Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Terimalah mereka tanpa meludah

Suku tarasing yang mendiami rimba daerah jambi & sekitarnya dikenali 3 kelompok: yang masih berkelana liar, 1/2 berkelana & yang menetap sementara. orang kubu sering minta makanan pada penduduk setempat. (ils)

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGAN meludah bila bertemu orang Kubu -- begitu larangan yang lazimnya dipercayai orang Jambi dan orang-orang sekitar tempat yang biasa dihuni orang Kubu. Karena siapa yang meludah -- karena tak tahan akan bau badan orang Kubu -- biasanya akan turut ke hutan tempat orang Kubu tinggal. Memang tidak jelas dan tidak pernah diketahui siapa dan berapa orang, orang luar Kubu masuk hutan untuk kemudian hidup seperti orang Kubu karena permainan tenung suku terasing ini. Yang ada hanya kisah 3 orang petugas dinas sosial yang meninggal dunia dan dikatakan karena kena tenung orang Kubu. "Petugas saya meninggal karena kena penyakit tujuh empedu," kata Mansyur Samin SH Kepala Bidang Bina Sosial Dinas Sosial Propinsi Jambi. Penyakit "tujuh empedu" -- menurut kepercayaan orang Jambi --adalah ramuan dari tujuh macam empedu binatang ditambah ilmu hitam, diberikan lewat makanan atau minuman. Orang yang dituju akan jatuh sakit dan kabarnya tidak seorang dokter pun yang sanggup menyembuhkan sampai orang itu meninggal. Jenang, Si Perantara Mantera, jampi-jampi dan segala yang berbau mistik, adalah bagian terpenting dari kehidupan orang Kubu. Soal ilmu hitam, konon mereka cukup piawai, sehingga bagi penduduk sekitar lebih baik menjauh dari pada bergaul dengan mereka. Sebab, seperti yang diceritakan oleh Mansyur Samin, "salah bicara, kita bisa celaka." Bila mereka tersinggung, orang Kubu tidak hanya akan membalas lewat ilmu-ilmu gaibnya saja. Tapi sering mereka memperlihatkan demonstrasi balas dendamnya lewat kekuatan fisik. Bulan lalu ladang di Kumpai, Kabupaten Batanghari, dirusak orang Kubu. Penduduk kampung Kumpai tentu saja marah dan mengadakan mobilisasi untuk pembalasan. Untung saja, Muspida segera turun tangan dan bisa menurunkan amarah penduduk Kumpai. Dulu orang Kubu tak pernah berhubungan langsung dengan orang-orang kampung. Kalau toh kontak harus terjadi, mereka -- orang kampung -- biasanya melalui seorang jenang. Jenang yang biasanya mempunyai keistimewaan di kampung itu, misalnya ahli adat, dukun yang mahir dan mendapat kepercayaan dari orang Kubu. Peranannya sangat besar sebagai penghubung. Terutama dalam soal dagang barter. Orang Kubu umumnya bekerja sebagai pengumpul hasil hutan (damar, rotan, getah meranti). Hasil hutan ini ditukar dengan tembakau, gula, kopi, beliung dan sebangsanya. Seorang jenang tidak diangkat sembarangan. Harus melalui proses pemilihan demokratis di Tanjung Saribulan, di tepi Sungai Sakolado, masih hutan dan 60 km dari Desa Batusawar. Bagi pihak dinas sosial, fungsi jenang berperan cukup penting. "Sehingga jenang bisa membuat hubunan kami positif atau negatif," ujar Mansyur Samin. Artinya, usaha dinas sosial bisa gagal atau sukses dalam hal memasyarakatkan orang Kubu ini. Tindakan jenang yang berakibat negatif misalnya dengan cara menjelek-jelekkan usaha-usaha dinas sosial. Sebab walau bagaimanapun orang Kubu yang belum mengenal uang berarti keuntungan besar bagi seorang jenang. Paling tidak jenang bisa mengelabui kedua belah pihak dalam hal barter barang-barang hasil hutan. Bagi petugas Dinas Sosial: dari jenanglah sistim bercocok tanam dengan peralatan pertanian baru bisa diajarkan. Jenang jugalah yang mengajar orang Kubu mengenal rokok dan kopi dan bahan-bahan lainnya. Propinsi Jambi berpenduduk 1.245. 045 jiwa. Luasnya hampir sama dengan Propinsi Jawa Barat, sekitar 5.234.400ha. Dari jumlah penduduk tadi ada 16.000 jiwa di antaranya dianggap sebagai pengembara di hutan-hutan yang belum dijamah manusia keseluruhannya Mereka adalah orang Kubu, yang kemudian dalam proyek memasyarakatkan dalam arti agar hidup menetap, disebut dengan "suku Anak Dalam". Suku ini sebagian terdapat juga di wilayah Propinsi Sumatera Selatan. Dewasa ini, orang Kubu dibagi dalam 3 kelompok: yang masih berkelana, setengah kelana dan mereka yang sudah menetap sementara. Sejak 1973, Dinas Sosial Propinsi Jambi baru bisa membina mereka sejumlah 3.470 orang di lokasi pengeretan, Palempang, Jantang Mengeris, Nyogan, Ladang Peris dan Bukit Tamsu. Sekitar 6.000 orang telah dibina oleh Dinas Sosial Sumatera Selatan. Biarpun begitu, jumlah yang berkelana dan belum bisa "dijinakkan" masih berkisar 40% dari seluruh orang Kubu. Tahun lalu Pemda Propinsi Jambi menyerahkan daerahnya seluas 1 juta hektar lebih untuk proyek transmigrasi di Kabupaten Bunga Tebo Sarolangun Bengko, Tanjung Jabung dan Kabupaten Batanghari, tak jauh dari jalan Lintas Sumatera. Keempat kabupaten ini sebetulnya tempat orang-orang Kubu berkelana. "Mereka sering datang untuk minta ubi," kata Ridi (45 tahun) transmigran dari Unit 11 pada Proyek Rimbo Bujang. "Baunya bukan main," ujar Nyonya Supandi yang suaminya adalah pegawai jawatan transmigrasi setempat, "dan kalau minta sesuatu, tak mau pergi sebelum diberi." "Inilah hambatan kami yang paling utama," kata Mansyur Samin kembali, "bahwa masyarakat masih sulit menerima mereka hidup menetap di desa. " Mansyur bahkan berujar lebih ekstrim lagi: "Bagaikan orang Amerika (pendatang) yang sulit menerima kehadiran orang Indian." Sehingga ribut-ribut sering terjadi. Misalnya, Juli kemarin, serombongan orang Kubu mendatangi kantor transmigrasi Rimbo Bujang untuk minta ganti rugi. Seekor anjing orang Kubu mati tergiling mobil proyek. Tapi mereka lari terbirit-birit masuk hutan, setelah melihat salah seorang pekerja transmigrasi mengancam akan "membabat" mereka dengan gajah kuning. Apa yang dimaksud dengan gajah kuning tidak lain hanyalah sebuah bulldozer yang bercat kuning. Orang Kubu takut melihat kendaraan besar ini karena dengan bulldozer hutan-hutan mereka jadi porak poranda. Sudah pasti, lambat laun pengembaraan orang Kubu akan berakhir juga. Bukan saja kalau proyek memasyarakatkan mereka kian berhasil, tapi pertumbuhan orang Kubu bisa dibilang lambat sekali. Dari bayi-bayi yang lahir, hanya sekitar 15% yang bisa tumbuh hingga dewasa. Di samping itu, bersetubuh dilakukan secara upacara. Adanya coitus interrupus (sanggama terputus) walaupun mereka belum mengenal arti KB. Sistim berkelana mereka disebabkan adat istiadat juga. Kematian adalah sesuatu yang paling sial dari lingkaran hidup mereka. Bila ada seseorang dari anggota keluarga mereka sakit dan tampaknya tidak bisa ditolong lagi, penduduk yang sehat kemudian membuatkannya sebuah pondok sebesar 2 x 1 meter. Si sakit diletakkan di pondok tersebut berikut parang dan tombak kesayangannya. Dengan ratap tangis, diapun kemudian ditinggalkan oleh kawan-kawannya. Upacara ratap tangis bagi orang yang setengah mati ini disebut melangun. Untuk membuang kesialan mereka harus mengembara sejauh mungkin dari si sakit. Waktu melangun sering mereka lakukan sampai 5 atau 7 tahun lamanya. Bagi suku Kubu yang telah menetap melangun cukup dilakukan dengan pindah ke rumah tetangga saja. Sering orang kampung lain menemukan si sakit dalam keadaan payah. Seperti nasib Tampung Melilit, salah seorang pesirah yang ada di sekitar Rimbo Bujang, ditinggalkan anak buahnya karena kakinya membengkak tertusuk tombak ketika mencari ikan di sungai. Oleh penduduk yang menemukannya, Tampun Melilit kemudian dibawa ke Puskesmas Rimbo Bujang dan bisa sembuh. Sejak Juli hingga kini Tampung Melilit menetap di sekitar proyek transmigrasi Rimbo Bujang. "Saya menjaga keamanan di sini," ujarnya dengan bahasa Indonesia putus-putus. Katanya ia sudah berusia 75 tahun. Kakinya masih pincang walaupun tubuhnya masih gagah. Cawat tidak dikenakannya lagi dan Tampung Melilit cukup bangga mengenakan baju bekas mirip baju pramuka dan celana tentara warna hijau. "Ini dikasih komandan polisi," ujarnya. Orang Kubu yang sudah menetap biasanya bekerja sebagai penebang kayu, terutama sejak dibukanya jalan Lintas Sumatera. Ada di antara mereka yang membangun rumah di tepi jalan raya tersebut, tapi selang beberapa hari, mereka menghilang lagi masuk hutan. Bagi yang enggak masuk hutan, mereka kemudian pengemis. Karena hutan yang telah digarap manusia rupanya sulit untuk jadi pelindung mereka seperti dulu lagi. Apalagi bagi mereka yang telah mengenal duit. Jambi mempunyai hutan belantara seluas 3 juta ha. Sarana jalan yang ada baru 452 km, hanya 25 km saja yang beraspal. Itu yang termasuk jalan negara. Untuk jalan propinsi, dari 924 km, baru 30 km yang kenal aspal dan 354 km jalan kabupaten belum pernah dicium aspal atau bulldozer sama sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus