Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di mana-mana banjir

Beberapa daerah di ja-teng dilanda banjir. penduduk mengungsi, dan kekurangan air minum. mengalir bantuan kebanyakan penduduk enggan transmigrasi.

14 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN yang turun terus menerus hari 2 malam sejak 21 Januari kemarin, menambah jumlah air yang menggenangi kota Semarang sejak 2 hari sebelumnya. Lima kecamatan di Kotamadya Semarang pun rata dilanda banjir. Hingga tak kurang dari 12.000 jiwa harus meninggalkan rumahnya yang kemasukan air setinggi sampai 2 meter. Dan penderitaan penduduk makin bertambah karena rusaknya instalasi air minum di tepi Kaligarang. Hingga rakyat yang kelebihan air karena banjir, jadi sebaliknya kekurangan air minum. Juga tak kurang dari 23 ribu jiwa yang biasa menerima 60 ribu meter kubik air ledeng jadi kelabakan karena pecahnya pipa di Wungkalkasab lantaran ketiban tanah longsor. Yang lebih parah ialah penderitaan penduduk di kawasan antara Semarang-Pekalongam Desa Mangkang-wetan Kecamatan Tugu Kabupaten Kendal, 15 kilometer dari Semarang, tergenang air. Harta kekayaan 3908 jiwa pun dihanyutkan air. Bantuan datang dari Residen Semarang berupa uang Rp 300 ribu, yang oleh Kepala Desa M. Hartono tak langsung dibagikan, karena dirasanya kurang tepat. Tapi sang kepala desa mengambil kebijaksanaan lain dengan menyediakan beras 1,6 ton dan membeli ketela 1 ton untuk dibagi-bagikan. "Siapa yang harus membayar, belum terfikirkan. Yang penting penduduk dapat bantuan", katanya. Dan atas inisiatif Tan Tjong Pik dan Oom Lok dibuka dapur umum untuk memasak beras yang terendam air sekedar untuk sarapan para pengungsi. Sementara Terjamin Dihitung-hitung seluruh kerugian akibat muntahnya sungai kecil Bringin selama 6 jam pada 22 Januari itu cukup berat juga: 25 rumah roboh di antaranya sebanyak 12 hanyut dan 90 rumah rusak. Dan pondok pesantren Luhur hanyut dan hanya tinggal fondasinya. Juga tambak ikan seluas 164 hektar tergenang dan menimbulkan kerugian sekitar Rp 7 juta. Dan 26 ton pupuk Pusri berikut 100 liter obatnya yang masih di dalam gudang BUUD desa amblas. Untuk sekedar meringankan kerugian, uang bantuan residen Semarang tadi, Rp 100 ribu diserahlan kepada pesantren sedang sisanya dibelikan beras lalu dibagikan kepad para korban. Sayang, sampai Minggu 25 Januari pak Bupati setempat belum sempat melongok yang terkena musibah. "Mungkin terhalang genangan air dekat Gambilangu", tutur Hartono agak lesu. Ternyata air juga menggerayangi daerah Demak. Mengakibatkan lalu lintas antara Semarang dan Surabaya jadi macet. Dan pasar serta stasiun KA Sayung yang biasanya tak terendam, kali ini sudah berubah jadi pangkalan perahu biduk dan rakit batang pisang. Dua puluh ribu jiwa pun terpaksa mengungsi. Sedang orang-orang yang dalam perjalanan menuju Kudus dari Semarang, sesampainya di Sayung, mesti naik batang pisang dengan membayar Rp 100 per kilometernya. Untuk mengunjungi desa-desa perlu sedia uang cukup banyak karena jarak antar desa sedikitnya 5 kilometer. Sampai Minggu 5 Jnuari, Sayung masih terendam air sedalam setengah meter. Bis-bis belum berani jalan dari Demak sampai Kudus. Sementara yang akan menuju Demak dari Buyaran tak tersedia kendaraan bermotor. Meski sudah berpayah-payah dengan perahu dari desa Daleman sampai Buyaran. Gedung-gedung di kota Demak ramai diserbu pengungsi. Sedikitnya 1000 jiwa. Syukurlah Bupati segera mengirim bekas 4 kwintal dan uang Rp 50 ribu. Juga dari Gubernur Jateng ada sumbangan sebesar Rp 2 juta dan 1 ton beras dari Pertiwi Jateng. Tentu saja Pemda Demak sendiri tak ketinggalan mendrop 20 ton beras. Sedang sumbangan Residen Semarang berupa uang sebesar Rp 300 ribu. "Banjir kali ini memang luar biasa, mas", tutur seorang pengungsi. "Tapi kami sudah terbiasa. Dan memang sudah siap-siap menghadapinya". Dan konon bagi kebanyakan mereka banjir merupakan hikmah. Karena dengan begitu justru, katanya, hidupnya sementara jadi "terjamin", berkat mengalirnya bantuan. Karena memang kebanyakan mereka hidupnya sehari-hari melarat, tapi tetap enggan bertransmigrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus