Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH kantor nomor C1 di kompleks Royal Palace, Tebet, Jakarta Selatan, itu terkunci rapat. Dua surat tagihan air dari PT PAM Lyonnaise Jaya terselip di sela terali pintu bergembok. Satu surat, yang tampak baru dicetak, untuk tagihan Maret 2017. Satunya lagi, berwarna kekuningan, untuk tagihan Februari. "Kantor tutup sekitar setahun lalu," kata Warsito, petugas keamanan pertokoan, Jumat pekan lalu.
Bangunan empat lantai itu dulu kantor PT Rockit Adelway, yang bergerak di bidang penyediaan batu split. Polisi menangkap Harry Suganda, pemilik perusahaan itu, pada 23 Februari lalu. "Dia menggunakan dokumen palsu ketika mengajukan kredit," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI Brigadir Jenderal Agung Setya, Selasa pekan lalu. Polisi menjerat Harry dengan pasal pidana penipuan, pemalsuan, kejahatan perbankan, dan pencucian uang.
Sebanyak 99 persen saham PT Rockit, yang berdiri pada 2009, dimiliki Harry. Istrinya, Dewi Suganda, hanya memegang saham 1 persen. Sejumlah perusahaan tambang besar tercatat pernah memakai jasa perusahaan ini. Salah satunya Adaro Energi. Pada 2015, dengan alasan bisnisnya sedang maju, Rockit mengajukan kredit ke sejumlah bank, termasuk Mandiri.
Semula, PT Rockit mengajukan kredit Rp 145 miliar ke Mandiri untuk melunasi utangnya ke BCA. PT Rockit menyodorkan agunan berupa sertifikat enam bidang lahan dan bangunan di Jakarta Selatan. Menurut Sekretaris Perusahaan PT Bank Mandiri Rohan Hafas, semua agunan atas nama Harry Suganda. Bank menaksir agunan itu bernilai Rp 70 miliar.
Rockit kemudian mengajukan kredit modal kerja sebesar Rp 105 miliar. Untuk kredit ini, kata Rohan, Rockit menjaminkan enam bidang lahan dan bangunan yang nilainya sekitar Rp 80 miliar. Ada juga agunan berupa piutang usaha dan jaminan pribadi Harry Suganda. Rockit juga melampirkan pesanan pembelian (purchase order) batu split dari sepuluh perusahaan dan individu.
Sesuai dengan prosedur, menurut Rohan, Mandiri mengecek reputasi Rockit melalui Sistem Informasi Debitur. Sistem ini bisa mengenali kredit dan omzet seseorang atau perusahaan. Dari pengecekan itu diketahui bahwa Rockit punya kredit di sejumlah bank, seperti BCA, HSBC, dan BNI. "Di sistem Bank Indonesia itu, aktivitas cicilannya lancar dan tak masuk daftar hitam," ujarnya.
Bank Mandiri juga memeriksa sepuluh purchase order yang dijaminkan Rockit. Kala itu, menurut Rohan, petugas yang memeriksa bernama Dion Amalia, seorang account officer. Dion membubuhkan paraf yang menandakan dia sudah mengecek perusahaan yang mengeluarkannya. Selanjutnya, bagian administrasi kredit meminta konfirmasi dengan menghubungi nama dan nomor kontak dalam dokumen itu.
Sembilan bulan setelah kredit dari Mandiri mengucur pada 16 Februari 2015, menurut Rohan, semuanya tampak baik-baik saja. Pada kurun itu, Rockit rutin membayar angsuran. Mandiri baru membaca keganjilan ketika Harry mengajukan penetapan pailit ke pengadilan pada pertengahan Desember 2015. "Ketika kredit berjalan lancar, kenapa tiba-tiba mengajukan pailit? Ada apa?" kata Rohan.
Selama periode "lancar bayar" itu, menurut Agung Setya, PT Rockit juga mendapat kucuran kredit dari sejumlah bank lain. Sampai November 2015, Harry mencairkan kredit sebesar Rp 836 miliar dari tujuh bank. Ketujuh bank itu adalah Bank Mandiri, Bank Commonwealth, Bank Muamalat, HSBC Indonesia, BNI, Bank Ekonomi Raharja, dan Bank QNB Kesawan. Kredit paling besar berasal dari Mandiri, yakni Rp 249,7 miliar.
Kuasa hukum PT Rockit, Samuel Goklas, menuturkan Harry menemui dia pada akhir November 2015. Kala itu, Harry menyatakan tak sanggup membayar utang ke berbagai bank. Namun Samuel mengaku tak tahu dari mana saja kliennya mendapat kredit.
Samuel memberi tahu Harry bahwa dia punya dua pilihan: mengajukan kepailitan atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Dua opsi itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. "Saya menyarankan PKPU karena ada harapan untuk bisa melanjutkan bisnisnya," ujar Samuel, Kamis pekan lalu.
Ketika sidang permohonan pailit digelar, Mandiri melakukan penyelidikan mendalam. Tim investigasi bank itu kembali menguji keaslian sepuluh purchase order yang dijaminkan PT Rockit. "Setelah dobel teliti, ternyata palsu," kata Rohan. Penyelidikan Bank Mandiri juga menemukan indikasi kuat bahwa pegawai bank pelat merah itu terlibat dalam skandal ini.
Menurut Rohan, Dion seharusnya mendatangi kantor penerbit purchase order. "Dia membuat laporan pengecekan, tapi itu tak dilaksanakan." Tim investigasi Mandiri, menurut Rohan, juga menemukan aliran dana dari Rockit kepada Dion.
Agung Setya membenarkan adanya aliran dana tersebut. Menurut penelusuran polisi, Dion diduga menerima uang Rp 700 juta dari Rockit. Karena itu, bersamaan dengan penangkapan Harry, polisi menangkap Dion.
Berada dalam tahanan polisi, Dion tak bisa dimintai konfirmasi.
Polisi juga sudah mengecek perusahaan yang "dicatut" sebagai penerbit sepuluh purchase order, yakni PT Servo Lintas Raya, PT Petrosea, PT Cakrawala Sejahtera Sejati, PT Adaro Indonesia, PT Balfour Beatty Sakti, PT Gajah Tunggal, CV Tamara Bakti usaha, CV Tradindo Megah Lestari, Dicki Hermawan, dan Agustinus Dhae Wea. "Mereka mengaku tak mengeluarkan dokumen itu," ujar Agung.
Menurut Agung, Harry tahu betul bagaimana cara kerja bank. Dokumen purchase order pasti dicek ke lapangan. Harry bisa lolos dari tahap ini karena menyuap account officer Bank Mandiri. Untuk menyiasati konfirmasi melalui telepon oleh petugas administrasi kredit, Harry menyertakan nama dan nomor telepon orang kepercayaannya dalam dokumen purchase order. "Ketika ditelepon, orang itu mengkonfirmasi bahwa purchase order benar."
Dalam sidang pailit juga terungkap bahwa pemilik tagihan terhadap Rockit bukan hanya tujuh bank. Total ada 32 pihak yang mengaku memiliki piutang, yang sebagian tak diketahui Mandiri. Salah satu perusahaan yang mengklaim sebagai pemilik tagihan besar adalah PT Trillium Global Pte Ltd. Perusahaan yang beralamat di Singapura itu mengklaim punya tagihan US$ 70 juta. "Kami mempertanyakan, siapa kreditor itu," kata Rohan. Dari penelusuran polisi kemudian diketahui bahwa Trillium Global Pte Ltd adalah perusahaan yang didirikan Harry. "Itu perusahaan milik dia," ujar Agung.
Setelah hakim menyatakan PT Rockit pailit pada 11 Februari 2016, Mandiri melaporkan kasus ini ke Otoritas Jasa Keuangan. Setelah itu, Mandiri juga melaporkan perkara ini ke Badan Reserse Kriminal Polri.
Rohan menyebutkan Mandiri telah menjadi korban "mafia kredit" yang merencanakan kejahatan dengan sangat rapi. Mandiri memang masih memegang 12 aset yang diagunkan Rockit. Namun Mandiri mungkin sulit melelang aset itu karena terganjal status Rockit yang pailit. "Dia (Harry) ingin mengamankan aset dengan cara pailit itu," kata Rohan.
Polisi, menurut Agung Setya, punya kecurigaan yang sama. Dengan status pailit, Rockit wajib membayar utang ke pihak ketiga dengan semua aset yang dimilikinya. Harry diduga menyiapkan skenario khusus dengan mendirikan Trillium Global di Singapura. Perusahaan itu kemudian mengklaim seolah-olah punya piutang sekitar Rp 1 triliun pada Rockit. "Dengan skema seperti itu, aset yang diagunkan nantinya kembali lagi ke dia," ujar Agung.
Samuel Goklas menolak bila langkah kliennya mengajukan pailit dianggap sebagai siasat menggangsir kredit. Ia berkukuh kliennya mendapatkan kredit karena memberikan jaminan yang bagus berupa lahan dan bangunan di Jakarta Selatan. "Kepailitan itu hak yang diberikan undang-undang," kata Samuel. Mengenai siapa pemilik perusahaan Trillium Global, "Saya tak tahu soal itu."
Berbeda dengan klaim Samuel, menurut Agung Setya, Harry justru memakai aset yang masih dalam sengketa sebagai jaminan. Fakta bahwa Harry memakai purchase order palsu dan menyuap petugas bank, kata Agung, memperkuat indikasi niat jahat.
Polisi terus mengusut kemungkinan modus kejahatan dan jaringan Harry berkaitan dengan masa lalu dia. "Dia itu bekas pegawai bank," ujar Agung. Menurut penelusuran polisi, pria kelahiran Jakarta 43 tahun silam ini pernah bekerja sebagai Foreign Exchange Dealer Treasury Department di HSBC Markets pada 1996-1997. "Kami masih mendalami keterlibatan pelaku lainnya," ujar Agung.
Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Irwan Lubis mengatakan kasus Rockit ini bukan buah dari lemahnya pengawasan kredit perbankan. Menurut dia, kasus ini terjadi akibat persekongkolan debitor dan "orang dalam" bank. "Kalau ada kolusi, secanggih apa pun infrastruktur kredit, pasti bisa bobol. Itu hukum alam," ujar Irwan, Rabu pekan lalu.
Abdul Manan | Rezki Alvionitasari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo