargo dan Pasar Langgar.
Tapi tak hanya pembauran di pusatpusat perdagangan yang
sedang diusahakan Walikota Semarang. "Juga di tempat-tempat
pemukiman, sekolah dan olahraga," kata Imam Soeparto. (lihat
juga box: Dari Gedung Batu MAsuk Kampung).
Yang pasti di hari-hari tertentu, kelenteng Gedung Batu
memang tak hanya ramai dikunjungi "nonpri", tapi juga "pri".
Misalnya terjadi pada Jumat Kliwon 5 Desember lalu. Para
pengunjung baik yang "pri" maupun "nonpri" berdatangan ke
kelenteng yang menandai tempat pendaratan pertama utusan Kaisar
Cina di abad ke-15 M.
Di tempat-tempat pemukiman baru, perbauran agaknya telah
terlihat misalnya di kompleks perumahan Tanah Mas bagian timur
yang membangun daerah perumahan itu menolak tuduhan seakan-akan
Tanah Mas, bagian timur Konl Semarang. Djamin Ceha (Tjioe Tik I
loei) pemilik perusahaan yang membangun daerah perumahan itu
menolak tuduhan seakan-akan Tanah Mas sebagai "pecinan" baru.
Dari 2000 buah rumah yang ditempati sekarang, hanya 700 rumah
milik "nonpri" kata Djamin, "itupun terpisah-pisah" Malahan
tambahnya, ketika terjadi kericuhan akhir bulan lalu, semua
warga di sana sama-sama berjaga agar tak terkena
pengrusakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini