Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Minggir, minggir ke laut

Akibat wereng penduduk kecamatan kediri, bali, pindah ke kecamatan kerambitan dengan mengubah mata pencahariannya menjadi petani laut/menangkap ikan dan membuat garam. (lk)

14 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Kecaman Kediri, laut terlalu ganas untuk dijadikan tumpuan harapan. Karang yang menjulang tinggi tidak memungkinkan untuk tempat mengalihkan usaha, membuat garam misalnya. Juga di Tanah Lot, yang jadi obyek pariwisata, tidak terlalu menguntungkan untuk obyek baru bagi petani desa sekitar itu. Cuma anak-anak kecil semakin banyak beroperasi sebagai penjual barang-barang kerajinan. Maka beberapa desa di Kecamatan Kerambitan seperti Kelating, Pasut atau Desa Yeh Ganggang Kecamatan Tabanan, boleh dibilang laut tempat tumpuan terakhir dari kemelut serangan wereng ini. Laut mulai diserbu para petani yang sebelumnya tak punya keahlian apa-apa soal laut. Di Pantai Kelanting misalnya, pondok-pondok darurat didirikan dan petani yang hijrah itu mulai usaha baru, membuat garam. Penggaraman dengan alat-alat yang keliwat tradisionil itu juga tak banyak menuntut tenaga, cuma siram dan jemur pasir,dan karenanya tugas itu dilimpahkan pada kaum wanita atau anak-anak. Sementara sang bapak mencebur ke laut menangkap ikan, walaupun lebih sering sia-sia karena memang tak punya keahlian dan alatnyapun cuma jala yang biasa dipakai di sungai. "Ketimbang merenung, pekerjaan begini masih bisa menghilangkan lapar,yang penting sibuk", kata Pan Sigra di pantai Kelating. Usaha untuk menyerbu laut juga mendatangkan problim yang tak kalah ruwetnya. Di Kelating saja misalnya, ketika padi di sawah masih dibanggakan hasilnya, 11 KK yang bergerak di bidang penggaraman juga cukup berbangga. Tapi kini dengan makin banyaknya petani berharap pada laut, terdapat 55 KK yang mengusahakan penggaraman. Akibatnya pantai yang tidak begitu luas karena ada muara sungai dan karang harus dibagi 55 petak untuk menentukan batas penjemuran pasir. Praktis petak penjemuran pasir terlalu kecil yang mengakibatkan pula pengusaha-pengusaha garam ini kekurangan pasir. Padahal dalam penggaraman tradisionil ini pasir adalah bahan baku utama di samping air laut. Datangnya penghuni baru di pantai tidak begitu saja disambut dengan tangan terbuka oleh pendatang sebelumnya, sebab sangat terasa mempengaruhi produksi garam per KK. Namun bagi Biyang Sadikel yang anaknya berumur 2 1/2 tahun dan 1 1/2 tahun menganggap biasa saja. "Waktu ada pembagian beras, saya juga terima 7 kg", katanya, "walaupun saya tak punya sawah". Barangkali dengan alasan seperti ini membuat 55 KK penghuni pantai Kelating seperti hidup rukun, dan merasa bahwa mereka seluruhnya -- termasuk yang 11 KK tadinya -- sebagai korban utama keganasan wereng. Hingga seluruhnya merasa berhak menuntut bagian kalau droping beras tiba. Sementara sawah diserang wereng, lautpun tidak selalu jinak. Dalam air pasang praktis pengusaha garam ini tak bisa berbuat apa-apa. Pantai untuk menjemur pasir tertelan laut. Bukan itu saja, kalau air surut, artinya pantai bisa dipergunakan, hujan yang turunnya sering akhir-akhir ini juga rintangan utama. Maka jangan heran kalau dalam seminggu, pengusaha garam di pantai Kelating bekerja tak lebih dari 3 hari. Itupun kalau ada kayu api kering untuk memasak air yang mengandung kadar garam untuk dijadikan garam hingga siap diambil "tengkulak garam". Ni Lemog bercerita, kalau dulu semasih 11 KK, kesempatan menjemur pasir 1 hari saja sudah bisa diproses 4 kali -- dengan jalan pasir yang kering ditimbun dan ditutupi jerami. Sekarang tentu berbeda, karena petak jemuran diperkecil, dibagi 55 buah. Sekali jemur pasir untuk sekali proses. Dari sini didapat 2 belek -- sekitar 30 liter air yang siap dimasak. Mereka sebut air sari. Mengetahui air sari ini dengan jalan memasukkan buah kemiri ke air, kalau tenggelam mereka saring lagi -- namanya masih "air kabar", kalau kemiri mengandung pertanda air sari yang mengandung kadar garam. Air ari yang 2 blek itu dimasak 14 jam non stop untuk mendapatkan 1 blek kecil garam, dijual dengan harga Rp 200 sampai Rp 300. Kalau seminggu mereka kerja rata-rata 3 kali -- dalam musim hujan ini -- maka penghasilannya cuma Rp 600 per minggu untuk kehidupan paling minim 4 perut tiap KK. Harga beras sudah mencapai Rp 155 per kg, Maka bisa dibayangkan bagaimana pahitnya hidup mereka. "Kami yang tua-tua 3 hari tak kena nasi tidak apa-apa, cukup ketela. Tapi anak-anak nasinya dicampur ketela" ujar Biyang Sadikel. Penghuni lain mengatakan, campuran nasi dan ketela termasuk makanan hebat, dibanding bulung laut (agar-agar) tanpa nasi. Sedangkan Pan Sigra yang punya 3 anak ketika ditanya tidak berkomentar banyak. "Jangan tanya soal makanan kami, bapak kan sudah tahu", katanya sambil menunjuk ke arah pohon pepaya yang sudah dicercah untuk dicari "hatinya". Hari-hari lelakangan ini hanya itu menu keluarganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus