PENAMPILAN desa itu sudah tidak dapat dipercaya. Compang-camping
dan terisolasi di Distrik Panchmahals. Desar, desa tersebut,
tidak lebih dari setumpukan teratak reot yang bersesakan,
dikelilingi semak belukar dan pepohonan di bukit bebatuan,
menjulur dari tanah kerontang yang hampir tidak mungkin
ditanami.
"Desar tidak lebih baik dari puluhan ribu desa lainnya di negeri
ini," kata Ramesh Menon dalam tulisannya di majalah India Today
bulan kemarin. Kecuali dalam satu hal yang sungguh unik: lebih
90% dari 865 orang penghuninya bandit turun-temurun. Dan mereka
memandang, "jabatan" itu sebagai panggilan hidup yang patut
dihormati.
Seperti dikatakan Mohammad Miabhai, 66 tahun, wakil sarpanch di
desa itu, yang berambut putih dan penuh sikap kebapakan,
"penduduk sini sudah mengikuti jalan kriminal hampir satu abad.
Apa lagi yang anda harapkan dari mereka?" Kemudian di
tambahkannya: "Kami tidak punya air untuk pertanian, tidak punya
industri di sekitar sini. Yah . . . tidak punya pekerjaan." Maka
jangan heran, begitulah konon, karir perbanditan telah
mengantarkan sejumlah penduduk Desar ke ranking atas agenda
kriminalitas India.
Mansukh Rathwa, 35 tahun, mungkin bandit yang paling patut
diandalkan dari seantero penghuni Desar. Orang ini dibelit 15
tuduhan kejahatan dan lima kasus khusus perkosaan di pengadilan.
Berperawakan tinggi, hampir kurus kering, dua kali ia lolos
dari tahanan polisi.
Rathwa merupakan contoh khas bajingan yang tidak kepalang
tanggung. "Bila sedang melakukan perampokan, saya sesosok
teror," katanya tanpa tedeng aling-aling. "Saya pergi ke mana
saja saya ingin".
Benar: Oktober tahun kemarin penduduk Desa Rawalia mendapat
kesempatan mencicipi teror itu. Dalam sebuah operasinya di dusun
tersebut, Rath dan kawan-kawannya menggondol Rs 10.000. Polisi
mengakui, masih banyak kejahatan Rathwa yang tidak dilaporkan:
anggota masyarakat rupanya tidak berani menanggung risiko.
Di samping Rathwa, banyak tokoh lain yang siap mengorbit ke
puncak jenjang kejahatan. Umpamanya Varsan Kanti Nayak, 21
tahun. Ia dicari-cari polisi untuk beberapa perkara kejahatan,
termasuk perampokan dan perkosaan.
Sekitar tiga bulan lalu Varsan bertandang ke Desa Garial. Di
sini ia menculik seorang perawan, dan membawanya minggat. Garial
hanya lima kilometer dari tempat tinggal Varsan. Penduduk desa
yang merasa tersinggung lalu mengejar begundal ini, dan berhasil
melepaskan si gadis.
Tapi dua hari kemudian Varsan sudah mengumpulkan konco-konconya
untuk melakukan pembalasan. Mereka mencuri 14 ekor lembu.
Penduduk desa kembali mengangkat pentung, dan mendapatkan lembu
mereka. Hebat.
Namun tak selamanya penduduk yang dirampok bisa seberuntung itu.
Tidak banyak yang punya keberanian berhadapan dengan para begal
Desar, yang umumnya berasal dari puak Nayak. Hanya sesekali
orang dusun yang penakut itu nekat melawan. Mereka mafhum, orang
Nayak adalah penembak-penembak mahir dengan busur dan panah --
meski biasanya mereka baru mengangkat senjata kuno itu bil hidup
benar-benar sudah terancam.
Orang Nayak dari Desar memang menjarah apa saja yang bisa mereka
dapat. Kadang-kadang mengambil gandum, terkadang ternak,
perhiasan, bahkan perabot rumah. Barang rampasan itu biasanya
dilempar ke pasar Halol, sebuah kota yang berdekatan.
Bila di antara rampasan terdapat sapi, mereka biasanya melakukan
pesta keesokan harinya. Para petugas keamanan dan aktivis
siskamling pusing tujuh keliling dibuat para pencoleng ini.
Setelah hari pasar di Halol, mereka selalu kembali merampok.
Bahkan ke kedai-kedai tempat menampung barang curian mereka
sendiri," kata Raojibhai Patel, semacam komandan keamanan desa.
Nah, lalu bagaimana sikap para penguasa? "Boleh dikatakan sikap
mereka mendua," kata Ramesh Menon dalam tulisannya. Polisi
tampaknya ogah-ogahan masuk desa itu -- meski kini kabarnya
mereka sedang melancarkan semacam operasi serba guna di Desar.
Tujuannya: "mengembalikan penduduk ke jalan yang benar, dan
meninggalkan hidup model cecunguk."
Hal serupa tercermin dalam penjelasan Jaywant Vyas, Kepala
Polisi Distrik Panchamahals. Menurut tokoh ini ia dan
rekan-rekan sejabatan bahkan sudah berhasil mengarahkan sejumlah
bandit meninggalkan dunia hitam.
Tapi pernyataan itu ditanggapi dengan setengah cemooh di
Gandhinagar, ibukota negara bagian itu. Betapa tidak. Awal tahun
lalu, misalnya, Menteri Dalam Negeri Prabodh Raval mengumumkan,
polisi telah berhasil menundukkan para pengacau Desar, sementara
sebuah upacara penyerahan sedang dirancang. Nah. Pada peristiwa
yang disebut upacara penyerahan itu diperlihatkan antara lain
lima pucuk senapan bikinan sendiri. Tapi para peninjau tersenyum
simpul. Semua orang tahu, kawula Nayak tidak mempergunakan
senjata api . . .
Maka berkatalah penduduk Desar, Abdulkarim Miyabhai: "Ketika
tempo hari polisi dan politisi bicara perkara memperbaiki nasib
kami, kami percaya mereka menaruh iba. Kini ternyata semua
urusan itu hanya untuk keperluan publisitas. Yah, semacam
tontonan."
Polisi juga memaklumkan, mereka melancarkan beberapa proyek di
kawasan tersebut. Ada sebuah skema tentang kegiatan melatih para
penduduk desa, yang dinamakan gram rakshak dals (GRD), entah apa
artinya. Sekitar 20 anak muda diambil polisi Panchmahals untuk
ditatar.
Mulanya penduduk menyangka, latihan GRD itu akan memberi mereka
pekerjaan tetap. Mereka juga mengharapkan drama penyerahan itu
akan memulihkan panen pertanian dan memperbaiki wajah desa yang
sudah kalang-kabut. Dan memang, untuk waktu yang singkat Desar
seperti menjadi pusat perhatian. Disebut di pelbagai media
massa. Para pejabat berdatangan, menaburkan janji di sana-sini.
Kemudian semuanya menghilang, pulang ke kantor masing-masing.
Vyas, dan para perwira polisi di Panchmahals, sangat mahir
menceritakan betapa mereka menanamkan disiplin kepada para
remaja Desar melalui program latihan itu. Tapi sementara itu
para perwira polisi Baroda sendiri menyambut cerita itu dengan
bibir mencibir. Mereka tidak yakin masa empat bulan bisa
berhasil mengubah jalan pikiran bandit bangkotan.
Seorang perwira polisi Baroda bahkan mengatakan, "para kriminal
itu dilatih untuk membantu polisi dalam tugas-tugasnya di Desar.
Tetapi mereka malah memanfaatkan latihan untuk meningkatkan
aktivitas mereka sendiri.'
Kecemasan polisi Baroda ini mulai berubah menjadi kenyataan.
Penduduk melihat, tidak ada tanda-tanda kemajuan di desa mereka.
Dalam tiga bulan terakhir angka kejahatan malah meningkat.
Bahkan para perwira polisi Panchmahals akhirnya juga mengakui
sedikitnya hasil yang dicapai. Penduduk Desar yang cecunguk itu
rupanya pandai memetik keuntungan dari letak desa mereka yang
tertenggek di perbukitan. Setiap orang luar yang mendekat akan
mudah terlihat dari kejauhan. Dalam beberapa peristiwa,
satuan-satuan polisi dipukul mundur dengan hujan anak panah.
Dua tahun lalu misalnya, 50 polisi bersenjata mencoba memasuki
Desar untuk mengusut tindakan kejahatan yang terjadi di Palaj.
Mereka dipaksa mundur. Atau, sebagai hasil perubahan taktik:
awal tahun lalu penduduk membiarkan polisi masuk desa tersebut.
Tapi tak seorang pun lelaki tampak di kampung.
Bahkan bila ada yang tertangkap penduduk jarang mau membuka
mulut dalam pemeriksaan. Ada juga didesas-desuskan,
kadang-kadang beberapa penduduk tertembak dalam sebuah
pengepungan. Tapi sanak kerabat menguburkannya dengan senyap --
sehingga sulit sekali mendapat data yang setepatnya.
Dalam banyak peristiwa, konon, polisi mendapat bagian pula dari
barang rampasan. Para pejabat desa rupanya ikut main dalam
pelbagai bentuk. Kadang mereka memberikan informasi yang
berharga kepada para bandit. Kerap pula mereka menjadi perantara
dalam jual beli barang colongan.
Banyak penjahat yang menyerah kepada polisi kemudian dilepaskan
begitu saja. Kadang mereka dibebaskan dengan jaminan, atau
diadili untuk beberapa perkara. Tapi vonis tidak begitu serius.
Apalai memang ada keringanan untuk penjahat yang menyerahkan
diri.
Karena itu para petugas hukum di daerah yang berdekatan dengan
Desar mengambil tindakan keamanan masing-masing. Misalnya
seperti yang dilakukan Kuldip Sharma, Kepala Polisi Distrik
Baroda. Ia menempatkan seorang polisi bersenjata untuk setiap 22
penduduk di desa yang berada di bawah pengawasannya.
SEPERTI orang desa di mana-mana, warga Desar melakukan upacara
dan pantangan tertentu. Misalnya, mereka umumnya tidak mau
menganiaya wanita -- meski cukup banyak kasus penganiayaan
selama dua tahun terakhir, dan pelakunya sebagian besar remaja.
Ada pula aturan main tertentu yang tampaknya mereka patuhi. Dulu
mereka selalu berhati-hati untuk tidak merampok setiap desa yang
tadinya masuk wilayah Baroda -- untuk memperlihatkan semacam
sikap hormat kepada kaum Gaekwads yang memerintah kawasan itu.
Tapi kini mereka mengubah aturan: mereka hanya tidak merampok
desa yang masuk Distrik Panchmahals. Sedang di antara sejumlah
upacara yang bersifat kepercayaan misalnya ini: Beberapa jam
sebelum menyamun sebuah desa, mereka berkumpul meminum sejenis
arak bikinan sendiri.
Metode serangan mereka juga terhitung unik. Sebelum menjarah
sebuah tempat, mereka lebih dulu melancarkan semacam
penyelidikan. Serangan selalu dilakukan setelah gelap. Kelompok
penyerbu beranggotakan sekitar 50 an orang yang kuat-kuat,
bertelanjang kaki, menyandang busur dan panah. Ketika akan
memasuki desa yang bakal dirampok, mereka mengambil posisi,
kemudian memekik-mekik. Setelah itu melempari desa bersangkutan
dengan batu.
Sementara itu tidak tampak tanda-tanda kekayaan pada penduduk
Desar. Mereka tetap saja compang-camping, walaupun sudah jadi
begundal. Rumah mereka yang sangat bersahaja tidak
mengisyaratkan hasil rampokan yang berkilauan.
Jeevanbhai Nayak, yang sehari-harinya bekerja sebagai guru di
Desar, bahkan mengatakan: "Jika kami memang perampok, pastilah
kami tinggal di rumah mewah, bukan di teratak lumpur seperti
ini." Tapi polisi sendiri mengakui, penduduk desa ini sangat
lihai menyurukkan barang rampasan. Hampir tak pernah barang
seperti itu tertangkap di tangan mereka.
Tidak sedikit pula penduduk Desar yang bertanya, apa yang bakal
mereka lakukan bila mereka berhenti mencuri. "Desar betul-betul
sebuah dusun yang sangat terbelakang," kata Ramesh Menon.
Sebagian besar tanah penduduk tidak bisa ditanami karena
ketiadaan air.
Miabhai, wakil sarpanch itu, berterus terang: "Warga desa ini
tidak akan berhenti mencuri sampai mereka mendapatkan alternatif
yang cukup baik." Dan alternatif yang memuaskan, yang diharapkan
datang dari usaha pemerintah, rnenurut Ramesh Menon, "belum bisa
dilihat, meskipun dari kejauhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini