Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cerdas dan Kritis Sejak Belia

Agus Salim sudah menorehkan prestasi gemilang sejak duduk di bangku sekolah dasar. Di tengah kawan-kawan sekolahnya yang sebagian besar anak Eropa, dia tak minder, malah berpikir kritis. Kemampuannya menonjol dalam semua pelajaran, terutama penguasaan bahasa, ilmu sosial, dan ilmu pasti. Lulus pun dengan predikat terbaik sejak pendidikan dasar hingga menengah. Dengan pendidikan dan kemampuan tinggi, Agus Salim sesungguhnya dapat hidup enak asalkan mau bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda. Tapi dia memilih resistan. Tinggal di rumah kontrakan hingga akhir hayatnya.

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak Lelah Berpindah Rumah
Hidup sangat sederhana tapi gembira. Sulit mencari nafkah karena kritis terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda.

Siti Asiah masih mengingat sepenggal kisah hidupnya berpuluh tahun silam. Sejak bayi hingga remaja, ia dan keluarganya harus berpindah rumah puluhan kali. Ada masa ketika keluarganya harus pindah rumah lebih dari satu kali dalam sebulan. "Sebab, begitu keadaan lebih baik, ada penghasilan, pindah ke tempat lebih bagus," ujar anak kedelapan Haji Agus Salim yang tinggal bersama anaknya di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, ini.

Perempuan 84 tahun ini mengatakan keluarganya sudah biasa pindah dari rumah kontrakan kecil sederhana ke rumah besar. Kalau keuangan keluarganya sedang tak bagus, mereka akan menyewa rumah lebih kecil. Dia masih ingat suatu ketika keluarganya pindah ke sebuah rumah besar di Gang Nangka, Kwitang, Jakarta. "Kami pindah ke rumah itu karena keadaan keuangan ayah agak bagus."

Dari Kwitang, keluarganya pindah lagi beberapa kali, antara lain ke Krukut, Jalan Karet, dan Jalan Gereja Theresia. Di rumah terakhir inilah pasangan Haji Agus Salim-Zainatun Nahar dan anak-anaknya menetap. "Buat kami, rumahnya bukan jadi soal, yang penting berkumpul. Semua rumah itu baik," katanya.

Keluarganya pernah tinggal cukup lama di Jalan Karet, Petamburan. Di rumah itu salah seorang kakak perempuannya menikah dan tinggal di sana bersama suaminya. "Banyak sekali kamarnya, tujuh barangkali, seperti kereta api."

Perempuan yang akrab disapa Bibsy ini mengatakan kakak tertuanya, Theodora Atia, yang akrab dipanggil Dolly, lahir di kampung ayahnya, Koto Gadang, pada Juni 1912. Dua tahun kemudian, anak kedua, Jusuf Tewfik Salim, lahir di Bogor. Sejak itu, keluarganya terus berpindah rumah dengan kondisi ibunya melahirkan setiap dua tahun.

Mereka tak cuma pindah di dalam Kota Jakarta, tapi hingga ke Majalengka, Surabaya, bahkan Madura. Ibunya, yang terbiasa tinggal bersama keluarga dan sepupu satu nenek, tiba-tiba mesti menetap di tempat asing jauh dari sanak kerabat. "Baru settle mesti pindah lagi, harus mulai kenalan lagi sama orang."

Meski menjadi kaum "kontrakan", ibunya tak mengeluh. Menurut Bibsy, orang tuanya tak pernah bertengkar atau memperlihatkan sedang susah di depan anak-anaknya. Setiap berkumpul, mereka selalu gembira dan menghibur anak-anaknya.

Menurut cucu Agus Salim, Agustanzil Sjahroezah, kakeknya sering pindah rumah karena dia tak kenal kompromi dan teguh memegang prinsip. Misalnya, kata dia, suatu ketika kakeknya bekerja sebagai redaktur di sebuah media, tapi keluar karena dilarang menulis tentang sesuatu hal. "Namun, syukurlah, masih ada yang bersedia menolong, menampung dia, istri, dan anak-anaknya," ujar pria 58 tahun yang akrab disapa Ibong ini.

Putra Violet Hanifah—anak ketiga Agus Salim—ini mengatakan kakeknya sudah terbiasa hidup nomaden sebelum menetap di rumah di Jalan Gereja Theresia—kini Jalan KH Agus Salim Nomor 72. Menurut Agustanzil, di rumah inilah Piagam Jakarta disusun. Hingga kakeknya meninggal pada 4 November 1954, rumah itu masih berstatus sewa. Anak-anak Salim kemudian patungan membelinya beberapa tahun kemudian setelah mereka hidup mapan.

Ketua Yayasan Hadji Agus Salim ini mengatakan Wakil Presiden Adam Malik pernah mengatakan kepada Presiden Soeharto agar pemerintah membeli rumah itu setelah neneknya meninggal pada 2 Desember 1977. Soeharto mau membelinya, tapi rumah itu akan diratakan dan kemudian dibangun rumah baru. "Adam Malik tidak sepakat, bagaimana komentar dunia kalau presidennya sendiri yang membeli bangunan bersejarah dan kemudian menghancurkannya. Akhirnya Pak Harto tidak jadi membelinya," ujarnya.

Rumah itu, kata Ibong, akhirnya dibeli seseorang dan dihancurkan juga. Kini di atas bekas rumah itu berdiri bangunan dua lantai berbenteng pagar tembok setinggi lebih dari dua meter. Pintu gerbangnya tertutup. Untuk memasuki rumah itu, pengunjung harus melewati pintu gerbang toko kue De'Panna di samping kanannya.

Fendi, yang mengaku bekerja pada pemilik rumah itu, enggan menyebutkan pemiliknya. Dia hanya mengatakan si empunya berada di luar negeri. "Rumah ini dulu memang rumah Agus Salim. Dibeli sekitar 1990. Sebelum dibeli sudah berpindah tangan beberapa kali," ucapnya.

Menurut Agustanzil, Sukarno pernah memberi Salim sebuah rumah di Jalan Hanglekir I. Rumah itu pernah ditempati anak bungsunya, Mansur Abdur Rachman Ciddiq, tapi akhirnya dijual karena menjadi langganan banjir.

Ihwal pindah-pindah rumah itu pernah disebutkan Mohamad Roem dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah. Pada suatu hari pada 1925, dua pelajar Stovia, Kasman Singodimedjo dan Soeparno, mengajaknya berkunjung ke rumah Salim di Gang Tanah Tinggi, Jakarta. Jarak asrama Stovia di Gang Kwini ke Tanah Tinggi ditempuh selama sepuluh menit dengan sepeda. Dia menyatakan jalan yang diaspal hanya sampai Stasiun Senen, selanjutnya jalan tanah penuh lubang. "Lewat jalan ini dengan sepeda bagaikan naik perahu di atas air yang berombak."

Itulah pertama kalinya Roem bertemu dengan Salim. Ia tertarik pada Salim karena berbeda dengan tokoh lain. "Rumahnya rumah kampung. Meja dan kursinya sangat sederhana. Sangat berlainan dengan apa yang saya bayangkan tentang seseorang yang sudah terkenal." Roem di kemudian hari menjadi sahabat keluarga Salim.

Beberapa bulan setelah Roem berkenalan dengan Salim, dia mendengar keluarga Salim pindah ke Gang Toapekong di Pintu Besi di depan Gereja Ayam, Jakarta. Menurut dia, rumahnya tak kalah besar dari rumah di Tanah Tinggi. Di bagian luar ada meja dan kursi, tapi di dalam nyaris kosong. Ketika berkumpul di ruang dalam, mereka duduk beralas tikar. "Rumah itu menunjukkan rumah keluarga yang kurang berada," Roem menulis.

Beberapa bulan kemudian, keluarga Salim pindah lagi ke rumah temannya yang bekerja di sebuah surat kabar, Saeroen, di Mr Cornelis (Jatinegara). Menurut Roem, rumah itu lebih besar dan bagus, terletak di jalan lebih baik, tapi seluruh keluarganya tumplek di satu ruangan. "Koper bertumpuk-tumpuk di pinggir dan beberapa kasur digulung."

Setelah tinggal beberapa bulan di situ, Salim pindah ke Bogor di sekolah swasta yang dibina Sarekat Islam. Salim kembali ke Jakarta pada 1926 dan tinggal di Gang Lontar Satu. Rumahnya lebih sederhana daripada rumah di Tanah Tinggi dan Gang Toapekong. "Penderitaannya ditunjukkan dalam hidup sederhana, yang kadang-kadang mendekati hidup dalam kekurangan dan kemiskinan," Roem menulis.

Sikap hidup sederhana Agus Salim juga mendapat perhatian Belanda. Dalam buku hariannya, Het dagboek van Schermerhorn, ketua delegasi Belanda dalam Perundingan Linggarjati, Willem Schermerhorn, memuji Agus Salim sebagai orang tua yang sangat pintar, seorang jenius dalam bahasa, berbicara dan menulis dengan sempurna paling sedikit dalam sembilan bahasa. "Ia hanya mempunyai satu kelemahan: selama hidupnya melarat!" Schermerhorn menuangkan kalimat itu dalam buku hariannya tersebut, yang ditulis pada 14 Oktober 1946 dan diterbitkan pada 1970.

Dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), Kustiniyati Mochtar menulis, dengan pendidikan dan kemampuan tinggi, sebenarnya Agus Salim dapat hidup enak bila mau bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda. Lantaran sikapnya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial, ia kesulitan mencari nafkah.

Sejak keluar dari Bureau voor Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum) pada 1912 dan memasuki dunia pergerakan setelah 1915, dia hidup miskin. "Tak jarang mereka kekurangan uang belanja," Kustiniyati menulis dalam buku itu.

Zainatun, yang mendapat panggilan sayang Maatje dari anak-anaknya, harus putar otak agar dapat memberi makan anak-anaknya. Suatu ketika Salim tak punya uang untuk membeli lauk-pauk. Ia tak kehabisan akal. Sambil bergurau, ia membuat nasi goreng. Dalam suasana ceria, mereka makan bersama dan anak-anaknya merasa telah mendapat traktiran istimewa dari ayahnya. Dalam kesempatan lain, mereka pernah hanya makan nasi panas dicampur kecap, mentega, atau susu karena tak ada uang untuk beli sayur.

Kustiniyati juga menggambarkan Zainatun sebagai ibu penyabar. Pernah suatu ketika keluarga Salim tinggal di rumah yang atapnya bocor. Bila turun hujan, air membanjiri kamar. Alih-alih panik atau sedih, Zainatun meletakkan ember untuk menampung air hujan. Ia lalu mengajak anak-anaknya membuat perahu dari kertas dan mereka asyik bermain perahu-perahuan.

Dalam buku Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional, Solichin Salam menulis, suatu waktu salah seorang anak Salim meninggal. Karena tak punya uang untuk membeli kafan, dia mengambil taplak meja dan kain kelambu yang sudah terpakai dan mencucinya untuk membungkus jenazah. Ia menolak pemberian kafan baru dari kawannya. Agus Salim mengatakan orang yang masih hidup lebih berhak memakai kain baru itu. Katanya, "Adapun untuk yang mati, cukuplah kain itu. Selagi dia masih hidup, dia memerlukan pertolongan, akan tetapi sekarang dia tidak lagi memerlukannya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus