SIANG itu di Cimacan. Dayat Hidayat tepekur di hadapan majelis
hakim. Ketika vonis jatuh, Mei lalu, Dayat (36 tahun terisak
tapi masih sempat menyatakan naik banding. "Mohon pertimbangan,
pak hakim, " katanya terbata-bata. "Saya masih punya tanggungan
anak yang masih kecil-kecil."
Untuk kelalaiannya, yang mengakibatkan 23 penumpang tewas dan 26
luka-luka, Dayat dijatuhi hukuman tiga tahun penjara potong
tahanan. Karena rem blong, Turangga yang dipacunya terjerumus di
Cimacan, April silam. Ini adalah kecelakaan di darat kedua
terbesar awal tahun ini.
Penumpang cenderung menyalahkan Dayat yang dari awal perjalanan
sudah ngebut 70 - 80 km per jam. Itu dilakukannya, seperti
diakui Dayat, karena mengejar target setoran Rp 35. 000 dari
jumlah ini bagian sopir antara Rp 2000 - Rp 5000. "Bila target
tidak tercapai tidak ada sanksi apa-apa, tapi keluarga di rumah
menunggu," ujar Dayat yang beranak 5 itu minta dipahami.
Mengejar setoran. Selalu itu alasan yang dikemukakan sopir jika
terjadi kecelakaan. Kedengarannya usang, dicari-cari, tapi
bagaimanapun nyata. Terutama untuk sopir jarak pendek seperti
Jakarta-Bandung, Medan-Pematangsiantar, Bukittinggi-Payakumbuh.
Juga untuk sopir kolt yang mengedari Yogya atau melayani trayek
Semarang-Weleri. Penghasilan mereka tergantung jumlah penumpang.
Semakin banyak yang diangkut, semakin besar komisi.
Suhadi (35 tahun), sopir kolt rute Semarang-Weleri, juga
mengakui bahwa sopir suka ngebut karena majikan menuntut setoran
di atas Rp 11.000 sehari. Anehnya, tekanan majikan itu bersumber
pada ulah sopir sendiri, yang suka main bom-boman -- begitu
istilah mereka. Sin Hwan (25 tahun), sopir kolt asal Kendal,
memperkuat keterangan Suhadi. Yang disebut bom-boman itu adalah
keterangan sopir tentang jumlah setoran pada pihak majikan.
Padahal keterangan itu bisa saja tidak benar. Misalnya, kepada
majikan perusahaan lain, si sopir bilang setor Rp 13.000. Jika
kebetulan seorang sopir hanya bisa setor Rp 8.000, salah-salah
ia bisa dipecat hari itu juga. Rata-rata setoran kolt sehari Rp
10.000 kotor-Rp 3.000 bagian sopir dan kenek. "Mencari setoran
sejumlah itu akhir-akhir ini cukup susah," begitu keluhan umum
yang terdengar di kalangan sopir kolt di Semarang.
Jumino (25 tahun), sopir kolt kampus di Yogya, sebisa mungkin
malah mengumpulkan Rp 15.000. Setoran ke pemilik kolt cuma Rp
6.000, tapi bensin ditanggung sopir. Penghasilannya kurang lebih
sama dengan sopir-sopir kolt lainnya. Tapi yang demikian itu
hanya mungkin diperoleh dengan perlombaan sengit antara sesama
sopir di jalan-jalan Yogya yang sempit dan padat.
Tidak heran jika kolt selalu kelihatan berhenti di sembarang
tempat tanpa mengindahkan rambu-rambu lalulintas. Tapi,
"perjuangan hidup kami cukup berat," keluh Jumino membela diri.
Coba saja, seperti kata Gianto (24 tahun): Tiap hari ia harus
mengelilingi Yogya sebanyak 12 putaran -- dengan catatan panjang
tiap putaran 22 km. Kerjanya 12 jam, dari pukul 7 pagi sampai 7
malam.
Di Sumatera, Chaidir, sopir kolt yang melayani trayek
Bukittinggi-Payakumbuh, penghasilannya tak beda dengan rekannya
di Jawa -- rata-rata Rp 2.500 sehari. Jumlah itu boleh dibilang
pas-pasan. Karena kebutuhan keluarga biarpun ditekan juga
mencapai Rp 2.000.
Jadi, meskipun usang, setoran tetap memegang peranan penting
dalam kerja keras seorang sopir. Karena setoran Victor Panjaitan
(21 tahun), sopir Sumber Jaya di Pematangsiantar, melarikan
bisnya seperti di arena balap. "Kalau tidak cepat kita bisa
kalah," ujar Victor yang belakangan ini merasa lega karena
pungli di jalan-jalan sudah tidak ada.
Pungli, di samping setoran, merupakan sumber lain dari
kesengsaraan sopir. "Dulu, karena pungli, pengemudi bisa lebih
gila melarikan bisnya, " ungkap Victor. Di Sumatera Barat,
sebutan halus untuk pungli adalah salam tempel. Soal kelebihan
muatan di sana juga dianggap biasa, "untuk dibagi-bagi sepanjang
jalan," begitu bunyi pemeo di kalangan sopir. Maksudnya? "Untuk
petugas patroli."
Praktek pungli dewasa ini sudah sangat berkurang. Yang tak
berubah jaminan dan penghargaan dari perusahaan. Jufri (41
tahun), sopir antar-wilayah yang berpengalaman 20 tahun,
menyatakan, untuk trayek Pakanbaru-Padang, sepanjang 640 km,
sopir hanya memperoleh paling banter Rp 8.000. Itu berarti tiap
1 km upahnya tidak sampai Rp 20. "Padahal tiap kilometer bencana
meminggu," lanjutnya.
Jufri yakin, "tak ada sopir yang mau celaka." Jika ini terjadi,
akibatnya toh ditanggung sopir: masuk penjara atau menjual
harta untuk ganti rugi.
Perusahaan bis di Pakanbaru umumnya tidak mau tahu dengan urusan
semacam itu. "Kalau bis penuh, tauke yang kaya. Tapi kalau
celaka, sopir telungkup," keluh Jufri, yang meski tergolong
sopir kelas satu, penghasilannya sama dengan yang lain.
Ia tidak mendapat gaji tetap -- hanya uang trip, begitu
istilahnya di sana. Sepengetahuannya, perusahaan bis di Sumatera
tidak memberi gaji tetap para sopir. Alasannya, sopir tidak
bisa dipercaya, karena di perjalanan selalu menambah muatan
orang ataupun barang.
Memang jadi sopir, seperti kata B. Tobing, tidak enak. Sering
jadi sasaran kesalahan. Biarpun ada sopir yang baik, tapi kalau
nubruk orang -- salah atau benar -- tetap divonis "salah", kata
B. Tobing yang selama 10 tahun menjalani trayek Medan-Padang.
Ucapannya dibenarkan sopir lain. Abdul Malik (36 tahun), sopir
bis antarkota, dengan sesal berkata: "Kalau ada uang saya tak
mau jadi sopir. Lebih baik dagang saja." Mengapa? Malik
bercerita panjang-lebar. Hidup sebagai sopir berarti hidup tanpa
jaminan. Jika sakit atau tabrakan, majikan tidak peduli.
"Perusahaan-perusahaan itu tidak ada tanggungjawab kepada
pegawainya," Ia mengumpat.
Sekarang Malik adalah sopir freelance -- hanya 'nyetir kalau
diperlukan. Menempati sebuah rumah sewa di Cakung, tanpa
listrik, apalagi tv, anaknya yang 6 tahun merengek minta
disekolahkan. Padahal uang yang ada habis untuk ongkos istrinya
melahirkan. Modalnya, SIM, harus segera diperbaharui. Meski
badannya kekar, dengan beban bertumpuk dan masa depan yang
suram, Malik putus-asa. "Kalau ada lelaki yang bisa menangis,
sayalah orangnya," ujar lelaki asal Padang ini.
Safrizal adalah sopir bis Seroja, yang meluncur dari kelok 4 ke
kelok 8 di lereng Maninjau 16 April silam, mengalami nasib yang
tidak kurang pahitnya. Penumpang yang tewas delapan orang.
Sedang ia sendiri, yang diberitakan mati, ternyata mengalami
patah pinggang. Sudah sebulan ia dirawat di RS Bukittinggi. Tak
ada yang peduli nasibnya.
Sopir jarak jauh, umumnya bernasib lebih baik. Anas Lubis (38
tahun), sopir perusahaan Antar Lintas Sumatera, memperoleh gaji
tetap tiap bulan -- antara Rp 100 ribu - Rp 125 ribu. Trayeknya
Medan-Tanjungkarang (Lampung). Adapun biaya akomodasi dan makan
dalam perjalanan ditanggung perusahaan. "Soal gaji kami rasa
sudah memadai," ujar Anas yang beranak lima itu. Ia pun merasa
lebih tenang karena sekarang sudah punya rumah sendiri.
Sopir yang bekerja pada Perusahaan Bunga Setangkai yang melayani
trayek Banda Aceh-Denpasar memperoleh gaji tetap minimal Rp
75.000 sebulan. Tapi seperti tiap sopir di perusahaan lain,
mereka betanggungjawab penuh akan keselamatan bis dan pelayanan
penumpang. Kerusakan berat, umumnya ditanggung perusahaan, tapi
kerusakan kecil ditanggung sopir. Sopir yang bekerja di
perusahaan Tjipto di Pasuruan tiap bulan juga menerima gaji
tetap antara Rp 80.000 - Rp 100.000.
Tapi sopir jarak jauh, atau sopir elite, hanyalah minoritas
dalam masyarakat sopir yang hidup dalam serba kekurangan. Secara
kasar penghasilan mereka lenyap antara tangan dan mulut. Mereka
kerja rata-rata 12 jam sehari dengan penghasilan Rp 2000 - Rp
3000. Tidak ada uang pengobatan -- apalagi uang santunan jika
terjadi kecelakaan. Jangan ditanya bonus ataupun pensiun - payah!
Kalau mereka kadang-kadang gembira, itu karena setoran
terpenuhi. Atau banyak penumpang ekstra. Atau dalam hal Darwis
dan Dayat, sopir bis bergembira karena bisa menyenangkan
penumpang yang asyik melihat kelihaian mereka melalap
tikungan-tikungan mesra, eh berbahaya, sepanjang jalan
Citatah-Jakarta.
Puncak kehebatan ialah jika bisa menaklukkan jarak
Bandung-Jakarta hanya dalam tempo 4 jam atau di bawah itu
sedikit. Itu saja. Jangan bicara soal materi. "Kalau mau kaya
jangan jadi sopir," kata Agus B. (42 tahun), seorang sopir di
Pakanbaru. Ia, seperti banyak sopir lainnya berpendapat kekayaan
adalah hak para tauke bis.
TAPI, dalam pandangan beberapa sopir yang lebih berpendidikan,
masalahnya bukan jadi orang kaya. Bagaimana? Puranto (30
tahun), sopir bis antarkota Bhayangkara Express, dari sekarang
sudah memastikan berhenti jadi sopir pada usia 40 tahun. Sopir
yang pernah mengecap pendidikan di STM ini rajin menabung di
Tabanas atau menyimpan uang di perusahannya sendiri.
Penghasilannya berkisar antara Rp 5.000 - Rp. 7.000 sehari. Itu
cukup menjamin hidup istri dan seorang anak, katanya.
Oey Thian Shik, lulusan ST yang tidak sengaja menjadi sopir,
juga bertekad melepaskan profesinya kini sekali waktu. Biasa
dipanggil Antik, pemuda usia 25 tahun ini tiap hari mengemudikan
bis Garuda Mas, rute Jakarta-Semarang. Dengan penghasilan
rata-rata Rp 3.500 sehari, ia bisa mengatakan, "masa depan sopir
itu suram." Karena itu ia mempersiapkan diri untuk jadi montir.
Sesudah itu? Antik baru berani menikah.
Hasan dan Marjono, keduanya bekerja di perusahaan bis Sahabat,
trayek Jakarta-Cirebon. Masing-masing berpengalaman 10 tahun dan
tiap hari membawa pulang ke rumah Rp 6.000. "Cukupan," kata
mereka. Entah bagaimana caranya, Hasan masih dapat menyisihkan
untuk membeli becak, yang sekarang sudah 20 jumlahnya. Istri
Marjono tidak kurang gesit pula. Ia membuka usaha kecil-kecilan
di rumah. Hasan dan Marjono bertekad melepas profesi sopir --
kalau saatnya matang untuk itu. "Saya mau jadi penjual jasa
angkutan saja," kata Hasan. Sedangkan Marjono kini sedang
bersiap-siap menjadi penjual barang-barang keperluan
sehari-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini