Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Derum Bajaj Bajuri

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secangkir kopi, secarik kertas, dan empat keping koin. Dari itu semua, lahirlah sang bayi bernama komedi Bajaj Bajuri. Trio Hardi, Aris Nugraha, dan Chairul Rijal masih segar mengingat semua momen itu. Selama beberapa jam, mereka berdiskusi di sebuah kedai kopi dengan sebundel naskah di tangan masing-masing dengan sebuah kertas lecek bergambar denah rumah Bajuri. Empat keping koin itu mewakili Emak, Bajuri, Ucup, dan Oneng. Sembari menggesekkan setiap koin, mereka berdebat bagaimana lalu lintas keempat tokoh itu di dalam rumah Bajuri. ”Denah rumah berubah-ubah, sampai akhirnya diputuskan semua pintu bermuara di ruang tamu,” ujar Aris Nugraha.

Lima tahun berlalu. Siapa yang kini tak kenal tokoh jelmaan empat koin itu dalam komedi situasi Bajaj Bajuri. Humor tentang kehidupan sopir bajaj Bajuri (Mat Solar) dan sang istri yang cantik dan lugu, Oneng (Rieke Diah Pitaloka), itu kini telah menjadi bagian dari kehidupan pemirsa televisi. Demikian suksesnya, sampai tahun ini Trans TV, televisi swasta penayangnya, memutar enam kali berturut-turut seratus episode pertama Bajaj Bajuri. Ini belum termasuk puluhan episode baru berikutnya yang diputar setiap akhir pekan.

Padahal, selain Mat Solar, semua pelakon drama televisi ini bukan pelawak. Diakui oleh para pelakonnya, kejenakaan drama ini tertulis dengan rinci oleh naskah. ”Kami menyebutnya writing table,” ujar Chairul Rijal, yang sebelumnya bekerja sebagai seorang guru privat door to door.

Dan tak bisa dimungkiri, humor Bajaj Bajuri memang lahir dari kepala ketiga orang ini yang mengolah naskahnya dengan serius. Padahal saat itu idenya tak muluk: mengangkat kehidupan masyarakat jelata ke dalam komedi situasi. Sumber inspirasi itu? Tak jauh-jauh, kampung mereka masing-masing.

Aris Nugraha, misalnya, tinggal di perkampungan padat di daerah Halim, Jakarta Timur. Atau Chairul, asal Betawi asli, berdiam di kawasan Buncit, Jakarta Selatan. ”Semua nama dalam sinetron Bajuri seperti Hindun, Sahili, adalah nama tetangga saya,” ujar Chairul. Di antara mereka Hardi-lah yang cukup berada dan mengucurkan modal semua kegiatan mereka. ”Mungkin Bajuri diterima karena kita semua dapat menertawakan kejelataan di sekitar kita sendiri,” ujar Aris merendah, yang selama tiga tahun sempat mengasongkan Bajaj Bajuri ke setiap stasiun televisi. Kedai-kedai kopi, keping koin, dan secarik kertas lecek adalah saksinya jerih payah mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus