KAWASAN Teluk Cendrawasih, Kabupaten Biak ternyata masuk daerah
paling maju di seluruh Irian Jaya. "Seratus persen sudah
mengenal pakaian", tutur Hendrik Wiradinata, Bupati Teluk
Cendrawasih. Tentu saja Hendrik tak perlu menuturkan bahwa di
pedalamannya penduduk masih belum mengerti uang, dagang atau
bercocok tanam. Apalagi berbahasa Indonesia. Dan kebanyakan
masih senang memilih hidup bak Tarzan dan berpindah-pindah.
Meski rata-rata tak lagi bersifat buas dan primitif.
Dan sebagai kota terminal, Biak jadi tempat lalu lintas berbagai
jenis pesawat terbang. Ke segala jurusan. Dan meski belum punya
bangunan bertingkat mungkin karena belum diizinkan --
pembangunan dan penataan kota lumayan menakjubkan. Model
rumah-rumah di sana mengikuti contoh dari pemerintah.
Taksi-taksi ke segala jurusan bertarif sama, Rp 50 per orang.
Tersedia pula terminalnya. Dan kotanya bersih dari gelandangan.
Bagaimana pelacuran? Ini "surga hitam" selalu saja ada di
mana-mana. Juga di Biak, meski kebanyakan pendatang, toh
penduduk asli tak kurang. Kabarnya sih, cuma karena kena
iming-iming lembaran puluhan ribu. Dan lokasinya yang cuma
beberapa ratus meter dari pelabuhan, kabarnya akan dihijrahkan.
Tak jelas ke mana. Yang pasti di sana dianggap kurang pada
tempatnya. Karena termasuk jalur lalu lintas kendaraan dinas
para pejabat ke dan dari Kowilhan IV.
Yang juga lumayan jempolan ialah jalan-jalan kotanya. Wajar,
karena batu karang buat fundasi sudah disediakan alam (kawasan
Teluk Cendrawasih penuh berbatu karang). Jadi tinggal gusur dan
mengaspal saja. Sejak 1973 sudah ada jalan tembus sampai Biak
Utara Memang dulu pun sudah akan jalan. Tapi cuma buat jalan
kaki. Sekarang rata-rata meter lebarnya, sesuai by pass. Ini
memberi rahmat buat para petani. Karena dengan taksi dan bis
dari Kecamatan Korem ke Biak yang 45 kilometer itu dengan mudah
mereka mengangkut sayur mayur yang mereka garap. Pendapatan
petani pun meningkat, hingga gairah bercocok tanam pun meninggi.
Aspal
Ada cerita kurang sedap perihal itu jalan. Dimulai sejak Menteri
PUTL berkunjung ke sana di bulan Juli 1974. Pak Menteri menilai
pekerjaan Bupati itu sebagai positif. Dan karena dilihatnya
belum beraspal, maka Menteri kontan menurunkan perintah mendrop
10.000 ton aspal Butas. Tapi anehnya sarmpai 1976 ini,bantuan
aspal itu yang sampai ke sana cuma tak lebih 2700 ton. Di mana
sisanya? Bupati Hendrik cuma geleng kepala waktu ditanya.
"Pokoknya 2700 ton tok. Yang 7300 ton pasti belum sampai ke
Biak' katanya. Sudah diurus? "Sudah", jawabnya. "Tentu dengan
surat. Tapi belum nyampai-nyampai juga". "Pasti pak Sutami
mengira jalan ini sudah jadi betul-betul berkat bantuan itu",
tutur Bupati lagi. "Bayangkan sudah 2 tahun, Karena itu daripada
menunggu-nunggu kami kerjakan dulu yang ada. Tahap demi tahap.
Pertahap 3 Km". Dan beruntunglah sang Bupati. Karena rakyat di
tepi jalan yang hidup beranak-pinak di pohon-pohon
beramai-ramai turun ke tepi jalan dan membangun rumah di sana.
Meskipun ini menambah kerepotan sang Bupati, tentunya cukup
menggembirakan. Maka tak segan-segan bantuan pun diberikan
berupa seng dan paku. Sedang kayu cukup mereka sendiri yang
menebang di hutan-hutan. Maka lahirlah desa-desa di sepanjang
tepi jalan. Ada yang bernama Warsamsam, Sarwon dan Warkiwon. Dan
terus berkembang. Hingga selain bertani sayur mayur, ketela
pohon, jagung dan talas, mereka juga tak lupa menyekolahkan
anak-anaknya. SD Inpres pun berdirilah di sana. Di samping juga
SD hasil swadaya mereka.
Tapi sang Bupati tak hanya ingat perkara jalan, juga perumahan
pegawai "Coba lihat di sana", katanya sambil menunjuk daerah
Samofa, "60 rumah @ Rp 2 juta itu untuk karyawan pemda". Dan
tindakan ini diteladani Camat Korem yang membangun perumahan
buat karyawannya. Dan rakyat pun menguntit di belakang. 40
rumah berdiri pula di bagian barat perumahan karyawan pemda
tingkat kabupaten. Tentu saja Bupati membantunya dengan seng dan
paku, seperti yang diberikan kepada rumah-rumah di tepi jalan
Korem - Biak.
Yang masih mengganjel perasan penduduk ialah soal tempat
rekreasi. Yang ada cuma bioskop, klab malam, pertokoan atau
pasar. Penduduk kebanyakan kurang suka atau jadi bosan dengan
tempat-tempat seperti itu. Hingga kebanyakan, jam 20.00
pintu-pintu rumah sudah tutup. Dan penghuninya tarik selimut.
Tidur sampai pagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini