Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Deposito Bodong Cap Kansas

Ratusan miliar rupiah duit nasabah Bank BTN dibobol jaringan yang berkomplot dengan orang dalam. Memanfaatkan kelalaian korban.

20 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhir tahun lalu, Polda Metro Jaya membongkar jaringan pembobol BTN. Enam orang menjadi tersangka. Mereka antara lain Kepala Kantor Kas Bank BTN Enggano, Dwi Prasetyo; Kepala Kas Bank BTN Cikeas, Bambang Suparno; pegawai Asuransi Jiwa Mega Indonesia, Didik; pegawai Surya Artha Nusantara Finance, Steven; dan kaki tangan otak pembobolan ini, Sugiyanto.

Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Wahyu Hadiningrat, seorang tersangka lagi bernama Agung Hermianto. "Dia otak dari sindikat ini," ujar Wahyu, Kamis pekan lalu. Saat ini enam tersangka mendekam di ruang tahanan Polda Metro Jaya. Polisi masih memburu dua pelaku yang kabur, yaitu Haryanto Candra dan Arminel.

Modus kejahatan sindikat ini, menurut Wahyu, adalah pemalsuan dokumen penempatan dan penarikan dana nasabah. Bekerja sama dengan orang dalam bank, jaringan pembobol mengubah rekening deposito yang diajukan nasabah menjadi rekening giro yang bisa dicairkan setiap waktu.

Diterungku polisi, keenam tersangka belum bisa dimintai konfirmasi.

Perkara ini terungkap ketika PT Asuransi Umum Mega hendak mencairkan deposito sebesar Rp 8 miliar yang jatuh tempo di Kantor Kas BTN Enggano, Jakarta Utara, Agustus 2016. "Sertifikat yang kami miliki tak tercatat di sistem mereka," kata Direktur Operasional Asuransi Jiwa Mega, Wishnu Priananto. Mereka lalu mengadu ke BTN pusat.

Begitu mendapat laporan tersebut, kantor pusat BTN segera menggelar audit internal. Mencium bau praktek lancung, BTN pun melaporkan perkara ini ke polisi pada akhir Desember 2016. "Kami turut menangkap salah satu pelaku," ucap Maryono.

Dua pekan lalu, Polda Metro Jaya mengirimkan berkas para tersangka ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Polisi menjerat mereka dengan pasal pidana penipuan dan pemalsuan.

l l l

PERTENGAHAN Agustus 2015, Dwi Prasetyo menyambangi kantor pusat Asuransi Mega di Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan. Dwi memperkenalkan diri sebagai Kepala Kantor Kas Enggano. Dia menawarkan produk deposito dengan bunga 8,8-9 persen per tahun di Bank BTN. Kala itu, Dwi datang atas undangan Didik, pegawai asuransi, yang lebih dulu mengenalnya.

Direktur Operasional PT Asuransi Jiwa Mega, Wishnu Priananto, menuturkan, perusahaannya kala itu memang sedang mencari bank untuk menanamkan modal. Perusahaan asuransi ini tak bisa menanamkan semua uang mereka di Bank Mega, yang masih satu jaringan. Soalnya, Bank Indonesia membatasi satu perusahaan hanya boleh menanam modal maksimal 15 persen dari asetnya di sister company. "Asuransi Mega sudah sampai di batas itu," kata Wishnu.

Menurut Wishnu, tawaran bunga 8,8-9 persen masih tergolong normal. Sebab, banyak bank lain yang menjanjikan bunga yang kurang-lebih sama. Setelah membahas tawaran itu secara internal, manajemen Asuransi Mega setuju menanamkan deposito di Bank BTN.

Pada pertemuan kedua, sekitar Oktober 2015, Dwi membawa Agung dan Sugiyanto ke kantor Asuransi Mega. Kali ini Dwi memperkenalkan Agung sebagai petugas marketing Bank BTN. "Agung juga memakai seragam BTN," ujar Wishnu. Sejak itu, pengurusan dokumen pembukaan deposito Asuransi Mega diurus oleh Agung. Berdasarkan hasil penyidikan polisi, menurut Wahyu, formulir yang digunakan Agung dan kawan-kawan asli terbitan BTN.

Agung bolak-balik mendatangi kantor Mega Asuransi untuk mengurus dokumen persyaratan pembukaan rekening. Ia "melayani" calon nasabah dengan strategi jemput bola. Seluruh dokumen persyaratan pembukaan rekening dia antar ke kantor calon nasabah. Karena servis Agung yang "memuaskan", menurut Wahyu, manajemen Asuransi Mega semakin percaya. Mereka pun menyerahkan contoh tanda tangan pemegang kuasa pada spesimen kepada Agung. Dari sinilah babak pemalsuan dimulai.

Berbekal dokumen tersebut, komplotan ini mengubah perintah pembukaan deposito menjadi rekening giro, yang bisa dicairkan sewaktu-waktu. Setelah itu, mereka meminta nasabah menyetorkan uang yang disepakati lewat layanan transfer antarbank. "Nasabah tahunya menyetor ke rekening deposito," kata Wahyu.

Setiap kali nasabah mentransfer dana, Agung dan kawan-kawan memberikan sertifikat penempatan deposito palsu. Menurut Wahyu, sertifikat tersebut bukan keluaran BTN. Komplotan ini mencetak sendiri sertifikat yang mirip dengan terbitan BTN.

Direktur Utama BTN Maryono memastikan sertifikat deposito tersebut palsu. "Pada stempelnya tertulis ’Kansas’. Padahal pada stempel asli di BTN seharusnya ’Kan Kas’," ucap Maryono. "Kan Kas" merujuk pada kantor kas. Kejanggalan lain: pada salah satu sertifikat tertulis tanggal transaksi 31 November. "Tanggal itu tak pernah ada dalam kalender," ujarnya.

Asuransi Jiwa Mega pertama kali menempatkan dana mereka ke Kantor Kas BTN Enggano pada Desember 2015 sebesar Rp 8 miliar. Total jenderal, Asuransi Jiwa Mega menyetor Rp 56 miliar. Adapun PT Asuransi Umum Mega-yang masih bertalian dengan Asuransi Jiwa Mega-menanamkan duit Rp 37,5 miliar, sejak Mei 2016. Semua duit itu digasak komplotan Agung dkk.

Setiap kali uang nasabah masuk ke rekening giro, Agung dkk langsung mengurasnya dan memindahkan ke rekening di bank lain. Pada tahap ini, menurut Wahyu, Haryanto Candra dan Arminel yang banyak berperan. Bekerja dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, polisi menemukan 58 rekening penampung duit hasil membobol giro nasabah. "Semuanya sudah kosong," kata Wahyu. "Jejaknya tak terlacak lagi karena jarak antara pembobolan dan laporan cukup jauh."

Dengan modus serupa, jaringan ini juga membobol dana PT Surya Artha Nusantara-anak usaha Astra Finance-di Kantor Kas BTN Cikeas. Treasury Head Surya Artha Nusantara, David Romagit, menuturkan, tawaran deposito berbunga menggiurkan datang dari Kepala Kantor Kas BTN Cikeas, Bambang Suparno. Pada pertemuan selanjutnya, sama seperti dalam kasus Asuransi Mega, Bambang membawa Agung yang mengaku sebagai petugas marketing BTN.

Surya Artha pertama kali menanamkan uang di deposito bodong pada September 2016. Hingga kasus ini meledak, Surya Artha telah menyetorkan uang Rp 250 miliar. Dari angka tersebut, Rp 110 miliar digasak komplotan Agung. Sedangkan sisanya bisa diselamatkan.

Meski Polda Metro Jaya telah membekuk enam tersangka, nasabah yang menjadi korban rupanya belum puas. Awal Februari lalu, mereka melaporkan kasus ini ke Markas Besar Kepolisian RI. Alasannya, menurut Wishnu, "Kami curiga ada orang kantor pusat yang terlibat." Karena itu, nasabah tak mau penyidikan kasus ini berhenti pada pidana penipuan dan penggelapan. Mereka menginginkan tersangka juga dijerat dengan pasal pidana pencucian uang dan kejahatan perbankan.

Menurut Wishnu, setiap kali mentransfer uang ke BTN, Asuransi Mega selalu mencantumkan keterangan pengiriman. "Kami selalu tulis penempatan deposito, bagaimana bisa ujug-ujug masuk ke giro?" ucap Wishnu. "Kalaupun rekening kami sudah diganti giro, seharusnya ada pemberitahuan."

Sebaliknya, Direktur Utama BTN Maryono menuding nasabah lalai sejak awal. Nasabah seharusnya berhati-hati ketika mendapat tawaran bunga tinggi. Menurut Maryono, BTN tak pernah menawarkan bunga di atas 8 persen. Selanjutnya, nasabah juga kurang waspada ketika proses pembukaan rekening tidak berlangsung di kantor BTN. Kejanggalan lain, menurut Maryono, transfer bunga ke nasabah bukan dari rekening BTN. "Masak iya deposito di BTN tapi bunga dari bank lain?" ujarnya.

Ada pula kejadian yang menurut Maryono menggelikan. Suatu kali komplotan pembobol kelebihan mengirim "bunga deposito". Rupanya, pelaku menagih kelebihan itu. "Mega malah transfer balik ke rekening BTN. Ini kan lucu," kata Maryono.

David Romagit, Treasury Head Surya Artha, menyangkal tidak berpegang pada prinsip kehati-hatian. Ia mengatakan manajemen telah menyambangi Kantor Kas BTN Cikeas ketika mengurus rekening. Surya Artha tak menaruh curiga lantaran Bambang tercatat sebagai pejabat bank tersebut. Apalagi, menurut David, salah satu sister company Surya Artha sebelumnya menanamkan deposito di tempat yang sama.

David justru menuding lemahnya kontrol sistem perbankan di BTN sebagai pangkal persoalan. Normalnya, menurut dia, penarikan dana di tingkat kantor kas tak boleh melebihi Rp 200 juta. Gugus tugas tim anti-pencucian uang di setiap bank semestinya langsung menyetop transaksi ketika mendeteksi kejanggalan. "Masak, uang Rp 50 miliar yang masuk dan keluar dalam waktu singkat tak terpantau?" ujarnya.

Markas Besar Polri akhirnya turun gunung menyelidiki perkara ini. Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Brigadir Jenderal Agung Setya mengatakan penyidiknya sudah meminjam para tersangka untuk diperiksa. "Saya tak ingin setengah-setengah," kata Agung. "Harus tuntas sampai akarnya."

Riky Ferdianto | Syailendra Persada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus