Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SINDIRAN Wakil Presiden Jusuf Kalla itu menyentil Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Sofyan Basir. Dalam rapat proyek listrik di Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu, Kalla bercerita ada pejabat yang datang terlambat karena sakit perut. Menurut Kalla, ada dua penyebab sakit perut, yakni sakit bagian bawah karena salah makan dan sakit bagian atas yang dipicu stres.
Kalla lalu menanyakan penyebab sakit perut yang dialami Sofyan sehingga ia datang rapat terlambat. "Pak Sofyan, sakit perutnya bagian atas atau bawah?" kata Kalla, seperti ditirukan salah seorang peserta rapat. Sofyan menjawab enteng: "Dua-duanya." Tawa peserta rapat pecah.
Sofyan tengah menjadi sorotan. Bekas Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia ini baru saja memutus perjanjian jual-beli panas bumi di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Kamojang unit 1, 2, dan 3 sebesar 140 megawatt. Dikelola PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina (Persero), negosiasi harga listrik dari Kamojang menemui jalan buntu.
Harga listrik panas bumi dalam perjanjian yang berakhir pada 31 Desember 2015 itu US$ 6,2 sen per kWh. PGE mengusulkan harga baru US$ 7,43 sen. PLN menawar US$ 3,3 sen per kWh. Jalan buntu ini membuat juru bicara PLN, Agung Murdifi, dan juru bicara Pertamina, Wianda Pusponegoro, beradu argumen di media.
Kegaduhan ini memicu Kalla mengundang Sofyan Basir, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, Kepala Bappenas Sofyan Djalil, serta beberapa pejabat lain. Gara-gara Sofyan Basir datang terlambat, rapat molor 14 menit.
Salah seorang peserta rapat mengatakan, Menteri ESDM Sudirman Said menyindir sikap PLN yang memutus sepihak perjanjian jual-beli di PLTP Kamojang unit 1, 2, dan 3. Tarik-ulur tidak akan terjadi bila PLN berkoordinasi dan menjalankan ketentuan harga yang ditetapkan Kementerian ESDM. "Saya mohon kepada PLN untuk jaga attitude," kata peserta rapat menirukan Sudirman.
Mendengar itu, Kalla menegaskan ulang pernyataan Sudirman kepada Sofyan. "Seorang Menteri memohon kepada Dirut. Kalau Wakil Presiden tidak bisa minta tolong, tapi menginstruksikan PLN membeli listrik Kamojang," ujar peserta rapat lainnya menirukan Kalla.
Sudirman membenarkan telah meminta pejabat PLN memperbaiki sikap. Menurut dia, sikap PLN yang kaku itu mengancam tercapainya pembangunan energi baru dan terbarukan. "Saya menekankan perlunya PLN mengubah cara pandang dan mengubah sikap terhadap produsen listrik swasta yang memproduksi energi terbarukan," katanya kepada wartawan, setelah rapat usai.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan undangan rapat di Istana Wakil Presiden merupakan buntut dari rapat yang digelar antara Kementerian ESDM dan PLN pada Rabu tiga pekan lalu.
Rapat itu membahas surat PLN kepada Menteri BUMN Rini Soemarno, yang mempersoalkan harga listrik dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dan PLTP yang telah ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2014 dan Nomor 19 Tahun 2015. Harga yang dipatok pemerintah dianggap kelewat mahal.
Rini meneruskan surat Sofyan kepada Menteri Sudirman. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman menilai surat PLN kepada Menteri BUMN janggal karena mempersoalkan peraturan Menteri ESDM. "Kalau soal permen ESDM, ya, koordinasinya ke ESDM," kata Jarman. Sikap Sofyan membuat geram Sudirman, yang mengusulkan kepada Jarman dan Rida untuk memanggil direksi dan dewan komisaris PLN. Namun, menurut Rida, persoalan ini cukup ditangani di tingkat direktur jenderal.
PLN memenuhi undangan Jarman dan Rida. Perseroan mengutus Direktur Bisnis Regional Kalimantan Djoko R. Abumanan dan Direktur Bisnis Regional Maluku-Papua Haryanto W.S. Mereka menggelar rapat di gedung Kementerian ESDM di Kuningan, Jakarta Selatan. Seorang pejabat yang ikut dalam pertemuan itu mengatakan bahwa dua direktur PLN ngotot enggan meneruskan proyek PLTMH dan PLTP karena harganya lebih tinggi dari harga listrik konvensional yang dibeli PLN di harga US$ 6 sen per kWh.
Jarman, yang dikenal jarang marah, sempat meninggi suaranya. "Soal tarif dan subsidi listrik, yang tahu ESDM dan PLN. Kalau kamu kurang subsidi, tinggal minta," katanya. Menurut Jarman, PLN cukup menjalankan peraturan menteri.
Rida mengatakan penolakan PLN menghambat pembangunan energi baru dan terbarukan. Ia mengakui harga listrik dari sumber baru dan terbarukan lebih mahal karena ongkos produksi lebih tinggi daripada pembangkit listrik tenaga uap dari batu bara. Namun proyek ini tidak dilihat semata-mata soal harga, tapi sebagai masa depan sumber energi. "Ini perintah undang-undang," katanya.
Perhitungan Kementerian Energi dalam proyek PLTMH menunjukkan, meski PLN membeli harga listrik sekitar US$ 12 sen per kWh, perusahaan setrum itu tidak akan merugi. Perusahaan setrum itu, kata Rida, tetap untung dari efisiensi penggunaan bahan bakar minyak.
PLN melunak soal harga listrik tenaga mikrohidro. Namun soal harga listrik dari PLTP di beberapa wilayah kerja panas bumi—termasuk PLTP Muara Laboh di Solok, Sumatera Barat—masih buntu. Rida menilai sikap PLN yang enggan menjalankan harga yang dipatok Kementerian ESDM membuat penambahan pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan terhambat.
SIKAP PLN terhadap patokan harga pembelian listrik yang ditetapkan Kementerian Energi juga dipertanyakan oleh dewan komisaris kepada direksi. Dalam suratnya pada Desember tahun lalu, komisaris mempertanyakan status pelaksanaan ketentuan tersebut disertai alasan kenapa patokan harga itu belum dilaksanakan. Komisaris juga mempertanyakan strategi dan kebijakan perseroan terkait dengan pengembangan energi baru dan terbarukan.
Bukan hanya soal energi baru dan terbarukan yang ditanyakan. Dari sembilan poin surat itu, Dewan Komisaris yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto juga menanyakan proses tender produsen listrik swasta (independent power producer) dalam proyek 35 ribu megawatt. Dewan Komisaris meminta direksi PLN menjelaskan alasan calon produsen listrik swasta menyerahkan performance bond sebesar 10 persen, sebagai bagian dari persyaratan tender.
Jarman, yang juga komisaris PLN, membenarkan surat itu. Persyaratan tender itu, menurut Jarman, merupakan hak direksi. Namun, yang ingin diketahui komisaris, mengapa dipatok di angka 10 persen. Hingga Kamis pekan lalu, direksi belum memberikan jawaban.
Seorang bekas direktur di PLN mengatakan bukan pertama kali perusahaan setrum pelat merah itu meminta jaminan uang tunai sebagai syarat tender. Dalam pengadaan batu bara, misalnya, calon peserta harus menaruh uang jaminan dua persen. Syarat itu dinilai wajar. Namun syarat performance bond 10 persen ini dianggap tak wajar karena total proyek IPP sebesar Rp 615 triliun. Artinya, total nilai performance bond yang harus disediakan calon IPP Rp 61,5 triliun. "Siapa yang punya uang sebesar itu?" katanya.
Presiden Direktur PT Medco Power Generation Indonesia Lukman Mahfoedz mengatakan syarat lelang itu masih ditambah deposit tunai 10 persen dari nilai investasi. Bila proyek pembangkit bernilai US$ 2 miliar, calon investor harus menyiapkan dana US$ 400 juta untuk performance bond dan deposit. "Persyaratan ini sangat memberatkan," katanya.
Bukan cuma syarat finansial, waktu yang diberikan PLN kepada calon IPP untuk mengajukan proposal juga terlalu pendek, yakni sekitar satu bulan. Padahal, kata dia, rata-rata calon IPP membutuhkan waktu enam bulan untuk menyiapkan proposal tender.
Seorang direktur perusahaan bidang konstruksi yang mengetahui proses tender di PLN mengatakan syarat mengada-ada itu bertujuan menyingkirkan IPP dari luar Cina. "Pemenangnya sudah direkayasa sejak awal, mayoritas dari perusahaan Cina," ujarnya. Perusahaan asal Jepang atau Amerika Serikat, menurut dia, bakal lempar handuk dengan syarat seperti itu. Itu sebabnya, dalam proyek listrik Jawa-5 sebesar 2 x 1.000 megawatt di Banten, tiga konsorsium yang dipimpin perusahaan Jepang terjungkal. Lukman membenarkan persyaratan dalam proyek 35 ribu megawatt ini sulit dipenuhi oleh produsen listrik swasta lainnya. "Hanya akan didominasi oleh IPP Cina," katanya.
Dalam suratnya, komisaris sudah mengingatkan direksi agar proyek setrum 35 ribu megawatt ini tidak didominasi oleh teknologi satu-dua negara tertentu. Jarman juga mewanti-wanti direksi agar dalam memilih IPP tidak silau dengan harga penawaran yang rendah. "Kualitas dan kemampuan teknis yang utama," katanya.
Pengalaman dalam proyek 10 ribu megawatt tahap pertama menunjukkan bahwa pemilihan investor dengan harga terendah mengakibatkan pembangkit listrik dengan kualitas yang buruk. Berdasarkan hasil audit, seorang pejabat di PLN mengatakan, pembangkit listrik buatan Cina yang terbaik hanya menghasilkan kinerja maksimal 70 persen. Itu sebabnya, dalam suratnya, komisaris meminta direksi belajar dari masalah yang dihadapi proyek listrik di masa lalu.
Dari 35 ribu megawatt, PLN sudah meneken kontrak pembelian listrik sekitar 17.340 megawatt per Desember tahun lalu. Direktur Pengadaan PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan, dari proyek listrik 17.340 megawatt yang diteken itu, 14.525 megawatt memakai skema pengembangan listrik swasta. Konsorsium Cina, kata dia, mendominasi pengadaan listrik swasta tersebut. Iwan menjamin persyaratan menaruh performance bond tidak membuat kompetisi menjadi sempit, semata-mata untuk menguji komitmen calon investor.
Sofyan Basir menjamin perusahaan Cina yang mendapatkan proyek kali ini berbeda dengan perusahaan Cina yang dulu mendapatkan proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt. "Cina yang sekarang lain. Mereka adalah BUMN yang didukung oleh pemerintah Cina," katanya. Lagi pula, PLN hanya membeli listrik. Kalau pembangkit rusak, pembayaran dari PLN berhenti. Namun Komisaris Utama Kuntoro Mangkusubroto mengingatkan, kalau pembangkit Cina itu rusak, yang rugi tetap Indonesia. "Karena pasokan listrik nasional terganggu," ujarnya.
Masalahnya, Kementerian Energi sulit mengajak direksi PLN berkoordinasi membahas kemajuan proyek listrik 35 ribu megawatt—termasuk urusan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan. "Soal harga listrik PLTP dan PLTMH saja, Menteri ESDM tidak mendapat surat tembusan," kata Rida. Ia mengaku pernah mengirim surat ke PLN empat-lima kali dalam satu tahun, tapi tidak pernah dijawab. "Sangat tepat bila Pak Menteri meminta PLN memperbaiki attitude," ujarnya.
Akbar Tri Kurniawan, Ayu Prima Sandi, Gustidha Budiartie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo