KAWASAN Pasar Pagi, Jakarta Kota, selalu hingar bingar itu,
Senin pagi 20 September tampak makin hiruk pikuk. Meskipun
mereka tak berjualan. Karena para pedagang grosir yang menempati
bangunan memanjang di seberang kompleks Pasar Pagi bertingkat
empat itu, ramai berkerumun dan menggerutu di luar kios mereka.
Sejak Minggu petang, 597 kios yang mendekam di bekas rel-rel dan
halte trem itu sudah disegel PD Pasar Jaya.
Keresahan menyelimuti sekitar 1500 pedagang dan kuli-kuli angkut
yang biasa menghiruk-pikuki pusat perdagangan pecinan itu. Dan
persoalannya selain menambah kesibukan Gubernur DKI
Tjokropranolo dan Dirut PD Pasar Jaya Wirjadi SH, juga
merepotkan Lembaga Bantuan Hukum. Sebab bisa diduga peristiwa
itu melahirkan rupa-rupa akibat. "Diperkirakan 1500 tenaga kerja
dengan tanggungan keluarga 5000 orang, menerima akibat
penyegelan tersebut," tutur Adnan Buyung Nasution SH, Ketua LBH
DKI yang langsung ditunjuk para pedagang membereskan perkara
itu.
Menurut Buyung selain mengakibatkan lumpuhnya penyaluran
hasil-hasil produksi yang biasa lewat Pasar Pagi dan pengaruhnya
di bidang keuangan juga dikhawatirkan menurunnya keamanan di
kawasan tersebut. Yang terakhir ini dipandangnya sebagai lebih
negatif ketimbang akibat lainnya. "Sebaiknya para pedagang
diperbolehkan melakukan kegiatannya kembali. Agar akibat dan
aspek negatif tidak kian parah," ucap Buyung seperti dikutip
berbagai koran dua hari kemudian.
3 Tahun Saja
Ceritanya bermula lebih sepuluh tahun lalu. Waktu itu sekitar
tahun 1967, seorang kontraktor yang sudah mendapat izin Pemda
DKI, selesai membangun 597 kios di kawasan yang kemudian populer
sebagai Los Atom dan Los Mini itu. Dengan menyetor Rp 200 ribu
per kios para pedagang yang kebanyakan pedagang grosir barang
kosmetik dan hiasan (seperti arloji, vulpen itu) bisa menempati
kios-kios tersebut. Tentu saja memakai perjanjian. Dan
perjanjian bertanggal 26 Oktober 1967 antara para pedagang dan
Pemda DKI (PD Pasar Jaya) yang diwakili Suhadi, Dirut Pasar Jaya
(waktu itu) menyebut antara lain "masa sepuluh tahun" sebagai
jangka waktu kontrak pinjam pakai. Ini berarti akhir 1977 lalu
jangka waktu itu lewat sudah.
Tentu saja para pedagang perlu memperpanjangnya. Melalui wakil
mereka yaitu Mong Kian Boen, Lie Siao Fong dan Ling Eang Kiu,
para pedagang mengajukan perpanjangan. Surat permohonan
bertanggal 24 Pebruari 1978 itu ditujukan kepada Dirut PD Pasar
Jaya. Pihak PD Pasar Jaya mengabulkan. Untuk selama 3 tahun
lagi, dengan perjanjian kontrak pinjam pakai (KPP) baru.
Perjanjian ini antara lain mencantumkan syarat, "setelah habis
KPP tiga tahun, mereka harus meninggalkan tempat tersebut tanpa
ganti rugi apa pun."Mereka juga wajib membayar uang kontrak Rp
900 ribu, yang boleh dicicil selama 6 bulan mulai Agustus 1978.
Tapi sampai awal September, tak seorang pun yang sudi meneken
kontrak baru dan membayar uang kontrak. Rupanya para pedagang
merasa keberatan terhadap syarat-syarat baru yang tercantum di
sana. Tapi mereka diam. Hingga memaksa Gubernur Tjokropranolo
memerintahkan Pasar Jaya mengambil tindakan administratif berupa
penyegelan, pengalihan dan lainnya. Perintah ini keluar awal
September. Berdasarkan itu penyegelan dilaksanakan 19 September
tadi.
"Kurang bijaksana," komentar Adnan Buyung SH. "Lebih menunjukkan
aspek kekerasan." Tapi "itu dilakukan setelah diberi peringatan
3 kali 24 jam, agar pedagang memenuhi peraturan yang sudah
diedarkan. Tapi tak digubris," tukas Wirjadi SH Dirut PD Pasar
Jaya yang baru. Maksud Wirjadi tentunya pemenuhan iuran yang Rp
900 ribu itu. Menurut seorang pedagang disana bukan soal iuran.
Tapi pasal peraturan yang menyebutkan "jangka waktu tiga tahun"
dan "harus meninggalkan tempat tanpa ganti rugi apapun." Kata
seorang pedagang lainnya, "kan jadi sia-sia itu uang Rp 900
ribu." "Kalau mau digusur musti jelas ke mana kita orang musti
pindah," ucap seorang encek yang duduk termangu di atas peti
bekas di antara kerumunan engkoh-engkoh lainnya.
"Keberatan mereka wajar saja," jawab Wirjadi kepada Bambang
Bujono dari TEMPO. "Tapi tak ada ketentuan yan menyebutkan
Pasar Jaya harus menjamin atau menampung para pedagang itu."
Menurutnya, masalah itu bukan urusannya, tapi Pemda DKI yang
harus memikirkannya. Sedang tentang batas waktu tiga tahun
karena rencana induk DKI akan menjadikan kawasan itu sebagai
"kota inti". Yakni kawasan kota Jakarta lama yang akan dipugar
untuk obyek turisme. Ini misalnya sudah dimulai dengan pemugaran
bekas markas Kodim dan bekas kantor Walikota Jakarta Barat yang
kini dijadikan museum dan Balai Seni Rupa. Konon bagian kota
lainnya yang kini berupa gudang dan kantor, akan
berangsur-angsur dipindahkan antara lain ke kawasan Pulo Gadung.
Kenapa kok kios-kios itu yang lebih dulu di"garap"? "Kan masa
kontraknya sudah selesai. Dan Pemda punya rencana lain," tukas
B. Harahap, jubir Pemda DKI. Tapi sementara rencana belum
dilaksanakan, katanya, ada permintaan perpanjangan. Permintaan
itu disetujui dengan syarat baru. "Tak bisa tawar menawar. Kalau
mau diperpanjang ini syaratnya," kata Harahap. Akan dikemanakan
para pedagang itu? "Pemda selalu secara moril bertanggung jawab
dan menaruh perhatian terhadap nasib warganya. Ini kewajiban
gubernur," ujar arahap tanpa memperjelas jawabanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini