Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Balik Tirai Kabinet

Inilah upaya Presiden Abdurrahman Wahid mengumpulkan berbagai kekuatan politik dalam kabinetnya. Siapa saja mereka?

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIASANYA, sesudah MPR melantik Soeharto menjadi presiden, banyak orang berharap-harap cemas menanti deringan telepon. Mereka berharap akan ada permintaan untuk menjadi menteri. Maklum, di masa itu, keputusan ini hanya ada di saku Pak Harto. Kini, di masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, segalanya berubah. Penentuan nama-nama pembantu presiden bukan hanya urusan Kiai Ciganjur itu, tapi juga merupakan konsensus bersama antara kekuatan-kekuatan politik negeri ini. Kabinet yang kini tengah digodok itu kabarnya bernama Kabinet Persatuan Nasional. Rencananya, pengumuman nama-nama itu akan dilaksanakan pada 28 Oktober, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Pembicaraan pertama mengenai anggota kabinet dilaksanakan di Istana Negara, beberapa jam sesudah Megawati dilantik sebagai wakil presiden RI, Kamis pekan lalu. Selain Presiden dan wakilnya, tampak hadir dalam pertemuan itu Ketua MPR Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tandjung, Wakil Ketua MPR Matori Abdul Jalil dan Kwik Kian Gie, serta Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima TNI Jenderal Wiranto. Gus Dur—panggilan akrab Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama itu—selaku tuan rumah, malam itu, mempersilakan yang hadir untuk merancang siapa saja dari kelompok mereka yang disiapkan untuk duduk di kabinet. Di bidang ekonomi, Presiden akan membentuk Dewan Ekonomi Nasional, yang bertugas sebagai penasihat presiden bidang ekonomi. (Lihat rubrik Ekonomis dan Bisnis). Postur kabinet pun akan dirampingkan. Ada yang dimerger, ada yang dihapus, ada pula yang ditambah. Sebagai contoh, Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan akan hilang dan diganti dengan Departemen Pemukiman. Lembaga Menteri Negara BUMN akan dihapus dan diganti dengan Badan Koordinasi BUMN saja. Ada pula kementerian baru, seperti Kementerian Maritim dan Kelautan. "Semuanya masih tentatif, akan diputuskan awal pekan ini," kata sumber TEMPO yang dekat dengan istana. Kabarnya, jumlah kementeriannya 25 buah, termasuk lima menteri negara—tak ada lagi menteri koordinator. Berikut ini profil beberapa nama yang akan duduk di kabinet mendatang. Laksamana Widodo Adi Sutjipto IA dilantik sebagai Wakil Panglima TNI pada 17 Juli lalu oleh Presiden Habibie di Istana Negara. Pengangkatannya itu menghidupkan kembali pos jabatan wakil panglima yang kosong sejak dijabat Laksamana Sudomo pada 1983. Jabatan itu rupanya cuma dipegang sebentar oleh bapak tiga anak ini. Rumor kuat beredar di Jakarta bahwa Widodo segera dipromosikan sebagai Panglima TNI dalam kabinet Gus Dur-Mega. "Silakan kontak Kepala Pusat Penerangan atau Kapuspen TNI. Itu urusan mereka," katanya saat dikonfirmasi TEMPO. Widodo lahir di Boyolali, Jawa Tengah, 55 tahun lalu. Ia lulusan angkatan XIV Akademi Angkatan Laut (AAL) pada 1968. Berbagai jabatan di lingkungan AL pernah disandangnya. Ia mengawali tugas sebagai perwira senjata di KRI Irian pada 1968 dan terus melejit hingga dipromosikan sebagai Kepala Staf Angkatan Laut pada 29 Juni 1998. Di bidang politik, pria berkulit gelap ini pernah dipercaya sebagai Ketua Panitia Ad Hock (PAH) Badan Pekerja MPR dalam Sidang Umum MPR 1997. Jika Widodo naik menjadi panglima, di manakah posisi Jenderal Wiranto? Gosip yang terdengar, ia akan menjadi Ketua Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (semacam National Security Council di Amerika Serikat), lembaga yang akan diaktifkan dan langsung berada di bawah presiden. Posisi Wiranto bisa saja akan dipasang di Departemen Pertahanan—tak ada lagi "Keamanan"-nya—sebagai Menteri Pertahanan. Tapi ada nama lain yang beredar untuk posisi penting ini, yaitu Letjen Agum Gumelar, yang kini Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Betulkah kabar santer ini? "Belum ada kabar soal pergantian jabatan itu," kata Kapuspen TNI Mayjen Sudrajat kepada TEMPO. Namun, Sudrajat juga memastikan bahwa Cilangkap, markas besar TNI, sudah siap untuk melakukan perguliran jabatan karena pembentukan kabinet itu. Lowongnya satu jabatan puncak akan menarik jabatan di bawahnya. "Kita kan tidak mau terdadak. Sekali lokomotif bergerak, semua gerbong akan bergeser," ujarnya. Alwi Abdurrahman Shihab NAMA pria necis yang suka membawa tasbih ini mulai dikenal khalayak sejak ia aktif mengisi acara bulan Ramadan di salah satu televisi swasta, tahun lalu. Dalam mimbar itulah pria kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan, ini menyosialisasikan ide tentang plularisme antar-agama. Ia mengaku prihatin dengan ketegangan yang timbul dalam hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Hal itulah yang membuat pria 53 tahun ini tertarik mendalami kajian perbandingan agama. Gelar master di bidang teologi dan filsafat diraihnya dari Universitas Al Azhar. Sedangkan gelar doktor dalam bidang filsafat Islam didapatnya dari Universitas Ains Shams. Keduanya di Kairo, Mesir. Sejak berusia 12 tahun, Alwi—bersama Quraish Shihab, abangnya yang ahli tafsir itu—dikirim ke sana untuk belajar. Alwi menjadi anggota International Connections Committee, American Academy of Religion, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat. Kedekatan ayah dua anak ini dengan Nahdlatul Ulama dimulai pada usia 9 tahun, saat ia dikirim belajar ke Pondok Pesantren Darun Nasyi'in, Lawang, Malang, Jawa Timur. Di sinilah ia berkenalan dengan tradisi pesantren NU, yang kelak membawanya dekat dengan sang Ketua Umum, Kiai Abdurrahman Wahid. Ketua PKB dan anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Tengah ini dikenal sebagai pelobi ulung, khususnya dalam menjembatani Gus Dur dan Amien Rais. Dalam kabinet baru, kalau bukan menjadi Menteri Luar Negeri, Alwi akan menempati posisi Kepala Staf Sekretariat Negara, yang akan menjalankan tugas-tugas Menteri-Sekretaris Negara dan Menteri-Sekretaris Kabinet—posisi yang konon diincar Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang. Marzuki Darusman KALAU ditanyakan siapa bintang Partai Golkar selama masa reformasi ini, nama Marzuki Darusman-lah yang akan muncul. Kiki—begitu panggilan akrabnya—adalah tokoh Beringin yang kontroversial sejak dulu kala. Itu bukan hanya karena ia tak pernah mau mengenakan jaket kuning Golkar, tapi juga karena gagasan-gagasan vokalnya yang sempat membuatnya terpental dari DPR pada 1992. Toh, itu tak membuat langkahnya surut. Terbukti, pria 53 tahun ini akhirnya ditarik menjadi salah satu Ketua DPP Golkar. Kiki memang kontroversial. Ketika partai bernomor 33 itu sepakat mencalonkan Bacharuddin Jusuf Habibie dalam rapat pimpinan Mei lalu, ia malah kurang sreg dengan putra Parepare itu. Akibatnya, pria kelahiran Bogor ini tidak hanya dimusuhi oleh sebagian pengurus Golkar yang pro-Habibie. Ia juga diminta mundur dari Partai Beringin karena dianggap keluar dari jalur organisasi. Toh, ia tetap melaju. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ini disebut-sebut akan duduk di posisi Menteri Luar Negeri atau Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia. Ketika dimintai konfirmasi, Kiki hanya tersenyum. "Belum ada yang menghubungi saya," katanya enteng. K.H. Tholhah Hasan DARI deretan kiai Nahdlatul Ulama, Tholhah Hasan termasuk dalam kelompok yang paling dekat dengan Ketua Umum Abdurrahman Wahid. Menjelang hari-H pemilihan presiden, ia dan kelompoknya telah berkumpul di Hotel Acacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, untuk mendoakan keberhasilan Gus Dur—panggilan akrab Abdurrahman "Addakhil" Wahid—ke kursi presiden. Keakraban itu telah terjalin sejak Tholhah mondok di pesantren milik Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, dari 1950 hingga 1956. Pria 63 tahun kelahiran Tuban, Jawa Timur, ini kemudian menempuh pendidikan sarjana di dua tempat sekaligus, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Merdeka, Malang. Ia akhirnya dipercaya sebagai Rektor Universitas Malang selama dua periode hingga 1998 lalu. Dalam susunan kabinet terbaru, pemimpin Pondok Pesantren Ainul Yaqin, Malang, ini disebut-sebut sebagai calon kuat di posisi Menteri Agama. Menurut Tholhah, Gus Dur memang telah mencalonkan dirinya di posisi itu sejak masa Presiden Soeharto. "Toh, tidak pernah kejadian," katanya kepada TEMPO. Meski mengaku belum dihubungi siapa pun, Rais Syuriah PBNU ini mengaku akan mempertimbangkan jika sekarang Gus Dur memintanya kembali. Sebab, katanya, jabatan adalah amanah. "Jika kita tidak mampu, lebih baik jangan menerimanya," ujar Tholhah. H.S. Dillon SOSOK Harbrinderjit Singh Dillon tak sulit dikenali. Serban tradisional India selalu melilit di kepalanya. Kumis tebal melintang di bawah hidungnya yang mancung. Air wajahnya senantiasa cerah manakala ia berbicara tentang pertanian. "Kita tidak akan menjadi bangsa yang kuat selama masyarakat pedesaan masih lemah," katanya. Lahir dari buah perkawinan Partap Singh dan Dhan Kaur—keluarga Sikh yang terpandang di Medan, Sumatra Utara—pada 23 April 1945, sejak bocah, pria keturunan India ini kerap menghela napas menyaksikan saratnya penderitaan yang dipikul para petani, orang desa, dan buruh perkebunan. Padahal, mereka bekerja habis-habisan siang malam. Ironisnya, para administratur dan elite perkebunan mabuk kepayang dan bergelimang harta. Akhirnya, berbekal rekaman masa kecil itu, Dillon, begitu ia biasa dipanggil, bertekad menjadi ahli pertanian. Ia membelot dari jalur bisnis yang biasa digeluti keluarganya. Ia lantas mengambil studi di bidang pertanian. Gelar doktor di bidang pertanian pun dituainya dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, pada 1983. Ide-ide untuk dunia pertanian dari Dillon tak henti-hentinya mengalir, antara lain pendirian Bank BUMN Perkebunan. Muhammad A.S. Hikam PENGAMAT politik dan staf peneliti Pusat Penelitian-Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan LIPI ini dikenal sebagai "oposan" di kantornya. Komentar-komentarnya yang tajam membuat ia dimusuhi banyak pihak. Namun, santri bertubuh tambun ini tak pernah gentar. Budaya kritis bukanlah hal baru baginya. Sejak masih kuliah di Jurusan Sastra Arab Universitas Gadjah Mada, ia terbiasa melakukan perdebatan dengan dosen-dosennya. Dengan disertasi berjudul The State, the Grass Roots Politics and Civil Society, pada 1995, ia berhasil meraih gelar doktor dari Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat. Dalam disertasinya itu, Hikam menuangkan pemikirannya yang mendalam tentang konsep masyarakat madani. Tokoh kelahiran Tuban, Jawa Timur, 26 April 1958, ini dikenal sebagai pengamat politik yang memiliki kedekatan khusus dengan Gus Dur. Dalam setiap kesempatan, Hikam selalu menginterpretasikan secara positif langkah dan sikap Gus Dur yang sering dianggap kontroversial. Agaknya, kedekatannya dengan kalangan NU itulah yang membuatnya dipercaya untuk menduduki posisi sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Tapi posisi Hikam kabarnya sedang pula diperebutkan dengan dua tokoh Muhammadiyah yang dijagokan Ketua Umum PAN Amien Rais: A. Malik Fadjar, bekas Menteri Agama, dan A. Syafi'i Ma'arif, Ketua PP Muhammadiyah. Keduanya juga punya hubungan khusus dengan Gus Dur. Saparinah Sadli ADALAH seorang Saparinah Sadli yang tidak puas dengan cara pandang disiplin psikologi yang sangat patriarkis. Berawal dari ketidakpuasan inilah ia mulai mengembangkan kelompok studi mengenai psikologi perempuan—sebuah kelompok yang membangun sikap emansipatoris dalam dunia psikologi. Agaknya, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini sangat gundah melihat kaumnya selalu menjadi masyarakat kelas dua. "Salah satu contoh yang mencolok, perempuan di ABRI tidak pernah menduduki jabatan strategis. Mereka hanya menduduki peran-peran perempuan," ujar Saparinah suatu ketika. Tokoh kelahiran Tegalsari, Jawa Tengah, 24 Agustus 1927, ini bukanlah wajah baru dalam dunia intelektual Indonesia. Berbagai pemikiran penting telah ia sumbangkan bagi kemajuan dunia akademis. Istri Profesor Doktor Mohammad Sadli, mantan Menteri Pertambangan dan Energi, ini memang tidak lagi terbilang berusia muda. Namun, pengalaman dan kearifannya tentu menjadi pertimbangan Presiden Gus Dur untuk mengangkatnya menjadi Menteri Partisipasi Masyarakat, Pemuda, dan Wanita. Erna Witoelar INSINYUR teknik kimia lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1974 ini sesungguhnya punya nama lengkap Andi Erna Anastasjia Waliono. Lantaran menikah dengan Rachmat Witoelar, teman kuliahnya di ITB dan bekas Duta Besar RI di Rusia yang kini aktif di Barisan Nasional, ia lebih populer dengan nama Erna Witoelar. Ia menjadi orang yang paling bergembira ketika undang-undang tentang perlindungan konsumen disahkan beberapa waktu lalu. Maklumlah, pendiri Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ini sadar betul arti penting advokasi bagi konsumen. "Selama ini, konsumen selalu pada posisi yang dikalahkan. Kepentingan konsumen menjadi hal yang tidak populer," ujar Erna Witoelar. Pada 1991, Erna menjadi orang Indonesia pertama yang dipercaya sebagai Ketua Consumer International (CI), sebuah induk organisasi konsumen dunia yang beranggotakan 220 organisasi konsumen dari 100 negara. Tugas pertama perempuan kelahiran Sulawesi Selatan, 6 Februari 1947, ini adalah menyatukan kembali organisasi dunia yang hampir pecah itu. Ketika dimintai komentar soal pengangkatannya sebagai Menteri Negara Pemukiman Perambah Hutan (versi lain menyebut Menteri Negara Lingkungan Hidup), Erna tidak mau berkomentar banyak. "Saya tahu dari koran. Saya tidak bisa berandai-andai karena belum dihubungi soal pengangkatan ini," katanya kepada TEMPO. Baharuddin Lopa PENAMPILANNYA sederhana. Wajahnya selalu tampak serius. Kalau ia berbicara, intonasinya tegas, apalagi kalau berbicara soal penegakan hukum. Jika memang ia jadi dipromosikan sebagai Jaksa Agung dalam Kabinet Persatuan Nasional, Lopa merupakan figur yang pas. Selain netral, ia pun dikenal sebagai pendekar hukum yang tak pernah pandang bulu. Laki-laki kelahiran Sulawesi Selatan 64 tahun lalu ini memang tidak bisa dilepaskan dari dunia hukum. Nama Lopa mulai berkibar ketika ia menjadi Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman. Sikapnya tanpa tedeng aling-aling. Suatu hari di tahun 1991, Lopa melakukan inspeksi mendadak ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Tak satu pun anak buahnya tahu bahwa ia akan berkunjung ke LP yang dihuni 2.000 terpidana itu. Wajah Lopa berubah menjadi sangat gusar ketika mendapati dua orang sipir sedang asyik bermain catur. "Kenapa main catur pada jam kerja? Main catur nanti kalau ada perlombaan," ujar Lopa ketus. Doktor lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini juga dikenal sebagai tokoh penegak hak asasi manusia. Ketika peristiwa Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996, terjadi, Lopa menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Bersama Munawir Sadzali—Ketua Komnas HAM ketika itu—Lopa menyatakan bahwa dalam peristiwa 27 Juli 1996 telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi ini memiliki banyak pekerjaan rumah yang tidak ringan. Segudang masalah sudah menghadang. Kasus mantan presiden Soeharto dan kasus pemerasan oleh oknum kejaksaan—termasuk pemerasan oleh mantan Jaksa Agung Andi Ghalib—adalah "sebagian kecil" dari tugas yang harus segera dituntaskan. Saat dihubungi di Riyadh, Arab Saudi, Lopa tidak berada di rumah. Ia sedang bertugas ke Mekah. "Pak Amien Rais pernah bilang, kalau reformasi menang, Pak Lopa harus siap-siap. Semua jabatan datangnya dari Allah. Harus kita jalani," ujar istri Baharuddin Lopa. Tjahjo Kumolo IA lahir di "Kota Keraton" Solo pada 1 Desember 1957. Ia lalu pindah ke Semarang pada 1964. Saat masuk SMP Negeri IV, yang letaknya tak begitu jauh dari rumahnya, Tjahjo bertemu dengan Erni Guntarti—gadis tetangga yang akhirnya ia nikahi dan kini memberinya tiga orang anak. Sejak kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, ia mulai aktif di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Ia sempat menjadi reporter di harian Wawasan, Semarang. Karena tugas skripsinya menuntut konsentrasi penuh, tugas kewartawanan itu dilepasnya. Pada 1985, Tjahjo dipercaya menduduki kursi Ketua KNPI Jawa Tengah. Dua tahun kemudian, ia dipromosikan menjadi Sekretaris Jenderal KNPI Pusat. Di Jakarta, Tjahjo mulai mengenal lebih dekat Abdurrahman Wahid, yang kerap diundang menjadi pembicara dalam kegiatan KNPI. Sesekali Tjahjo bertandang ke rumah Gus Dur untuk berdiskusi. Pada 1990, ia terpilih sebagai Ketua Umum KNPI. Ia hijrah ke kandang Banteng—PDI Perjuangan—pada November 1998 dan langsung diberi mandat untuk menempati posisi direktur sumber daya manusia. Jabatan itulah yang membawa Tjahjo lebih dekat dengan Gus Dur. Sebab, beberapa kali Mega memercayainya untuk berkonsultasi dengan penggagas Partai Kebangkitan Bangsa itu. Anggota DPR dari Grobogan, Jawa Tengah, ini diisukan bakal menjadi Menteri Perhubungan. WM, Andari K. Anom, Setiyardi, Henrico L. Wiremmer, Arif Kuswardono, Wens Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus