Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Bawah Bayang-bayang

Rasio ketimpangan cenderung turun dalam dua tahun terakhir. Namun pencapaian itu tak diikuti perbaikan perekonomian masyarakat kelas bawah. Daya beli mereka melemah. Gizi buruk pada ibu hamil, bayi, dan anak di bawah lima tahun menyuburkan kemiskinan. Di tengah situasi itu, pertumbuhan kelas atas lebih besar ketimbang kelas bawah. Pertumbuhan ekonomi tidak otomatis mengurangi kemiskinan.

20 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Joko Widodo seperti tak pernah bosan membahas ketimpangan ekonomi. Dalam satu tahun terakhir, ia berkali-kali menyoroti problem kesenjangan. Di Istana Merdeka, Selasa pekan lalu, Jokowi kembali menyampaikan pentingnya langkah pemerintah menekan ketimpangan.

Caranya, menurut Jokowi, dengan mendistribusikan tanah kepada kelompok masyarakat adat dan pondok pesantren serta mempercepat sertifikasi tanah. Dengan mengantongi sertifikat tanah, masyarakat memiliki aset sah. "Ini untuk menurunkan kesenjangan sosial," kata Jokowi.

Pelbagai strategi menurunkan ketimpangan itu ia sampaikan selama dua jam di depan para pemimpin lembaga negara. Di antaranya Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto, dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis. Sejumlah pemimpin Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial hadir dalam pertemuan itu.

Selama pertemuan itu, Jokowi ditemani Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Sekretaris Negara Pratikno, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Selama Jokowi menjabat presiden, tren rasio Gini sebenarnya cenderung menurun. Pada September tahun lalu, rasio Gini menyentuh 0,394. Rasio ini merupakan derajat ketidakmerataan distribusi penduduk. Bila rasio Gini mendekati nol, ketimpangan membaik. Pencapaian tadi tentu jauh lebih baik ketimbang angka pada periode 2000-2014, yang pernah merangkak naik hingga 0,410.

Presiden Jokowi mengklaim, menurunnya rasio Gini berkat penyaluran dana desa dan bergulirnya proyek infrastruktur. Menurut mantan Wali Kota Solo itu, penyaluran dana desa menambah peredaran uang di perdesaan. Adapun proyek infrastruktur, kata Jokowi, berimbas pada penyerapan tenaga kerja. "Ini memperbaiki daya beli masyarakat," ujarnya, Agustus tahun lalu.

Keyakinan Jokowi itu mengacu pada data Badan Pusat Statistik yang memantau perkembangan rasio Gini sejak tujuh tahun lalu. Kepala BPS Suryamin mengatakan penurunan rasio Gini dipicu oleh bertambahnya konsumsi. "Kenaikan konsumsi merefleksikan peningkatan pendapatan," ujarnya.

Di balik kemilau angka statistik tersebut, kondisi di lapangan menunjukkan situasi berkebalikan. Seorang pejabat Istana mengatakan Jokowi mulai percaya bahwa ketimpangan yang terjadi lebih parah ketimbang data statistik di atas kertas. Jokowi tahu persoalan itu setelah Januari lalu disuguhi data baru tentang macetnya proyek infrastruktur dan melemahnya daya beli kelompok pekerja formal. Di kelompok pekerja ini, ada sekitar 47 juta pekerja yang upahnya di bawah upah minimum. Pelemahan daya beli ini memicu gizi buruk pada ibu hamil, bayi, dan anak di bawah lima tahun.

Saat menyuguhkan data tersebut, politikus dari partai politik pendukung pemerintah itu sempat menyinggung peluang Jokowi dalam pemilihan presiden 2019. Ia berpesan agar Jokowi memperbaiki nasib kelompok miskin jika ingin maju kembali sebagai calon presiden. Disinggung soal itu, Jokowi tak berkomentar. "Presiden hanya senyum-senyum." Adapun Johan Budi S.P., juru bicara Presiden, tidak mengetahui pertemuan tersebut. "Saya tidak ada informasi soal itu," katanya.

l l l

LAPORAN ini disusun untuk melihat kondisi ekonomi beragam lapisan masyarakat. Selama menyiapkan laporan ini, kami berdiskusi dengan sejumlah narasumber. Di antaranya Ketua Kelompok Kerja Kebijakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Elan Satriawan, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Denny Puspa Purbasari, dan Muhammad Sabeth Abilawa dari Lembaga Kemanusiaan Dompet Dhuafa.

Adapun Direktur Eksekutif Center of Sustainable Development Goals Studies, Universitas Padjadjaran, Arief Anshory Yusuf, dan Faisal Basri dari Universitas Indonesia membantu Tempo mengupas sejumlah data tentang pemicu ketimpangan ekonomi. Dari data tersebut, selama lebih dari sebulan kami mereportase kawasan pertambangan dan kantong-kantong kemiskinan serta memotret gaya hidup kelas menengah-atas.

Arief Anshory mengatakan turunnya rasio Gini tidak menggambarkan perbaikan ketimpangan. Alasannya, BPS menghitung rasio Gini berdasarkan pengeluaran. Penggunaan data konsumsi dinilai kurang valid karena mengabaikan aset seperti tanah, deposito, rekening tabungan orang kaya, dan utang orang miskin.

Hitungan rasio Gini versi BPS, yang mengacu pada konsumsi, berbeda dengan cara negara lain menghitung tingkat ketidakmerataan, yang menggunakan variabel pendapatan. Cara terakhir itu tidak dilakukan BPS karena lembaga ini tidak memiliki basis data pendapatan.

Tak aneh bila penghitungan BPS menghasilkan angka rasio Gini yang lebih rendah. Jika variabel pendapatan dimasukkan, angka rasio Gini akan berkisar 0,45. "Ketimpangan kita masih tinggi dan sangat parah," ujar Arief.

Faisal Basri setali tiga uang. Menurut dia, rasio Gini menurun akibat pengeluaran 20 persen orang terkaya menurun dalam beberapa tahun terakhir. Adapun konsumsi 40 persen kelompok menengah cenderung naik. Sebaliknya, pengeluaran 40 persen kelompok miskin tidak mengalami kenaikan. Artinya, jarak antara orang kaya dan orang miskin menyusut karena berkurangnya pengeluaran kelompok orang kaya, bukan akibat membaiknya pengeluaran kelompok miskin. "Orang kaya memburuk kekayaannya," ucapnya.

Penurunan pengeluaran kelompok kaya ini, kata dia, akibat bisnis yang lesu. Usaha mereka sempoyongan karena selama ini berbasis komoditas sumber daya alam. Di antaranya batu bara, perkebunan kelapa sawit, dan karet. Harga komoditas kelojotan karena pelemahan ekonomi global.

Sejak awal pemerintahan Jokowi, harga batu bara, misalnya, bertengger pada US$ 68 per ton, dan harganya terus melorot hingga US$ 54. Pada Februari lalu, harga batu bara mulai bisa menembus US$ 100-meski dua pekan belakangan mulai merosot lagi. Situasi ini berbeda dengan periode 2007-2014, saat harga batu bara mencapai puncak, yakni US$ 141-192 per ton.

Anjloknya harga batu bara menggerus pendapatan sekaligus konsumsi pengusaha. Ini terlihat dari lesunya bisnis hiburan malam di kawasan pertambangan. Salah satunya di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, sentra pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan. Di kota ini, ada satu pub dan dua karaoke yang kerap menjadi tujuan pengusaha tambang mencari hiburan malam. Tarifnya mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah sekali masuk.

Puncak ramainya pengunjung terjadi pada 2011-2013. Kala itu, pengusaha banyak menggenggam fulus setelah menikmati gurihnya harga batu bara yang menyentuh US$ 141 per ton. Walhasil, pengunjung tiap malam ramai mendatangi tiga klub malam itu. Empat tahun belakangan, pengunjung menurun drastis. Tempo mengunjungi Pub Friendship pada Sabtu malam tiga pekan lalu. Pub yang berkapasitas 300 orang itu hanya terisi 100 pengunjung. "Ramainya hanya malam Minggu," kata Ardi, penjaga pub. Kelesuan serupa terjadi di beberapa tempat hiburan malam di Samarinda, sentra pertambangan batu bara di Kalimantan Timur.

l l l

TURUNNYA pengeluaran kelompok kaya berkontribusi pada membaiknya angka rasio Gini. Menurut Faisal, pencapaian ini tidak terlalu membanggakan. Alasannya, membaiknya angka rasio Gini tidak diikuti oleh meningkatnya pengeluaran kelompok terbawah. Sebaliknya, di beberapa kantong kemiskinan, daya beli kelompok bawah terus melemah.

Pelemahan daya beli ini mengindikasikan gagalnya sektor pertanian mendongkrak kesejahteraan kelompok bawah. Pertanian menjadi kunci karena mayoritas kelompok miskin bekerja di sektor ini. Faisal mengukurnya lewat nilai tukar petani yang memburuk. Artinya, pendapatan petani tidak mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Dari data rasio Gini terlihat bahwa pengeluaran kelompok terbawah terus menurun pada era Presiden Joko Widodo. Artinya, "Program pemerintah tidak menyentuh kelompok terbawah," katanya.

Berbeda dengan Arief dan Faisal, Ketua Kelompok Kerja Kebijakan TNP2K Elan Satriawan mengatakan perbaikan konsumsi di kelas bawah berkontribusi terhadap penurunan rasio Gini. Ketimpangan tetap terjadi karena pertumbuhan di kelas atas lebih besar ketimbang pertumbuhan kelas bawah. "Yang kaya tumbuh lebih kaya," ujarnya.

Perbedaan laju pertumbuhan antara kelompok kaya dan kelompok miskin menjadi sorotan lembaga kemanusiaan. Berdasarkan observasi lembaganya, Muhammad Sabeth Abilawa, Corporate Secretary Dompet Dhuafa, menyebutkan kemiskinan cenderung awet di kawasan pertambangan seperti Batulicin, Kalimantan Selatan. Hal ini terjadi pula di kawasan sumber minyak dan gas bumi di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Artinya, pertambangan yang menyumbang pada pertumbuhan dan memperkaya segelintir orang tidak menetes ke kelompok yang lebih membutuhkannya.

Dalam pidatonya di seminar bertema ketimpangan ekonomi yang digelar INFID dan Oxfam pada akhir Februari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan ada penurunan kualitas pertumbuhan. Pada 2011-2012, setiap 1 persen pertumbuhan bisa menurunkan kemiskinan 0,106 persen. Namun, pada 2013-2015, setiap 1 persen pertumbuhan hanya menurunkan kemiskinan sebesar 0,033 persen.

Pertumbuhan merupakan salah satu cara mengurangi kemiskinan. Tapi pertumbuhan tidak secara otomatis bisa menciptakan kesetaraan. "Kita perlu mendesain pertumbuhan yang berkualitas agar bisa dinikmati seluruh rakyat," ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Jurang antara kelompok kaya dan kelompok miskin semakin dalam akibat penguasaan aset yang njomplang. Data Credit Suisse menyebutkan satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen total kekayaan. Jika jumlah orang kaya dinaikkan menjadi 10 persen, mereka menguasai 75 persen total kekayaan. Berdasarkan data ini, Indonesia duduk di peringkat keempat terburuk, setelah Rusia, India, dan Thailand. Ini, tentu saja, bukan prestasi yang layak dibanggakan.


Tim Edisi Khusus Ketimpangan
Penanggung jawab: Yandhrie Arvian Pemimpin proyek: Akbar Tri Kurniawan
Penyunting: Jajang Jamaluddin, T.B. Firman Atmakusuma, Nurdin Kalim, Sapto Yunus, Seno Joko Suyono, Setri Yasra, Yandhrie Arvian, Yosep Suprayogi
Penuliss:Agus Supriyanto, Ahmad Nurhasim, Akbar Tri Kurniawan, Amandra Megarani, Ayu Prima Sandi, Gabriel Titiyoga, Linda Trianita, Nur Alfiyah, Rusman Paraqbueq
Penyumbang bahan: Ahmad Fikri (Bandung), Diananta P. Sumedi (Banjarmasin), Dian Yuliastuti (Jakarta), Edi Faisol (Semarang), Firman Hidayat (Samarinda), Khairiyah Fitri (Maluku), Larissa Huda (Jakarta), Rosniawanty Fikry (Kendari)
Periset foto: Jati Mahatmaji
Desainer: Eko Punto Pambudi, Djunaedi, Rudy Asrori, Tri Watno Widodo Editor bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus