Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Suita Penuh Petualangan

Sinestesia membawa musik Efek Rumah Kaca ke level yang belum pernah mereka capai. Dari segi konsep, album ini lebih luas dan agresif.

11 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA beban berat yang terus menggelayut di benak Cholil Mahmud selama proses pembuatan Sinestesia, album ketiga Efek Rumah Kaca. Yang ia inginkan adalah Efek Rumah Kaca yang dulu, yang belum dikenal siapa-siapa dan belum pernah didengar orang. Saat itu mereka berlatih terus di studio bertahun-tahun tanpa pernah manggung sekali pun. Itulah Efek Rumah Kaca yang, menurut Cholil, masih "murni" dan polos.

Tapi kenyataan tak selalu sejalan dengan keinginan. Apalagi keinginan itu terlalu muluk dan tak mungkin bisa terwujud. Efek Rumah Kaca yang sekarang adalah band—terdiri atas Cholil (vokal dan gitar), Adrian Yunan Faisal (bas dan vokal), dan Akbar Bagus Sudibyo (drum)—yang punya banyak pendengar yang siap jadi paduan suara dadakan setiap kali mereka manggung, karya baru mereka selalu ditunggu-tunggu, dan apa pun yang dikerjakan hampir selalu direspons positif oleh kritikus.

Fanatisme itu bisa jadi penyemangat untuk terus berkarya, tapi pada saat yang sama bisa jadi kutukan: ide tersendat, bahkan sampai enam tahun lamanya. "Saya ingin tolak semua pikiran itu. Tapi, sekuat-kuatnya saya menolak, tidak akan bisa. Efek Rumah Kaca tidak bisa kembali ke situasi dulu," kata Cholil.

Akhirnya, setelah sekitar enam tahun digarap, album terbaru Sinestesia keluar juga. Di album ini, Efek Rumah Kaca memadukan indie rock 1990-an khas mereka dengan sensibilitas prog rock 1970-an. Album ini boleh dibilang sinematik, terasa seperti pertunjukan musikal. Lirik-lirik yang keluar seperti monolog dan kadang seperti sebuah percakapan, dengan bagian-bagian komposisi yang terbangun seperti layaknya sebuah suita yang penuh petualangan. Inilah, antara lain, poin yang menjadi alasan Tempo memilih Sinestesia sebagai album terbaik 2015 dan menahbiskan Efek Rumah Kaca sebagai tokoh seni di bidang musik.

Menurut pengamat musik, David Tarigan, dalam sejarah musik populer Indonesia, album seperti Sinestesia merupakan barang langka. Bahkan di era keemasan prog rock, pada 1970-an dan 1980-an, album rekaman seperti ini hampir tak dapat dihasilkan di negeri ini.

"Pada 1970-an, di negara-negara Barat, album seperti Sinestesia menjadi suatu kewajaran. Dinikmati publik mainstream," ujar David. "Tapi, di Indonesia, album seperti ini baru dapat dihasilkan di zaman sekarang, saat para pendengar musik secara umum lebih apresiatif terhadap musik lokal."

Ada enam lagu di dalam Sinestesia: Merah, Biru, Jingga, Hijau, Putih, dan Kuning. Durasi Hijau paling pendek, 7 menit 46 detik. Jingga berdurasi paling panjang, 13 menit 29 detik. Setiap lagu terdiri atas dua-tiga fragmen yang secara tematik berhubungan satu sama lain. Biru, misalnya, terdiri atas dua lagu yang disambung: Pasar Bisa Diciptakan dan Cipta Bisa Dipasarkan. Kuning terdiri atas Keberagaman dan Keberagamaan.

Model penulisan lagu yang saling berkait dalam satu tema besar dan tetap estetik ini merupakan pencapaian baru Efek Rumah Kaca. Kendati Cholil mengalami writer's block yang berkepanjangan, dari segi penulisan lirik dan pemilihan tema, Efek Rumah Kaca melampaui apa yang mereka telah bikin dulu.

Simaklah lagu Merah, yang terdiri atas tiga lagu: Ilmu Politik, Lara di Mana-mana, dan Ada-ada Saja. Pada lagu pertama, mereka berbicara tentang orang-orang yang menjadi apolitis karena melihat "politik terlalu najis" hingga akhirnya "badut jadi kepala". Pada lagu berikutnya, Lara di Mana-mana, mereka seolah-olah sedang bertutur bahwa itu adalah akibat jika harapan ditelantarkan. Pada lagu Ada-ada Saja, mereka mengingatkan lagi bahwa menjadi "fatalis" dan "apolitis" bisa membawa kebencian pada politik.

Ya, tema yang ditawarkan kelompok ini tak biasa. Mereka, misalnya, mengusung tema tentang kematian dan kehidupan, politik yang menjemukan, serta agama dan pluralitas. Bahwa pop tak berarti harus selalu membahas soal cinta. Soal komodifikasi karya dan penghilangan aktivis pun bisa mereka suguhkan dalam lagu. Meski bukan pelopor, Efek Rumah Kaca membukakan jalan bagi banyak musikus lain untuk berani menentang arus.

Soliditas Efek Rumah Kaca sebagai grup terasa betul di Sinestesia. Sekalipun menyuguhkan lagu di atas 10 menit, mereka tetap mengedepankan aspek artistik. Dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi buah perjalanan karier sepanjang hampir 15 tahun, Efek Rumah Kaca bisa dengan ringan menetapkan "standar" bahwa durasi lagu tak selalu harus di bawah lima menit. Musik yang panjang pun bisa tetap indah.

Salah satu hal yang membuat pengerjaan album menjadi begitu lama karena mereka mengubah metode rekaman. Saat mengerjakan album Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2008), mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun jamming di studio. Keluar dari studio, Efek Rumah Kaca punya seabrek lagu yang matang dan siap direkam. Jadilah dua album itu. Tapi, pada saat mengerjakan Sinestesia, mereka tak lagi jamming. Penyebabnya, kondisi Adrian menurun. Ia menderita diabetes akut sampai kesulitan latihan bersama. "Pada 2009, sakit Adrian sedang parah. Sering sekali aanval," kata Akbar.

Sejak 2009 itu pula penglihatan Adrian makin kabur hingga akhirnya buta dimakan diabetes. Ia hanya bisa melihat bercak-bercak warna yang kadang berputar amat kencang di matanya. Dari situlah muncul ide judul lagu. Judul-judul itu ditentukan berdasarkan warna yang dominan pada penglihatan Adrian kala ia mendengar sebuah lagu. Bisa merah, putih, biru, atau jingga. "Pada 2009 itu saya tentukan judul lagu," ujar Adrian. "Tapi kalau sekarang kemampuan mata sedang turun sehingga hanya bisa lihat hitam dan abu-abu."

Menyesuaikan dengan kondisi tersebut, Efek Rumah Kaca menemukan metode baru dalam berkarya. Masing-masing merekam ide yang tercetus di kepala, kemudian dibahas bersama. Itulah sebabnya lapis instrumen dalam lagu-lagu di Sinestesia lebih kaya. "Saya bikin lapis suara gitar bisa sampai tiga atau empat," kata Cholil.

Cara baru itu pulalah yang membuat lagu-lagu Efek Rumah Kaca terdengar berbeda. "Kami tahu bentuk lagu itu jadinya seperti apa setelah album dirilis," ucap Cholil. "Sebelum itu, rekam saja terus. Kalau ada ide, timpa lagi dan terus timpa lagi," Cholil menjelaskan.

Dan eksperimen mereka berhasil. Menurut David Tarigan, Sinestesia merupakan jejak yang hilang antara album Kamar Gelap (album kedua) dan Daur, Baur (album Pandai Besi, proyek musik Efek Rumah Kaca bersama sejumlah musikus). "Dari segi konsep dan pemikiran, album ini lebih luas dan agresif," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus