Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Debat Ide Negara Federasi

Isu otonomi daerah yang lebih tegas?bahkan gagasan negara federasi?mewarnai keresahan lokal dalam era reformasi.

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amien Rais dikenal, antara lain, karena kebiasaannya menjebol tabu-tabu politik?bahkan pada sebuah zaman ketika untuk sekadar menyebutnya pun orang memerlukan semacam keberanian ekstra. Namun, tatkala ia meluncurkan gagasan diskusi terbuka tentang negara federasi?setelah ia menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional? persoalan zaman tiba-tiba seolah menjadi tidak relevan. Isu negara federasi, ternyata, bukan saja dipandang tidak pantas diteruskan dalam masa Orde Lama dan tidak layak disebut-sebut dalam Orde Baru, tapi juga masih tetap menjadi tabu dalam Orde Reformasi. Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia menolak membicarakannya. Abdurrahman Wahid mengatakan negara kesatuan sebagai bentuk yang sudah final. Sedangkan para politisi dan pemuka pendapat lain bersikap dingin, cenderung negatif, terhadap usul tersebut. Soal federasi memang bukan kisah kemarin sore. Sejarah menuliskan betapa topik ini menjadi perdebatan panjang para politisi Indonesia?dan itu bukan tanpa alasan. Ada trauma berabad-abad yang menghantui para founding fathers Negara Republik Indonesia karena politik divide et impera Belanda. Alhasil, begitu negara ini terbentuk pada 17 Agustus 1945 dan para bapak bangsa menetapkan bentuk negara kesatuan, orang seperti melihat sebuah antitesis terhadap tesis politik Belanda yang memecah belah dan mengadu domba. Negara kesatuan kemudian terbukti menjadi alat pemersatu yang efektif. Selama 54 tahun kemerdekaan?dengan selingan satu-dua gejolak di sana-sini?Republik Indonesia berdiri dengan jaya, minimal dari segi teritorial. Sabang sampai Merauke adalah wilayah kesatuan yang utuh terjaga di bawah perlindungan ketiga angkatan sampai, setidaknya, turunnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Setelah itu, di luar ingar-bingar reformasi, suara-suara yang mempertanyakan perlunya federasi dan otonomi yang lebih besar mulai muncul. Timor Timur, misalnya. Seruan independensi sebagai wilayah merdeka hampir lebih keras ketimbang teriakan integrasi. Juga Irian, yang merasakan "penjajahan ekonomi" di bawah Orde Baru. Hasil pertambangan yang tak terhingga banyaknya itu tak sampai lima persen dikembalikan kepada penduduk Irian sebagai pemiliknya. Tak aneh, dalam sebuah diskusi tentang daerah operasi militer (DOM) akhir 1998 di Jakarta, Barnabas Suebu menyatakan secara terus terang, "Dengan model negara seperti sekarang, kita (rakyat Irian) bukan hanya tidak dianggap orang, tapi tidak dianggap untuk orang Indonesia. Karena itu, untuk memperoleh 70 persen dari hasil daerah, kami memang harus memberi call tinggi: negara federasi, bukan sekadar otonomi." Di belahan barat, ada Aceh yang bergolak. Kisah-kisah seram seputar DOM dan pelbagai akibatnya, disusul pergolakan Aceh yang menginginkan merdeka, mau tak mau membawa ingatan orang ke masa kejayaan Aceh, antara lain, di bawah era Sultan Mahmud Alauddin Syah. Menjelang pecah perang dengan Belanda pada 5 April 1873, Aceh, di bawah pemerintahan Sultan Mahmud, adalah sebuah kerajaan merdeka, kaya, berdaulat, dan dihormati para jiran jauh dan dekat. Kerajaan makmur ini kemudian bersatu dengan Indonesia setelah merdeka dan menjadi penyumbang pesawat terbang pertama republik. Jasanya?seperti halnya Yogyakarta?antara lain dibalas dengan sebuah kedudukan daerah istimewa. Toh, arti gelar khusus itu kian lama kian absurd mengingat kondisi Aceh yang kini menyedihkan, baik dari segi politik dan keamanan maupun dari segi ekonomi. Seluruh situasi ini menggiring kita kepada sebuah keingintahuan?dan rasa cemas, tentu saja?tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah ini hanya letupan-letupan kecil?dalam sebuah negara besar dan keragaman luar biasa?ataukah ada yang salah dari ketetapan para founding fathers setengah abad lalu? Mario Viegas Carascalao, bekas Gubernur Tim-Tim, berterus terang bahwa akar dari seluruh kegelisahan daerah?disusul pergolakan?adalah sikap egosentris pemerintah pusat. "Pusat terlalu ingin memegang kendali, sehingga saya ingin mengatakan, saat Orde Baru, kita melaksanakan satu sistem yang sangat dekat dengan sistem komunis yang serba sentralistris. Lalu, dalam era reformasi, ketidakpuasan daerah meledak," ujarnya kepada TEMPO pekan lalu. Anggota Dewan Pertimbangan Agung ini menambahkan, bila tidak ada keseimbangan antara tuntutan (daerah) dan kemampuan (pemerintah pusat) memenuhinya, bisa terjadi revolusi sosial. Tapi Ryaas Rasyid tidak sepesimistis itu. Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah ini mengatakan, gejolak itu hanya terjadi di daerah-daerah kaya karena selama ini mereka tidak pernah memperoleh wewenang cukup untuk menikmati kekayaannya. Namun, ia menambahkan, bila permintaan daerah mencapai 50-70 persen dari kekayaannya, itu sudah tidak realistis. "Itu sudah di luar konteks negara kesatuan. Ya, berdiri masing-masing saja," ujarnya. Keseimbangan memang kata kunci yang menentukan seluruh konstelasi hubungan pusat-daerah. Sistem birokrasi yang dibangun selama Orde Baru telah memperlihatkan betapa sistem sentralisasi telah melahirkan juga sistem birokrasi pusat yang tak mampu mengurus daerah. Birokrat daerah adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat, bukan lagi pembawa aspirasi dari bawah. Bahkan, sebagai agen pemerintah pusat pun para birokrat daerah sering-sering tidak berhasil. Maka, ketika seorang bupati atau kepala residen didemo?lepas dari perdebatan tentang perilaku anarkis?orang hanya tenang-tenang menyaksikan fenomena tersebut sebagai letupan ketidakpuasan dalam sebuah masa yang panjang. Sentralisasi, pada masa-masa awal, memang sangat diperlukan. Elite politik dan kemampuan ekonomi yang terbatas serta hantu-hantu perpecahan dari masa kolonialisme membuat para pemimpin, dengan tegas, menetapkan bentuk negara kesatuan. Kini, setelah setengah abad lebih, bolehkah sebuah pertanyaan tentang relevan-tidaknya sistem sentralisasi dengan kepentingan hidup masyarakat dalam 27 provinsi kembali diajukan? Bung Karno, Soeharto, dan Habibie menyebutkan, soal negara kesatuan adalah persoalan mutlak. Tidak ada pertaruhan, kompromi, atau tawar-menawar dalam bentuk apa pun. Juga para pemimpin ABRI. Namun, berkaca ke masa lalu, otonomi adalah jalan keluar yang telah ditawarkan negarawan dan pemikir progresif seperti Bung Hatta sejak era 1950-an, seperti yang ditulis Mevis Rose dalam Indonesian Free, A Political Biography of Mohammad Hatta. Rose juga menggambarkan betapa Bung Hatta menaruh perhatian dalam hal membangun demokrasi dengan cara yang benar, yaitu dari bawah. Dalam sebuah pidato di Universitas Gadjah Mada pada 27 November 1956, Hatta mengkritik penolakan atas otonomi daerah. Ia juga mengkritik pegawai negeri yang "merasa curiga dengan otonomi di tingkat desa karena, dalam pandangan mereka, berpikiran terlalu sempit, secara politis maupun sosial." Proklamator itu percaya betul bahwa berbagai struktur desa mengandung esensi demokrasi, sama halnya seperti ia percaya bahwa akar-akar dan esensi demokrasi tetap hidup dalam unit-unit terkecil masyarakat itu?kendati sempat rusak oleh dampak kolonial. Suara Bung Hatta tidak cukup kuat untuk mengatasi egomania Bung Karno, yang mulai melahirkan kediktatoran menjelang pertengahan 1950-an. Dan ketika orde berganti, paham kediktatoran kemudian diteruskan penggantinya dalam cara yang bahkan lebih fasis. Dengan lain kata, otonomi daerah (yang sesungguhnya)?lupakan saja soal federasi?nyaris tinggal istilah. Daerah praktis menjalankan segala kebijakan pemerintah pusat?para birokrat daerah tingkat kabupaten pun hanya bisa digolkan dengan restu menteri dalam negeri?yang berkedudukan jauh di Ibu Kota. Pusat, perlahan-lahan, bukan lagi sebuah istilah administratif, melainkan harus diartikan secara harfiah. Politik, budaya, pendidikan, sumber daya manusia, semuanya berlangsung dalam suatu konstelasi yang menitikberatkan kepentingan pusat. Mudah diduga bahwa daerah kemudian bukan hanya dimiskinkan secara ekonomi dan politik, tapi juga budaya dan sumber daya manusianya. Internal brain drain adalah sesuatu yang tak terhindarkan karena semua tenaga terbaik lari ke Jakarta?sekadar menyebut sebuah contoh. Tak aneh, ketika reformasi lahir, daerah-daerah mulai mempertanyakan hak atas kekayaan, atas kehidupan yang lebih baik dan demokratis. Emil Salim, dalam sebuah diskusi tentang otonomi daerah di Jakarta, dua pekan silam, menyebutkan bahwa otonomi daerah harus diusahakan melalui penyebaran dimensi pemerintahan, keuangan, personalia, sosial budaya, dan politik. Dengan cara itu, Emil yakin, Republik Indonesia akan tetap bisa dibangun dan tumbuh dalam semangat kebinekaan yang ika?sebuah cita-cita yang mudah-mudahan tidak sekadar menjadi utopia masa depan. Hermien Y. Kleden, Ahmad Fuadi, Darmawan Sepriyossa, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus