YACOB duduk di bangku nomor dua dari depan. Ia gelisah. "Saya
seperti menunggu sesuatu yang hendak terjadi," ceritanya
kemudian. Dan bila kemudian "sesuatu" itu benar-benar terjadi,
katanya, ia masih sempat membalikkan badan dan merangkul
sandaran kursi.
Ada juga hasilnya ia lolos dari maut yang merenggut nyawa
puluhan temannya yang hendak tamasya bersama dengan bis Flores.
Namun begitu Yacob Hadiwinarto (15 tahun) sampai kini belum bisa
keluar rumah.
Tempurung lututnya pecah. Akibatnya seluruh kaki kiri, dari paha
sampai ke mata kaki, dibalut gips. Jari-jari tangan kanannya,
yang dulu lincah menekan tuts piano, sekarang sulit digerakkan.
Ini tak lain karena daging dekat pergelangan tangan habis.
Hingga untuk menambalnya diambil irisan daging dari pangkal
paha.
Namun, anak pertama dari tujuh bersaudara ini tidak begitu saja
melepaskan cita-citanya untuk menjadi insinyur elektro. Sebagai
insinyur elektro kelak, ia yakin, cacat yang dideritanya tidak
akan jadi penghalang.
Untuk penyembuhan makan waktu lama. Orang tua Yacob telah
menghabiskan biaya Rp 600 ribu. Syukur, biaya ini terasa ringan
karena Yacob menerima santunan asuransi kecelakaan Jasa Raharja
Rp 500 ribu dan dari perusahaan bis Flores Rp 50 ribu.
Yacob, anak pedagang mobil itu, ternyata baru tiga kali naik bis
-- semua dalam rangka darmawisata. Cidera yang dideritanya tidak
sampai menimbulkan dendam kepada sopir.
Anidar (25 tahun), juga demikian. Terbaring di RSU Bukittinggi,
kakinya patah, ia salah seorang korban kecelakaan bis Seroja
yang menurut ceritanya "tersangkut di rumpun bambu ketika mobil
meluncur di jurang sedalam 60 m." Untuk pengobatan, ibu dari
lima anak ini terpaksa menjual anting-antingnya. "Kabarnya ada
asuransi, tapi sampai sekarang saya belum terima juga,"
keluhnya.
Rosni (42 tahun) senasib dengan Anidar -- korban kecelakaan
Seroja. Tangan kanannya patah dan mukanya ditandai beberapa
jahitan. Ibu dari delapan anak ini sehari-hari biasa bekerja
keras, menjual sayur-mayur dari Bukittinggi ke Lubukbasung .
Suaminya sudah tidak mampu bekerja dan tinggallah ia yang cidera
sebagai gantungan hidup anak-anaknya. Untuk pengobatan, Rosni
juga terpaksa menjual anting-antingnya.
Anidar dan Rosni, kemungkinan besar, tidak tahu-menahu soal
asuransi kecelakaan. Di Sumatera Barat perusahaan asuransi belum
nampak terlalu memasyarakat. Tapi Sri Widodo, Kepala Cabang Jasa
Raharja di Padang bergembira karena ada kenaikan penjualan
kupon. Meski begitu Widodo menduga masih terdapat penumpang yang
kurang memahami kegunaan asuransi. Dan perusahaan angkutan juga
kurang benar melaksanakannya.
Satu sumber di Jasa Raharja mengakui bahwa banyak pengusaha atau
sopir di pedalaman yang sengaja tidak membagikan kupon asuransi.
Jika pun ada yang membagikan, inilah yang terjadi, ketika
mendekati darah tujuan kupon diambil lagi. Ini sering dilakukan
sopir atau kernet oplet, semata-mata agar kupon yang berharga Rp
5 itu dapat dijual berkali-kali.
Tahun lalu, klaim yang dibayarkan Jasa Raharja Padang sekitar Rp
65 juta. Perusahaan ini tegas menolak membayar permintaan klaim
dari korban yang tidak punya kupon. Jasa Raharja menganjurkan
agar Flara ahli waris menuntut saja kepada perusahaan angkutan.
Di Medan, tahun lalu Jasa Raharja membayar jauh lebih besar,
mencapai Rp 700 juta. Menurut Hanafi, pimpinan Jasa Raharja di
sana, angka itu melonjak karena santunan untuk para korban kini
ditetapkan lebih b esar. Dulu korban yang tewas dibayar Rp 200
ribu. Sekarang Rp 500 ribu. Klaim terbesar, Rp 1 juta,
dibayarkan untuk yang cacat seumur hidup. Keanehan dalam
masyarakat kita, kata Hanafi, "Untuk membayar kupon seharga
Rp 5 mereka kadang-kadang malas."
H.M. Santoso, Dirut Jasa Raharja di Jakarta menyatakan,
perusahaannya membayar santunan untuk dua macan bentuk korban
kecelakaan lalulintas. Pertama, para penumpang sah angkutan
umum, seperti kendaraan bermotor, kereta api, pesawat udara,
kapal laut serta ferry. Untuk jenis kecelakaan ini tahun lalu
Jasa Raharja mengeluarkan uang santunan sekitar Rp 700 milyar.
Jenis kedua adalah mereka yang jadi korban kendaraan bermotor
di jalan umum tidak termasuk mereka yang bunuh diri, korban
bencana alam, atau akibat mengikuti balapan.
Jasa Raharja membayar santlnan tanpa menanti keputusan
pengadilan. Juga tanpa mempersoalkan siapa yang menyebabkan
kecelakaan. Santoso mengingatkan, agar mengurus santunan
langsung ke Jasa Raharja, "jangan melalui perantara atau calo."
Mudah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini