Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT kuli panggul mengelilingi sebuah truk berukuran sedang yang terparkir di area bongkar-muat Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Selasa pekan lalu. Mereka bergantian menurunkan karung-karung beras berwarna putih dengan cap Perum Bulog. Tumpukan karung itu dibawa ke area gudang. Beras-beras ini berasal dari Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta Utara. Pembelinya tak lain penjual beras di sana.
Beras Bulog menjadi pilihan di Cipinang agar mereka tetap bisa berjualan, meski kualitasnya dinilai lebih rendah ketimbang beras dari daerah lain. "Soalnya pasokan dari daerah makin seret," kata Fendi, salah satu pemilik kios beras di Cipinang. Tak cuma itu. Harga beli beras Bulog masih masuk itung-itungan bisnis para pedagang, yakni Rp 8.800 per kilogram.
Ketua Umum Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang Zulkifli Rasyid membenarkan kabar bahwa para pedagang belakangan menggantungkan hidup pada Bulog. "Harga beras kelas medium dari petani sudah Rp 12.500, kami mau jual berapa ke konsumen?" ujar Zulkifli, Kamis pekan lalu. Kondisi ini, kata dia, terjadi sejak Desember tahun lalu.
Kenaikan harga beras di Cipinang mulai terasa pada awal Januari tahun ini. Pada pekan pertama 2018, harga beras jenis medium sudah mencapai Rp 10.500-11.500. Padahal, pada periode yang sama satu tahun sebelumnya, harga beras jenis serupa masih di kisaran Rp 9.500. Kenaikan ini telah melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditentukan pemerintah dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57 Tahun 2017, yang berlaku sejak September 2017.
Dalam ketentuan itu, HET beras premium dipatok Rp 9.450 per kilogram untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali dan Nusa Tenggara Barat, serta Sulawesi. Sedangkan untuk wilayah lain di Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Timur, HET ditetapkan Rp 9.950 per kilogram. Adapun HET untuk Maluku dan Papua Rp 10.250 per kilogram.
Zulkifli mengatakan penetapan HET tak dapat menahan kenaikan harga beras karena, di tingkat petani dan penggilingan, harga gabah kering juga menanjak. "Sementara pasokan berkurang karena hasil panen di beberapa wilayah tidak sesuai dengan harapan. Ada yang gagal atau kuantitasnya sedikit," ujar Zulkifli.
Penurunan pasokan itu terasa di Cipinang. Biasanya pasar induk menerima kiriman 3.000 ton beras per hari, tapi sudah hampir satu bulan terakhir beras yang masuk rata-rata 2.000 ton per hari. Jumlah sebesar itu, kata Zulkifli, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan wilayah DKI Jakarta.
Kenaikan harga beras di DKI Jakarta tercatat paling tinggi dibandingkan dengan kenaikan di provinsi lain. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional melaporkan, untuk periode 19 Desember 2017-19 Januari 2018, misalnya, harga beras di Ibu Kota melonjak 12,05 persen dari Rp 12.450 menjadi Rp 13.950 per kilogram. Pada periode yang sama, kenaikan harga cukup besar juga terjadi di daerah lumbung padi. Di Jawa Tengah, kenaikan harga mencapai 10,5 persen, sementara di Jawa Barat 9,72 persen.
Kementerian Perdagangan merespons gejolak ini dengan mengimpor 500 ribu ton beras Vietnam. Rencana impor ini diumumkan dua pekan lalu. Semula Kementerian Perdagangan menugasi PT Perusahaan Perdagangan Indonesia. Pemerintah mengoreksi keputusan itu dengan menunjuk Perum Bulog. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan penunjukan Bulog dilakukan agar beras bisa segera masuk, sehingga operasi pasar bisa dilakukan.
Rencana impor mendapat respons berbeda dari banyak kalangan. Zulkifli dan para pedagang termasuk yang mendukung. "Malah kami sudah minta sejak dua bulan lalu," katanya. Menurut dia, para pedagang sudah mengingatkan pemerintah bahwa stok beras terus menipis. Kalau mengandalkan stok beras Bulog yang ada, operasi pasar tidak akan efektif karena kualitas barang rendah. "Kalau beras impor dijamin bagus, masyarakat pasti mau beli."
Suara penolakan impor tak kalah kencang. Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah menyuarakan keberatan. Sudin, Ketua Kelompok Fraksi PDI Perjuangan di Komisi IV, yang antara lain membidangi pertanian, menolak jika beras impor masuk ke Tanah Air pada Februari mendatang. "Ini bertepatan dengan panen raya, yang bakal berlangsung sampai Maret," ujarnya dalam rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen, Kamis pekan lalu. "Kami khawatir beras impor malah mengganggu pasar."
Direktur Pengadaan Perum Bulog Tri Wahyudi menjelaskan, impor dibutuhkan karena stok yang dimiliki Bulog saat ini akan dialokasikan untuk penyaluran beras bantuan sosial dan operasi pasar. "Nanti yang diimpor dijadikan buffer stock (simpanan ekstra)." Saat ini stok beras yang dimiliki Bulog tak lebih dari 900 ribu ton. Menurut Tri, ini sudah masuk kategori tidak aman karena batas amannya 1 juta ton.
Sebetulnya beberapa gudang Bulog di daerah masih memiliki cadangan berlimpah. Salah satunya di Sulawesi Selatan. Sejumlah gudang yang terdapat di wilayah ini menyimpan 82 ribu ton beras. "Masih cukup untuk kebutuhan 16 bulan ke depan," ujar Kepala Perum Bulog Divisi Regional Sulawesi Selatan dan Barat Dindin Syamsuddin, Rabu pekan lalu.
Kelebihan stok ini rencananya dilempar ke enam provinsi, di antaranya DKI Jakarta (10 ribu ton) dan Nusa Tenggara (3.000 ton). Maluku, Jambi, dan Aceh akan memperoleh 2.000 ton, disusul Bali 1.000 ton. "Untuk menstabilkan harga di masing-masing wilayah," kata Dindin.
Salah satu sumber pasokan beras datang dari Nusa Tenggara Barat. Kepala Dinas Pertanian Nusa Tenggara Barat Husnul Fauzi hakulyakin sekitar 114 ribu hektare lahan bakal panen pada bulan ini. Adapun 30 ribu hektare lainnya menyusul panen pada Maret nanti. Ia memproyeksikan panen di wilayahnya bisa menembus 500 ribu ton beras.
Kepala Bulog Divisi Regional Nusa Tenggara Barat Ahmad Makmun mengakui sempat terjadi penurunan stok pada Desember 2017. "Tapi kini stok kami cukup aman," ujarnya. "Sekitar 25 ribu ton di sana cukup untuk lima bulan ke depan." Dia mengklaim Nusa Tenggara Barat masuk lima besar pemasok beras nasional dalam 10 tahun.
Pasokan lain berasal dari Sidrap, Sulawesi Selatan. Kepala Bulog Sub-Divisi Regional Sidrap Muhammad Akbar Said mengatakan mereka tak pernah mengalami kekosongan pasokan. Stoknya saat ini sekitar 47.750 ton. Mereka menyerap beras dari petani di sejumlah kabupaten, antara lain Soppeng, Wajo, Bone, Sidrap, dan Palopo. "Stok kami termasuk paling tinggi di Bulog."
Menurut Akbar, harga pembelian beras dari petani di Sidrap masih terjaga, sekitar Rp 7.300 per kilogram. Harga tersebut merupakan patokan yang ditetapkan pemerintah dalam Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Beras. Namun, di daerah lain, harga pembeliannya sudah di atas patokan harga pembelian pemerintah. "Kami jadi sulit menyerap produksi petani karena harganya sudah di atas Rp 9.000 per kilogram," ujar Tri Wahyudi.
Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti menjelaskan, perusahaan bisa membeli gabah atau beras dengan fleksibilitas harga sebesar 10 persen dari harga pembelian pemerintah. "Untuk tahun ini sudah diputuskan fleksibilitas itu diperpanjang."
Namun, menurut Djarot, harga beras dan gabah di lapangan sudah lebih mahal. Skema tambahan anggaran itu tetap tidak bisa digunakan. Walhasil, beras lokal yang terserap Bulog sepanjang tahun lalu hanya 2,1 juta ton. Angka ini lebih rendah 27 persen ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya, atau sekitar 57 persen dari target 2017.
Praga Utama, Didit Hariyadi (Sidrap), Abdul Latief Apriaman (Mataram)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo