TAMU yang datang di kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan Pemuda
Surabaya, beraneka-ragam. Dan macam-macam pula urusannya. Di
antaranya, awal Nopember tadi datang lah Pengky, Farah, Anna dan
Ratna. Mengenakan baju warna-warni, kelihatan cantik serta sexy,
mereka mengadukan berbagai keluhan yang dialami sekitar seratus
wadam di Kota Surabaya.
Kecuali kelihatan cantik, mereka memang pandai bicara. Kepada
para pejabat Direktorat Sospol di kantor Gubernur Jawa Timur itu
antara lain mereka mengadukan soal tempat begadang. Dulu mereka
sering berkumpul di salah satu sudut di komplek Taman Hiburan
Rakyat. Tapi hampir setahun lalu, daerah itu dijadikan tempat
parkir oleh Pemerintah Daerah Kodya Surabaya. Selanjutnya mereka
dibiarkan beroperasi di daerah pantai, Kenjeren namanya.
"Menempatkan kami di pantai Kenjeren yang jauh itu sama saja
dengan menyingkirkan kami," ucap Pengky, 30 tahun, lulusan SMA.
Tak betah di Kenjeran, akhirnya mereka bertebaran di sepanjang
Jalan Wijaya Kusuma di bagian yang remang-remang. Kawasan ini
adalah daerah perumahan. Petugas kotamadya sering menghardiknya.
Seperti dikatakan Pengky, mereka diuber-uber "seperti
gelandangan" saja.
Dan memang, suatu malam di Oktober lalu satu mobil patroli
pemerintah kotamadya parkir di Jalan Wijaya Kusuma. Mengangkat
rok tinggi-tinggi dan menjinjing sepatu para wadam pun lari
terbirit-birit. Di antaranya bahkan ada yang melompati pagar SMA
Wijayakusuma Lebih menarik, kecuali mempersoalkan tempat
berkumpul, delegasi wadam juga menyinggung soal Kartu Tanda
Penduduk (KTP). "Terang-terangan begini, kok ditulis laki-laki,"
tutur Farah, "kan lucu."
Pejabat pemerintah yang menerima delegasi itu tentu saja
manggut-manggut. Tak ada janji yang diberikan. Juga mengenai
permintaan delegasi agar para wadam boleh beroperasi di komplek
Taman Anggerek yang keadaannya sudah terlantar dan menjadi taman
gelandangan.
Wakil Kepala Direktorat Sospol Pemda Propinsi Ja-Tim Darmono BA
menganjurkan agar para wadam itu membentuk organisasi. Itu saja.
Merasa cukup sudah mengadukan persoalannya saja, delegasi angkat
kaki dari gubernuran. Cuma dalam perjalanan pulang mereka mampir
dulu ke balai wartawan dan juga ke kantor Lembaga Bantuan Hukum
Surabaya. Di balai wartawan tentu saja mereka bercerita tentang
persoalan mereka sendiri agar diberitakan di surat-surat kabar.
Di kantor LBH mereka melaporkan hasil pertemuan di kantor
gubernur. Sebab, adalah Ketua LBH Surabaya Abdullah Thalib SH,
sendiri yang sebelumnya menganjurkan para wadam itu menghadap
pejabat yang berwenang di kantor gubernur.
Organisasi wadam di Jakarta bernama Hiwad, Himpunan Wadam.
Anggotanya sekitar 2.000 orang. Menurut Maya Puspa, Ketua Hiwad,
anggota-anggotanya melakukan kencan di hotel-hotel. Tamu mereka
kalangan bisnis dan orang asing. "Kalau praktek di jalan-jalan
tentu melanggar ketertiban umum," tutur Maya.
Di zaman Gubernur Ali Sadikin mereka pernah mengajukan
permintaan agar dilokalisir. Tapi realisasinya belum lagi
terlaksana di zaman Gubernur Cokropranolo sekarang. "Kami bisa
merasakan kalau pak Cokro tidak menyukai kami," kata Maya di
rumahnya di Gang Fatahillah Grogol. Hiwad pernah mengajukan
permintaan untuk bertemu dengan Gubernur Cokro. "Tapi tak ada
jawaban," tambah Maya Puspa.
Hiwad juga memberi pelajaran hias rias, modiste dan tari-tarian
bagi anggota-anggotanya. Tentang kasus di Surabaya, menurut
Maya, "mereka sangat perlu lokalisasi agar tidak berkeliaran."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini