JANGAN meludah bila bertemu orang Kubu -- begitu larangan yang
lazimnya dipercayai orang Jambi dan orang-orang sekitar tempat
yang biasa dihuni orang Kubu. Karena siapa yang meludah --
karena tak tahan akan bau badan orang Kubu -- biasanya akan
turut ke hutan tempat orang Kubu tinggal. Memang tidak jelas dan
tidak pernah diketahui siapa dan berapa orang, orang luar Kubu
masuk hutan untuk kemudian hidup seperti orang Kubu karena
permainan tenung suku terasing ini.
Yang ada hanya kisah 3 orang petugas dinas sosial yang meninggal
dunia dan dikatakan karena kena tenung orang Kubu. "Petugas saya
meninggal karena kena penyakit tujuh empedu," kata Mansyur Samin
SH Kepala Bidang Bina Sosial Dinas Sosial Propinsi Jambi.
Penyakit "tujuh empedu" -- menurut kepercayaan orang Jambi
--adalah ramuan dari tujuh macam empedu binatang ditambah ilmu
hitam, diberikan lewat makanan atau minuman. Orang yang dituju
akan jatuh sakit dan kabarnya tidak seorang dokter pun yang
sanggup menyembuhkan sampai orang itu meninggal.
Jenang, Si Perantara
Mantera, jampi-jampi dan segala yang berbau mistik, adalah
bagian terpenting dari kehidupan orang Kubu. Soal ilmu hitam,
konon mereka cukup piawai, sehingga bagi penduduk sekitar lebih
baik menjauh dari pada bergaul dengan mereka. Sebab, seperti
yang diceritakan oleh Mansyur Samin, "salah bicara, kita bisa
celaka." Bila mereka tersinggung, orang Kubu tidak hanya akan
membalas lewat ilmu-ilmu gaibnya saja. Tapi sering mereka
memperlihatkan demonstrasi balas dendamnya lewat kekuatan fisik.
Bulan lalu ladang di Kumpai, Kabupaten Batanghari, dirusak orang
Kubu. Penduduk kampung Kumpai tentu saja marah dan mengadakan
mobilisasi untuk pembalasan. Untung saja, Muspida segera turun
tangan dan bisa menurunkan amarah penduduk Kumpai.
Dulu orang Kubu tak pernah berhubungan langsung dengan
orang-orang kampung. Kalau toh kontak harus terjadi, mereka --
orang kampung -- biasanya melalui seorang jenang. Jenang yang
biasanya mempunyai keistimewaan di kampung itu, misalnya ahli
adat, dukun yang mahir dan mendapat kepercayaan dari orang Kubu.
Peranannya sangat besar sebagai penghubung. Terutama dalam soal
dagang barter. Orang Kubu umumnya bekerja sebagai pengumpul
hasil hutan (damar, rotan, getah meranti). Hasil hutan ini
ditukar dengan tembakau, gula, kopi, beliung dan sebangsanya.
Seorang jenang tidak diangkat sembarangan. Harus melalui proses
pemilihan demokratis di Tanjung Saribulan, di tepi Sungai
Sakolado, masih hutan dan 60 km dari Desa Batusawar. Bagi pihak
dinas sosial, fungsi jenang berperan cukup penting. "Sehingga
jenang bisa membuat hubunan kami positif atau negatif," ujar
Mansyur Samin. Artinya, usaha dinas sosial bisa gagal atau
sukses dalam hal memasyarakatkan orang Kubu ini.
Tindakan jenang yang berakibat negatif misalnya dengan cara
menjelek-jelekkan usaha-usaha dinas sosial. Sebab walau
bagaimanapun orang Kubu yang belum mengenal uang berarti
keuntungan besar bagi seorang jenang. Paling tidak jenang bisa
mengelabui kedua belah pihak dalam hal barter barang-barang
hasil hutan. Bagi petugas Dinas Sosial: dari jenanglah sistim
bercocok tanam dengan peralatan pertanian baru bisa diajarkan.
Jenang jugalah yang mengajar orang Kubu mengenal rokok dan kopi
dan bahan-bahan lainnya.
Propinsi Jambi berpenduduk 1.245. 045 jiwa. Luasnya hampir sama
dengan Propinsi Jawa Barat, sekitar 5.234.400ha. Dari jumlah
penduduk tadi ada 16.000 jiwa di antaranya dianggap sebagai
pengembara di hutan-hutan yang belum dijamah manusia
keseluruhannya Mereka adalah orang Kubu, yang kemudian dalam
proyek memasyarakatkan dalam arti agar hidup menetap, disebut
dengan "suku Anak Dalam". Suku ini sebagian terdapat juga di
wilayah Propinsi Sumatera Selatan.
Dewasa ini, orang Kubu dibagi dalam 3 kelompok: yang masih
berkelana, setengah kelana dan mereka yang sudah menetap
sementara. Sejak 1973, Dinas Sosial Propinsi Jambi baru bisa
membina mereka sejumlah 3.470 orang di lokasi pengeretan,
Palempang, Jantang Mengeris, Nyogan, Ladang Peris dan Bukit
Tamsu. Sekitar 6.000 orang telah dibina oleh Dinas Sosial
Sumatera Selatan. Biarpun begitu, jumlah yang berkelana dan
belum bisa "dijinakkan" masih berkisar 40% dari seluruh orang
Kubu.
Tahun lalu Pemda Propinsi Jambi menyerahkan daerahnya seluas 1
juta hektar lebih untuk proyek transmigrasi di Kabupaten Bunga
Tebo Sarolangun Bengko, Tanjung Jabung dan Kabupaten Batanghari,
tak jauh dari jalan Lintas Sumatera. Keempat kabupaten ini
sebetulnya tempat orang-orang Kubu berkelana. "Mereka sering
datang untuk minta ubi," kata Ridi (45 tahun) transmigran dari
Unit 11 pada Proyek Rimbo Bujang. "Baunya bukan main," ujar
Nyonya Supandi yang suaminya adalah pegawai jawatan transmigrasi
setempat, "dan kalau minta sesuatu, tak mau pergi sebelum
diberi."
"Inilah hambatan kami yang paling utama," kata Mansyur Samin
kembali, "bahwa masyarakat masih sulit menerima mereka hidup
menetap di desa. " Mansyur bahkan berujar lebih ekstrim lagi:
"Bagaikan orang Amerika (pendatang) yang sulit menerima
kehadiran orang Indian." Sehingga ribut-ribut sering terjadi.
Misalnya, Juli kemarin, serombongan orang Kubu mendatangi kantor
transmigrasi Rimbo Bujang untuk minta ganti rugi. Seekor anjing
orang Kubu mati tergiling mobil proyek. Tapi mereka lari
terbirit-birit masuk hutan, setelah melihat salah seorang
pekerja transmigrasi mengancam akan "membabat" mereka dengan
gajah kuning. Apa yang dimaksud dengan gajah kuning tidak lain
hanyalah sebuah bulldozer yang bercat kuning. Orang Kubu takut
melihat kendaraan besar ini karena dengan bulldozer hutan-hutan
mereka jadi porak poranda.
Sudah pasti, lambat laun pengembaraan orang Kubu akan berakhir
juga. Bukan saja kalau proyek memasyarakatkan mereka kian
berhasil, tapi pertumbuhan orang Kubu bisa dibilang lambat
sekali. Dari bayi-bayi yang lahir, hanya sekitar 15% yang bisa
tumbuh hingga dewasa.
Di samping itu, bersetubuh dilakukan secara upacara. Adanya
coitus interrupus (sanggama terputus) walaupun mereka belum
mengenal arti KB.
Sistim berkelana mereka disebabkan adat istiadat juga. Kematian
adalah sesuatu yang paling sial dari lingkaran hidup mereka.
Bila ada seseorang dari anggota keluarga mereka sakit dan
tampaknya tidak bisa ditolong lagi, penduduk yang sehat kemudian
membuatkannya sebuah pondok sebesar 2 x 1 meter. Si sakit
diletakkan di pondok tersebut berikut parang dan tombak
kesayangannya.
Dengan ratap tangis, diapun kemudian ditinggalkan oleh
kawan-kawannya. Upacara ratap tangis bagi orang yang setengah
mati ini disebut melangun. Untuk membuang kesialan mereka harus
mengembara sejauh mungkin dari si sakit. Waktu melangun sering
mereka lakukan sampai 5 atau 7 tahun lamanya.
Bagi suku Kubu yang telah menetap melangun cukup dilakukan
dengan pindah ke rumah tetangga saja. Sering orang kampung lain
menemukan si sakit dalam keadaan payah. Seperti nasib Tampung
Melilit, salah seorang pesirah yang ada di sekitar Rimbo Bujang,
ditinggalkan anak buahnya karena kakinya membengkak tertusuk
tombak ketika mencari ikan di sungai. Oleh penduduk yang
menemukannya, Tampun Melilit kemudian dibawa ke Puskesmas Rimbo
Bujang dan bisa sembuh.
Sejak Juli hingga kini Tampung Melilit menetap di sekitar proyek
transmigrasi Rimbo Bujang. "Saya menjaga keamanan di sini,"
ujarnya dengan bahasa Indonesia putus-putus. Katanya ia sudah
berusia 75 tahun. Kakinya masih pincang walaupun tubuhnya masih
gagah. Cawat tidak dikenakannya lagi dan Tampung Melilit cukup
bangga mengenakan baju bekas mirip baju pramuka dan celana
tentara warna hijau. "Ini dikasih komandan polisi," ujarnya.
Orang Kubu yang sudah menetap biasanya bekerja sebagai penebang
kayu, terutama sejak dibukanya jalan Lintas Sumatera. Ada di
antara mereka yang membangun rumah di tepi jalan raya tersebut,
tapi selang beberapa hari, mereka menghilang lagi masuk hutan.
Bagi yang enggak masuk hutan, mereka kemudian pengemis. Karena
hutan yang telah digarap manusia rupanya sulit untuk jadi
pelindung mereka seperti dulu lagi. Apalagi bagi mereka yang
telah mengenal duit.
Jambi mempunyai hutan belantara seluas 3 juta ha. Sarana jalan
yang ada baru 452 km, hanya 25 km saja yang beraspal. Itu yang
termasuk jalan negara. Untuk jalan propinsi, dari 924 km, baru
30 km yang kenal aspal dan 354 km jalan kabupaten belum pernah
dicium aspal atau bulldozer sama sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini