Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kampung para bandit dari india

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENAMPILAN desa itu sudah tidak dapat dipercaya. Compang-camping dan terisolasi di Distrik Panchmahals. Desar, desa tersebut, tidak lebih dari setumpukan teratak reot yang bersesakan, dikelilingi semak belukar dan pepohonan di bukit bebatuan, menjulur dari tanah kerontang yang hampir tidak mungkin ditanami. "Desar tidak lebih baik dari puluhan ribu desa lainnya di negeri ini," kata Ramesh Menon dalam tulisannya di majalah India Today bulan kemarin. Kecuali dalam satu hal yang sungguh unik: lebih 90% dari 865 orang penghuninya bandit turun-temurun. Dan mereka memandang, "jabatan" itu sebagai panggilan hidup yang patut dihormati. Seperti dikatakan Mohammad Miabhai, 66 tahun, wakil sarpanch di desa itu, yang berambut putih dan penuh sikap kebapakan, "penduduk sini sudah mengikuti jalan kriminal hampir satu abad. Apa lagi yang anda harapkan dari mereka?" Kemudian di tambahkannya: "Kami tidak punya air untuk pertanian, tidak punya industri di sekitar sini. Yah . . . tidak punya pekerjaan." Maka jangan heran, begitulah konon, karir perbanditan telah mengantarkan sejumlah penduduk Desar ke ranking atas agenda kriminalitas India. Mansukh Rathwa, 35 tahun, mungkin bandit yang paling patut diandalkan dari seantero penghuni Desar. Orang ini dibelit 15 tuduhan kejahatan dan lima kasus khusus perkosaan di pengadilan. Berperawakan tinggi, hampir kurus kering, dua kali ia lolos dari tahanan polisi. Rathwa merupakan contoh khas bajingan yang tidak kepalang tanggung. "Bila sedang melakukan perampokan, saya sesosok teror," katanya tanpa tedeng aling-aling. "Saya pergi ke mana saja saya ingin". Benar: Oktober tahun kemarin penduduk Desa Rawalia mendapat kesempatan mencicipi teror itu. Dalam sebuah operasinya di dusun tersebut, Rath dan kawan-kawannya menggondol Rs 10.000. Polisi mengakui, masih banyak kejahatan Rathwa yang tidak dilaporkan: anggota masyarakat rupanya tidak berani menanggung risiko. Di samping Rathwa, banyak tokoh lain yang siap mengorbit ke puncak jenjang kejahatan. Umpamanya Varsan Kanti Nayak, 21 tahun. Ia dicari-cari polisi untuk beberapa perkara kejahatan, termasuk perampokan dan perkosaan. Sekitar tiga bulan lalu Varsan bertandang ke Desa Garial. Di sini ia menculik seorang perawan, dan membawanya minggat. Garial hanya lima kilometer dari tempat tinggal Varsan. Penduduk desa yang merasa tersinggung lalu mengejar begundal ini, dan berhasil melepaskan si gadis. Tapi dua hari kemudian Varsan sudah mengumpulkan konco-konconya untuk melakukan pembalasan. Mereka mencuri 14 ekor lembu. Penduduk desa kembali mengangkat pentung, dan mendapatkan lembu mereka. Hebat. Namun tak selamanya penduduk yang dirampok bisa seberuntung itu. Tidak banyak yang punya keberanian berhadapan dengan para begal Desar, yang umumnya berasal dari puak Nayak. Hanya sesekali orang dusun yang penakut itu nekat melawan. Mereka mafhum, orang Nayak adalah penembak-penembak mahir dengan busur dan panah -- meski biasanya mereka baru mengangkat senjata kuno itu bil hidup benar-benar sudah terancam. Orang Nayak dari Desar memang menjarah apa saja yang bisa mereka dapat. Kadang-kadang mengambil gandum, terkadang ternak, perhiasan, bahkan perabot rumah. Barang rampasan itu biasanya dilempar ke pasar Halol, sebuah kota yang berdekatan. Bila di antara rampasan terdapat sapi, mereka biasanya melakukan pesta keesokan harinya. Para petugas keamanan dan aktivis siskamling pusing tujuh keliling dibuat para pencoleng ini. Setelah hari pasar di Halol, mereka selalu kembali merampok. Bahkan ke kedai-kedai tempat menampung barang curian mereka sendiri," kata Raojibhai Patel, semacam komandan keamanan desa. Nah, lalu bagaimana sikap para penguasa? "Boleh dikatakan sikap mereka mendua," kata Ramesh Menon dalam tulisannya. Polisi tampaknya ogah-ogahan masuk desa itu -- meski kini kabarnya mereka sedang melancarkan semacam operasi serba guna di Desar. Tujuannya: "mengembalikan penduduk ke jalan yang benar, dan meninggalkan hidup model cecunguk." Hal serupa tercermin dalam penjelasan Jaywant Vyas, Kepala Polisi Distrik Panchamahals. Menurut tokoh ini ia dan rekan-rekan sejabatan bahkan sudah berhasil mengarahkan sejumlah bandit meninggalkan dunia hitam. Tapi pernyataan itu ditanggapi dengan setengah cemooh di Gandhinagar, ibukota negara bagian itu. Betapa tidak. Awal tahun lalu, misalnya, Menteri Dalam Negeri Prabodh Raval mengumumkan, polisi telah berhasil menundukkan para pengacau Desar, sementara sebuah upacara penyerahan sedang dirancang. Nah. Pada peristiwa yang disebut upacara penyerahan itu diperlihatkan antara lain lima pucuk senapan bikinan sendiri. Tapi para peninjau tersenyum simpul. Semua orang tahu, kawula Nayak tidak mempergunakan senjata api . . . Maka berkatalah penduduk Desar, Abdulkarim Miyabhai: "Ketika tempo hari polisi dan politisi bicara perkara memperbaiki nasib kami, kami percaya mereka menaruh iba. Kini ternyata semua urusan itu hanya untuk keperluan publisitas. Yah, semacam tontonan." Polisi juga memaklumkan, mereka melancarkan beberapa proyek di kawasan tersebut. Ada sebuah skema tentang kegiatan melatih para penduduk desa, yang dinamakan gram rakshak dals (GRD), entah apa artinya. Sekitar 20 anak muda diambil polisi Panchmahals untuk ditatar. Mulanya penduduk menyangka, latihan GRD itu akan memberi mereka pekerjaan tetap. Mereka juga mengharapkan drama penyerahan itu akan memulihkan panen pertanian dan memperbaiki wajah desa yang sudah kalang-kabut. Dan memang, untuk waktu yang singkat Desar seperti menjadi pusat perhatian. Disebut di pelbagai media massa. Para pejabat berdatangan, menaburkan janji di sana-sini. Kemudian semuanya menghilang, pulang ke kantor masing-masing. Vyas, dan para perwira polisi di Panchmahals, sangat mahir menceritakan betapa mereka menanamkan disiplin kepada para remaja Desar melalui program latihan itu. Tapi sementara itu para perwira polisi Baroda sendiri menyambut cerita itu dengan bibir mencibir. Mereka tidak yakin masa empat bulan bisa berhasil mengubah jalan pikiran bandit bangkotan. Seorang perwira polisi Baroda bahkan mengatakan, "para kriminal itu dilatih untuk membantu polisi dalam tugas-tugasnya di Desar. Tetapi mereka malah memanfaatkan latihan untuk meningkatkan aktivitas mereka sendiri.' Kecemasan polisi Baroda ini mulai berubah menjadi kenyataan. Penduduk melihat, tidak ada tanda-tanda kemajuan di desa mereka. Dalam tiga bulan terakhir angka kejahatan malah meningkat. Bahkan para perwira polisi Panchmahals akhirnya juga mengakui sedikitnya hasil yang dicapai. Penduduk Desar yang cecunguk itu rupanya pandai memetik keuntungan dari letak desa mereka yang tertenggek di perbukitan. Setiap orang luar yang mendekat akan mudah terlihat dari kejauhan. Dalam beberapa peristiwa, satuan-satuan polisi dipukul mundur dengan hujan anak panah. Dua tahun lalu misalnya, 50 polisi bersenjata mencoba memasuki Desar untuk mengusut tindakan kejahatan yang terjadi di Palaj. Mereka dipaksa mundur. Atau, sebagai hasil perubahan taktik: awal tahun lalu penduduk membiarkan polisi masuk desa tersebut. Tapi tak seorang pun lelaki tampak di kampung. Bahkan bila ada yang tertangkap penduduk jarang mau membuka mulut dalam pemeriksaan. Ada juga didesas-desuskan, kadang-kadang beberapa penduduk tertembak dalam sebuah pengepungan. Tapi sanak kerabat menguburkannya dengan senyap -- sehingga sulit sekali mendapat data yang setepatnya. Dalam banyak peristiwa, konon, polisi mendapat bagian pula dari barang rampasan. Para pejabat desa rupanya ikut main dalam pelbagai bentuk. Kadang mereka memberikan informasi yang berharga kepada para bandit. Kerap pula mereka menjadi perantara dalam jual beli barang colongan. Banyak penjahat yang menyerah kepada polisi kemudian dilepaskan begitu saja. Kadang mereka dibebaskan dengan jaminan, atau diadili untuk beberapa perkara. Tapi vonis tidak begitu serius. Apalai memang ada keringanan untuk penjahat yang menyerahkan diri. Karena itu para petugas hukum di daerah yang berdekatan dengan Desar mengambil tindakan keamanan masing-masing. Misalnya seperti yang dilakukan Kuldip Sharma, Kepala Polisi Distrik Baroda. Ia menempatkan seorang polisi bersenjata untuk setiap 22 penduduk di desa yang berada di bawah pengawasannya. SEPERTI orang desa di mana-mana, warga Desar melakukan upacara dan pantangan tertentu. Misalnya, mereka umumnya tidak mau menganiaya wanita -- meski cukup banyak kasus penganiayaan selama dua tahun terakhir, dan pelakunya sebagian besar remaja. Ada pula aturan main tertentu yang tampaknya mereka patuhi. Dulu mereka selalu berhati-hati untuk tidak merampok setiap desa yang tadinya masuk wilayah Baroda -- untuk memperlihatkan semacam sikap hormat kepada kaum Gaekwads yang memerintah kawasan itu. Tapi kini mereka mengubah aturan: mereka hanya tidak merampok desa yang masuk Distrik Panchmahals. Sedang di antara sejumlah upacara yang bersifat kepercayaan misalnya ini: Beberapa jam sebelum menyamun sebuah desa, mereka berkumpul meminum sejenis arak bikinan sendiri. Metode serangan mereka juga terhitung unik. Sebelum menjarah sebuah tempat, mereka lebih dulu melancarkan semacam penyelidikan. Serangan selalu dilakukan setelah gelap. Kelompok penyerbu beranggotakan sekitar 50 an orang yang kuat-kuat, bertelanjang kaki, menyandang busur dan panah. Ketika akan memasuki desa yang bakal dirampok, mereka mengambil posisi, kemudian memekik-mekik. Setelah itu melempari desa bersangkutan dengan batu. Sementara itu tidak tampak tanda-tanda kekayaan pada penduduk Desar. Mereka tetap saja compang-camping, walaupun sudah jadi begundal. Rumah mereka yang sangat bersahaja tidak mengisyaratkan hasil rampokan yang berkilauan. Jeevanbhai Nayak, yang sehari-harinya bekerja sebagai guru di Desar, bahkan mengatakan: "Jika kami memang perampok, pastilah kami tinggal di rumah mewah, bukan di teratak lumpur seperti ini." Tapi polisi sendiri mengakui, penduduk desa ini sangat lihai menyurukkan barang rampasan. Hampir tak pernah barang seperti itu tertangkap di tangan mereka. Tidak sedikit pula penduduk Desar yang bertanya, apa yang bakal mereka lakukan bila mereka berhenti mencuri. "Desar betul-betul sebuah dusun yang sangat terbelakang," kata Ramesh Menon. Sebagian besar tanah penduduk tidak bisa ditanami karena ketiadaan air. Miabhai, wakil sarpanch itu, berterus terang: "Warga desa ini tidak akan berhenti mencuri sampai mereka mendapatkan alternatif yang cukup baik." Dan alternatif yang memuaskan, yang diharapkan datang dari usaha pemerintah, rnenurut Ramesh Menon, "belum bisa dilihat, meskipun dari kejauhan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus