Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nyaris Agnostik di Salemba

Orientalis Snouck Hurgronje membuat siswa Hindia Timur menjauhi Islam. Tapi Hurgronje pula yang membawa Agus Salim ke Jeddah dan mendekatkannya kembali dengan Islam.

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gymnassium Koning Willem III (KW III) didirikan pada 27 November 1860. Sekolah ini menggunakan nama Raja Belanda Willem III, yang bertakhta waktu itu. Tujuannya memang memuliakan Raja Willem dengan mencerdaskan anak-anak Belanda yang tinggal di tanah jajahan. Karena itu, sekolah ini juga kerap disebut sekolah raja.

KW III, yang beralamat di Jalan Salemba Raya 28 A Jakarta Pusat, kini gedung Perpustakaan Nasional, merupakan sekolah menengah pertama yang didirikan pemerintah kolonial. KW III kemudian berubah nama menjadi Hogere Burger School (HBS) pada 1867 dan menerima siswa pribumi pada 1874. Penerimaan siswa Indonesia ini akibat desakan liberalisme yang bertiup di Eropa pada pertengahan abad ke-19 dan timbulnya Politik Etis (politik balas budi) di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.

Sutan Muhammad Salim, hoofd djaksa atau kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau, sudah mempersiapkan anaknya, Agus Salim, untuk melanjutkan studi di HBS itu. Bila lulus dari HBS, Salim bisa meneruskan sekolahnya di perguruan tinggi ilmu kedokteran di Belanda seperti cita-citanya sendiri dan ayahnya. Sutan akan mengajukan permohonan beasiswa kepada pemerintah Belanda untuk putranya ini. Apalagi ia percaya putranya cerdas.

Sebagai pejabat, Sutan berhak menyekolahkan anaknya ke sekolah yang lebih tinggi selepas menyelesaikan Europeesche Lagere School (ELS) di Riau. Hanya siswa Belanda dan bumiputra golongan pangkat tinggi atau bangsawan yang bisa bersekolah di HBS. "Syarat bisa menyekolahkan anak di KW III adalah orang tua bisa berbahasa Belanda dan anak dari bangsawan," kata Soebardi, 89 tahun, alumnus KW III.

Begitu masuk HBS, Agus Salim indekos di rumah T.H. Koks, guru sekolahnya yang ditunjuk sang ayah sebagai wali dan pengasuhnya. Masa sekolah selama lima tahun dilaluinya dengan gemilang. Salim menjadi kesayangan para guru karena kemampuannya yang menonjol dalam semua pelajaran, terutama penguasaan bahasa, ilmu sosial, dan ilmu pasti.

Kecerdasan Salim ini sempat merisaukan teman sekelasnya, seorang gadis Belanda. Merasa terancam lantaran menjadi juara kedua setelah Salim, gadis Belanda ini meminta pengertian kawannya. "Aku dijanjikan ayahku, kalau aku juara pertama dan kamu juara kedua, aku akan mendapat uang 2,5 gulden," ujar gadis Belanda itu seperti dikisahkan kembali oleh Siti Asiah, yang akrab disapa Bibsy, putri kedelapan Agus Salim. "Ayah kemudian sengaja membikin kesalahan saat ujian sehingga teman perempuannya menjadi juara pertama."

Agus Salim memang gemilang di sana. Namun HBS, yang banyak memberikan pendidikan filsafat Barat, telah menjauhkannya dari Islam. Ini diakuinya saat berbicara sebagai dosen tamu di Cornell University di Ithaca, New York, Amerika Serikat, pada 1954. "Ketika berumur 13 tahun, saya dikirim sekolah di Jakarta. Ketika itu, saya telah menyelesaikan pendidikan agama Islam. Maka saya mulai sekolah sesuai dengan aturan Barat," katanya.

Apa yang terjadi di HBS tidak lepas dari kebijakan pendidikan Belanda di Hindia Timur, yang disusun oleh orientalis Snouck Hurgronje. Tujuannya merangkul lapisan atas bangsa Indonesia masuk ke alam kultur Belanda. "Tujuan kedua adalah menjauhkan orang-orang tersebut dari ajaran Islam, yang menyebabkan mereka menjaga jarak dan kurang tertarik pada pengaruh Barat," ucap Salim.

Agus Salim berterus terang pendidikan di HBS telah berhasil menggoyahkan keimanannya. "Ketika itu, ilmu pengetahuan dianggap berlawanan dengan agama. Saya pun merasa tak dapat berpegang kepada satu agama saja." Ia pun diingatkan ayahnya untuk kembali ke Islam.

Tapi Sutan Muhammad Salim berada dalam dilema. Saat itu ia justru dihadapkan pada pilihan yang sulit. Cita-citanya agar Salim lulus dengan gemilang dan berpeluang mendapat beasiswa ke Belanda hampir jadi kenyataan. Salim berhasil menjadi lulusan terbaik di tiga Hogere Burger School: Batavia, Semarang, dan Surabaya. Ia seharusnya secara otomatis mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Belanda. Dan itu artinya Salim semakin jauh dengan Islam karena semakin dalam berada dalam didikan Belanda.

Sambil menunggu jawaban akan pengajuan beasiswa itu, Salim masuk sekolah kedokteran di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di Kwitang, Batavia. Ia lebih dulu menjadi murid STOVIA dibanding dokter Tjiptomangunkusumo. Tunggu punya tunggu, beasiswa itu tak pernah menghampirinya.

Kabar itu sampai di Jepara dan membuat seorang putri bangsawan mengirim surat kepada Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda Jacques Henrij Abendanon pada 24 Juli 1903 setelah mendengar kabar seorang pemuda bumiputra gagal meneruskan studi kedokteran di Belanda.

Surat dari Raden Ajeng Kartini, nama putri bangsawan itu, berisi permintaan kepada pemerintah kolonial agar mengalihkan beasiswa pendidikan yang seharusnya dia terima ke pemuda bumiputra tersebut: Agus Salim.

"Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali gaji ayahnya cuma 150 gulden sebulan. Alangkah indahnya andai pemerintah bersedia membiayai seluruh pendidikannya yang berjumlah kira-kira 8.000 gulden. Bila tidak mungkin, kami akan berterima kasih seandainya Salim dapat menerima jumlah 4.800 gulden yang disediakan untuk kami itu."

Tapi Salim tidak pernah menerima pengalihan beasiswa itu. "Ayah menolak. Ayah bilang, 'Kalau beasiswa itu akan diberikan kepadaku karena desakan RA Kartini saja, lebih baik tidak kuterima'," kata Bibsy.

Dalam versi Asvi Warman Adam, Agus Salim tidak mengetahui informasi surat Kartini itu. "Saya belum menemukan dokumen tentang penolakan Agus Salim. Bagi saya, lebih masuk akal jika dia tidak mengetahui surat permintaan Kartini itu." Apalagi saat itu nama Kartini belum banyak diketahui. Patah arang, Agus Salim, yang bernama asli Masjhudul Haq, kembali ke Riau. Menurut Untung S. dalam bukunya yang berjudul Mengikuti Jejak H. Agus Salim dalam Tiga Zaman, Salim bekerja sebagai penerjemah di sebuah kantor akuntan selama setahun, kemudian pindah ke sebuah perusahaan pertambangan batu bara di Retih, Indragiri. Dia menguasai bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Turki, Jepang, dan Arab.

Sebagai hadiah hiburan, Salim ditawari pemerintah Hindia Belanda, melalui usul Snouck Hurgronje, yang juga guru kesayangannya, bekerja sebagai ambtenaar (pegawai negeri) di Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi, pada 1906. Tawaran bekerja selama lima tahun ini langsung diterimanya sekaligus menjadi kesempatan memperdalam Islam. Apalagi, selama mengenyam pendidikan Barat, Salim nyaris agnostik. Di sana, selama lima tahun, ia berhaji setiap tahun. Dia juga bertemu dengan para ulama terkenal dari Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus