Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI kalangan dekatnya, Dr Premana W. Permadi dikenal serius dan jarang guyon. Dosen di Departemen Astronomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung (ITB) itu bahkan nyaris tak punya waktu untuk menghibur diri. ”Saya ini memang kuper (kurang pergaulan—Red.),” katanya sembari tertawa. Perempuan kelahiran Surabaya, Jawa Timur, itu menghabiskan sebagian besar harinya menggeluti astronomi, dunia yang telah membiusnya sejak dulu.
Lewat ilmu inilah ia menemukan banyak hal tentang bintang, planet, meteor, dan aneka benda langit. Dalam dunia astronomi, ”Makin kita masuk ke dalam, makin menarik,” kata Premana, 40 tahun. Senang membaca buku-buku tentang alam semesta sejak kecil, anak pasangan dokter ahli bedah, Permadi Soetrisno, dan perawat Soewarni Permadi ini merampungkan kuliah di Departemen Astronomi ITB pada 1988. Setelah lulus, ia menjadi dosen di almamaternya. Sehari-hari, jika tidak berada di kampus ITB, hampir bisa dipastikan Premana bertekun di Observatorium Bosscha, Lembang, Bandung.
Di observatorium yang diresmikan pada 1 Januari 1923 itu—dulu dikenal sebagai Bosscha Sterrenwacht—Premana terlibat banyak kegiatan. Bersama rekannya, ia sering menggelar kuliah umum dan memberikan penjelasan panjang-lebar kepada semua kalangan yang datang ke Bosscha. Jika ada fenomena alam tertentu, misalnya oposisi Mars, Agustus 2003, praktis tenaga wanita langsing ini makin terkuras. Dalam tiga hari saja, 27-29 Agustus, sekitar 7.000 orang datang ke Bosscha.
Untuk persiapan, sejak seminggu sebelum hari-H, doktor lulusan The University of Texas, Austin, Amerika Serikat, 1996, itu nyaris tak beristirahat. ”Dia memang pekerja keras!” ujar Mahasena Putra, koleganya di Bosscha. Semangat yang sama pula mendorongnya memberikan pemahaman tentang pentingnya Bosscha bagi ilmu pengetahuan kepada warga sekitar. Maklum, sudah lama para pengembang mengincar tanah di sana untuk dijadikan kompleks perumahan.
Bersama rekan-rekannya, Premana juga berhasil memoles Tim Olimpiade Astronomi Indonesia sehingga berjaya dalam ”The IX International Astronomy Olympiad 2004” di Ukraina, awal Oktober 2004. Tim beranggotakan enam orang itu mengantongi satu medali emas, satu perak, dan empat perunggu. Ketika membutuhkan rehat di sela aktivitas sepadat itu, penggemar musik klasik ini memilih membaca buku-buku ringan. ”Atau mengurus tanaman di halaman rumah,” kata Yudi Soeharyadi, 40 tahun, suaminya yang dosen Departemen Matematika ITB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo