Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Den Bagus dari Kaki Singgalang

Di sekolah khusus untuk anak-anak Eropa, Agus Salim suka berdebat dan berpikir kritis. Menempa kemampuan di atas loteng.

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA nama adalah doa, Agus Salim sudah memanggul segunung doa sejak kecil. Ia lahir pada 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Orang tuanya memberi nama Masjhudul Haq, yang berarti pembela kebenaran.

Tentu selalu ada cerita di balik nama. Masjhudul anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Sutan Mohammad Salim, menikah tiga kali setelah dua istrinya meninggal berturut-turut. Syahdan, pada awal Oktober 1884, sang ayah terkesan oleh Masjhudul Haq, tokoh utama buku yang sedang dia baca.

Ketika Mohammad Salim sedang di surau beberapa hari kemudian, datang kabar gembira. Istrinya, Siti Zainab, baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki. Maka dinamakanlah bayi itu Masjhudul Haq.

Namun nama itu tak bertahan lama. Solichin Salam dalam Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional (1965) menulis bahwa pembantu asal Pulau Jawa yang mengasuh Masjhudul kecil kerap memanggilnya Den Bagus—istilah Jawa untuk menyebut anak lelaki dari keluarga ningrat atau terpandang. Biasa disingkat Agus atau Gus.

Panggilan ini meluas sampai ke luar rumah. Hingga masuk Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa di Hindia Belanda, nama Agus masih bertahan. Lalu berubah menjadi August sesuai dengan lidah guru-gurunya dari Belanda. "Sebagai murid sekolah Belanda, dia tercatat dengan nama August Salim," tulis Untung S. dalam Mengikuti Jejak H. Agus Salim dalam Tiga Zaman.

Nama Salim disematkan di belakang namanya sebagai nama keluarga. Ia merasa lebih nyaman dengan nama populer masa kecilnya ini. Setelah itu, dia terus memakai nama tersebut, tapi menurut versi lokalnya: Agus Salim.

Salim bisa bersekolah di ELS lantaran posisi ayahnya sebagai pegawai pemerintah. Saat Salim berusia sekitar 6 tahun, pemerintah Hindia Belanda mengangkat ayahnya menjadi hoofd djaksa pada Landraad di Riau en Onderhorigheden atau jaksa tinggi pada Pengadilan Negeri Riau dan daerah bawahannya. Bagi orang Hindia Belanda, posisi hoofd djaksa termasuk tinggi dan terhormat.

Di sekolah, bintang Salim mulai berkilau. Dia menunjukkan ciri-ciri anak cerdas: suka berdebat dan berpikir kritis. Hobinya main bulu tangkis, hoki, tenis, dan bridge. Meski tergolong nakal, suka bertengkar, dan keras dalam pendirian, dia disukai guru dan teman-teman karena pintar. Salim pun menonjol dan menunjukkan punya kecerdasan di atas rata-rata, termasuk untuk pelajaran bahasa Belanda.

Kustiniyati Mochtar dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim menulis bahwa Salim berteman dengan anak-anak Eropa, termasuk dengan anak-anak perempuannya. "Sering kali ia menonton bioskop atau pertunjukan lain, dan kadang-kadang ikut acara piknik di waktu libur."

Aktivitas pergaulannya yang luas itu tak menyurutkan prestasinya. Salim tetap cakap di berbagai mata pelajaran, bukan hanya bahasa, melainkan juga dalam hal berhitung dan sejarah. Saat itu, sempat beredar kabar Salim anak yang istimewa, pandai tanpa belajar. Namun dalam kenyataannya tidak demikian. Semua prestasinya merupakan buah dari ketekunan.

Soal ini dicatat oleh Haji Zainal, teman masa kecilnya. "Sangkaan orang-orang itu sesungguhnya keliru. Pujian orang bahwa aku luar biasa pandai adalah berlebihan, karena mungkin mereka tak pernah melihat aku menekuni pelajaran di rumah," kata Salim kepada Zainal seperti dituliskan oleh Kustiniyati.

Salim belajar keras di rumah, meski lingkungan kurang mendukung karena dia kerap menerima tugas rumah dan ajakan bermain dari teman-temannya.

Untuk menyiasati kondisi ini dan menghindari gangguan dari luar, Salim punya jalan keluar. Pada siang hari setelah makan, dia mengendap-endap naik ke loteng. Di sana dia menekuni pelajaran yang baru didapat sekaligus mempersiapkan untuk esok harinya. Karena di atas plafon itu gelap, dia selalu membuka beberapa genting agar cahaya dengan leluasa masuk.

Selesai belajar, sebelum turun dia membereskan kembali genting-genting itu. "Hati tak enak kalau tak belajar lebih dulu," tuturnya kepada Zainal.

Aksi belajar diam-diam ini baru terbongkar setelah terjadi "kecelakaan". Suatu hari sehabis belajar, Salim lupa menutup genting. Nahas hujan turun tak lama kemudian. Air pun membanjiri rumah, dan si biang kerok muncul sambil cengar-cengir. "Maka jangan suka menyuruh-nyuruh terus kalau saya lagi belajar."

Kecerdasannya menarik perhatian Jan Brouwer, guru Belanda yang berjiwa revolusioner. Melihat bakat potensial Salim, Brouwer meminta kepada Sutan Mohammad Salim agar Salim boleh tinggal bersamanya. Ia ingin memberi bimbingan langsung kepada "bibit unggul" itu sambil memberinya makanan bergizi yang dibutuhkan anak dalam pertumbuhan.

Ayah Salim tertarik, tapi memilih jalan kompromi. Sesekali Salim boleh tinggal pada keluarga Brouwer sepulang sekolah sampai sehabis makan malam. Sesudah itu, dia harus pulang. Masa ini menjadi salah satu fragmen berharga dalam kehidupan Salim. Dia makin percaya diri berhadapan dengan bangsa asing.

Di sekolah ini kecerdasannya tertempa oleh lingkungan terpelajar dan disiplin belajar yang ketat. Dia lulus dari ELS dengan predikat juara. Koto Gadang kembali melahirkan sosok intelektual ternama.

l l l

NAGARI Koto Gadang adalah kampung permai di sebelah barat Bukittinggi. Lokasinya di seberang Ngarai Sianok di kaki Gunung Singgalang. Cemara tua berderet di sepanjang jalan masuk ke kampung itu. Rumah-rumah lama berarsitektur kolonial awal abad ke-20 masih terpelihara.

Koto Gadang melahirkan kaum cerdik cendekia sejak zaman kolonial. Sejumlah dokter, menteri, jenderal, diplomat, sampai perdana menteri berasal dari sini.

Memasuki Koto Gadang, di persimpangan jalan persis di depan Balai Adat berupa Rumah Bagonjong, sejumlah papan menunjukkan arah ke jalan-jalan yang lebih kecil. Di sana tertera Jalan Sutan Syahrir, Jalan Rohana Kudus, dan Jalan H Agus Salim. Tokoh-tokoh itu dilahirkan di nagari ini.

Salah satu petunjuk itu menuntun ke rumah kelahiran Salim di Jalan H Agus Salim 14, Jorong Koto Gadang Mudiak, Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam. Rumahnya terletak paling belakang. Halaman belakangnya luas, langsung berbatasan dengan Ngarai Sampik, yang terhubung dengan Ngarai Sianok.

Di rumah bergaya Eropa awal abad ke-20 ini Salim lahir dan tumbuh. Beberapa bagian rumah menyisakan cerita masa kecil. Loteng rumah salah satunya. "Kata cucu-cucunya, Opa dulu belajarnya di sana. Tapi saya tidak tahu bagaimana jalan ke loteng karena cukup tinggi, sekitar 3,5 meter," ujar Teti, penjaga rumah itu sejak 17 tahun silam.

Seturut dengan sejarahnya, pada abad ke-18 Koto Gadang adalah pusat para perantau yang menjadi tukang emas. Era berganti, penduduknya banyak yang menduduki jabatan terhormat di birokrasi. Semangat belajar dan kesempatan mendapat pendidikan berpadu di salah satu sudut ranah Minangkabau ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus