Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Antara Tangan Dan Mulut

Sekitar kehidupan dari beberapa sopir bis. bila terjadi kecelakaan, sopir selalu mengemukakan bahwa ia negebut untuk mengejar setoran. padahal bencana siap menunggu di jalan raya.(kt)

4 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIANG itu di Cimacan. Dayat Hidayat tepekur di hadapan majelis hakim. Ketika vonis jatuh, Mei lalu, Dayat (36 tahun terisak tapi masih sempat menyatakan naik banding. "Mohon pertimbangan, pak hakim, " katanya terbata-bata. "Saya masih punya tanggungan anak yang masih kecil-kecil." Untuk kelalaiannya, yang mengakibatkan 23 penumpang tewas dan 26 luka-luka, Dayat dijatuhi hukuman tiga tahun penjara potong tahanan. Karena rem blong, Turangga yang dipacunya terjerumus di Cimacan, April silam. Ini adalah kecelakaan di darat kedua terbesar awal tahun ini. Penumpang cenderung menyalahkan Dayat yang dari awal perjalanan sudah ngebut 70 - 80 km per jam. Itu dilakukannya, seperti diakui Dayat, karena mengejar target setoran Rp 35. 000 dari jumlah ini bagian sopir antara Rp 2000 - Rp 5000. "Bila target tidak tercapai tidak ada sanksi apa-apa, tapi keluarga di rumah menunggu," ujar Dayat yang beranak 5 itu minta dipahami. Mengejar setoran. Selalu itu alasan yang dikemukakan sopir jika terjadi kecelakaan. Kedengarannya usang, dicari-cari, tapi bagaimanapun nyata. Terutama untuk sopir jarak pendek seperti Jakarta-Bandung, Medan-Pematangsiantar, Bukittinggi-Payakumbuh. Juga untuk sopir kolt yang mengedari Yogya atau melayani trayek Semarang-Weleri. Penghasilan mereka tergantung jumlah penumpang. Semakin banyak yang diangkut, semakin besar komisi. Suhadi (35 tahun), sopir kolt rute Semarang-Weleri, juga mengakui bahwa sopir suka ngebut karena majikan menuntut setoran di atas Rp 11.000 sehari. Anehnya, tekanan majikan itu bersumber pada ulah sopir sendiri, yang suka main bom-boman -- begitu istilah mereka. Sin Hwan (25 tahun), sopir kolt asal Kendal, memperkuat keterangan Suhadi. Yang disebut bom-boman itu adalah keterangan sopir tentang jumlah setoran pada pihak majikan. Padahal keterangan itu bisa saja tidak benar. Misalnya, kepada majikan perusahaan lain, si sopir bilang setor Rp 13.000. Jika kebetulan seorang sopir hanya bisa setor Rp 8.000, salah-salah ia bisa dipecat hari itu juga. Rata-rata setoran kolt sehari Rp 10.000 kotor-Rp 3.000 bagian sopir dan kenek. "Mencari setoran sejumlah itu akhir-akhir ini cukup susah," begitu keluhan umum yang terdengar di kalangan sopir kolt di Semarang. Jumino (25 tahun), sopir kolt kampus di Yogya, sebisa mungkin malah mengumpulkan Rp 15.000. Setoran ke pemilik kolt cuma Rp 6.000, tapi bensin ditanggung sopir. Penghasilannya kurang lebih sama dengan sopir-sopir kolt lainnya. Tapi yang demikian itu hanya mungkin diperoleh dengan perlombaan sengit antara sesama sopir di jalan-jalan Yogya yang sempit dan padat. Tidak heran jika kolt selalu kelihatan berhenti di sembarang tempat tanpa mengindahkan rambu-rambu lalulintas. Tapi, "perjuangan hidup kami cukup berat," keluh Jumino membela diri. Coba saja, seperti kata Gianto (24 tahun): Tiap hari ia harus mengelilingi Yogya sebanyak 12 putaran -- dengan catatan panjang tiap putaran 22 km. Kerjanya 12 jam, dari pukul 7 pagi sampai 7 malam. Di Sumatera, Chaidir, sopir kolt yang melayani trayek Bukittinggi-Payakumbuh, penghasilannya tak beda dengan rekannya di Jawa -- rata-rata Rp 2.500 sehari. Jumlah itu boleh dibilang pas-pasan. Karena kebutuhan keluarga biarpun ditekan juga mencapai Rp 2.000. Jadi, meskipun usang, setoran tetap memegang peranan penting dalam kerja keras seorang sopir. Karena setoran Victor Panjaitan (21 tahun), sopir Sumber Jaya di Pematangsiantar, melarikan bisnya seperti di arena balap. "Kalau tidak cepat kita bisa kalah," ujar Victor yang belakangan ini merasa lega karena pungli di jalan-jalan sudah tidak ada. Pungli, di samping setoran, merupakan sumber lain dari kesengsaraan sopir. "Dulu, karena pungli, pengemudi bisa lebih gila melarikan bisnya, " ungkap Victor. Di Sumatera Barat, sebutan halus untuk pungli adalah salam tempel. Soal kelebihan muatan di sana juga dianggap biasa, "untuk dibagi-bagi sepanjang jalan," begitu bunyi pemeo di kalangan sopir. Maksudnya? "Untuk petugas patroli." Praktek pungli dewasa ini sudah sangat berkurang. Yang tak berubah jaminan dan penghargaan dari perusahaan. Jufri (41 tahun), sopir antar-wilayah yang berpengalaman 20 tahun, menyatakan, untuk trayek Pakanbaru-Padang, sepanjang 640 km, sopir hanya memperoleh paling banter Rp 8.000. Itu berarti tiap 1 km upahnya tidak sampai Rp 20. "Padahal tiap kilometer bencana meminggu," lanjutnya. Jufri yakin, "tak ada sopir yang mau celaka." Jika ini terjadi, akibatnya toh ditanggung sopir: masuk penjara atau menjual harta untuk ganti rugi. Perusahaan bis di Pakanbaru umumnya tidak mau tahu dengan urusan semacam itu. "Kalau bis penuh, tauke yang kaya. Tapi kalau celaka, sopir telungkup," keluh Jufri, yang meski tergolong sopir kelas satu, penghasilannya sama dengan yang lain. Ia tidak mendapat gaji tetap -- hanya uang trip, begitu istilahnya di sana. Sepengetahuannya, perusahaan bis di Sumatera tidak memberi gaji tetap para sopir. Alasannya, sopir tidak bisa dipercaya, karena di perjalanan selalu menambah muatan orang ataupun barang. Memang jadi sopir, seperti kata B. Tobing, tidak enak. Sering jadi sasaran kesalahan. Biarpun ada sopir yang baik, tapi kalau nubruk orang -- salah atau benar -- tetap divonis "salah", kata B. Tobing yang selama 10 tahun menjalani trayek Medan-Padang. Ucapannya dibenarkan sopir lain. Abdul Malik (36 tahun), sopir bis antarkota, dengan sesal berkata: "Kalau ada uang saya tak mau jadi sopir. Lebih baik dagang saja." Mengapa? Malik bercerita panjang-lebar. Hidup sebagai sopir berarti hidup tanpa jaminan. Jika sakit atau tabrakan, majikan tidak peduli. "Perusahaan-perusahaan itu tidak ada tanggungjawab kepada pegawainya," Ia mengumpat. Sekarang Malik adalah sopir freelance -- hanya 'nyetir kalau diperlukan. Menempati sebuah rumah sewa di Cakung, tanpa listrik, apalagi tv, anaknya yang 6 tahun merengek minta disekolahkan. Padahal uang yang ada habis untuk ongkos istrinya melahirkan. Modalnya, SIM, harus segera diperbaharui. Meski badannya kekar, dengan beban bertumpuk dan masa depan yang suram, Malik putus-asa. "Kalau ada lelaki yang bisa menangis, sayalah orangnya," ujar lelaki asal Padang ini. Safrizal adalah sopir bis Seroja, yang meluncur dari kelok 4 ke kelok 8 di lereng Maninjau 16 April silam, mengalami nasib yang tidak kurang pahitnya. Penumpang yang tewas delapan orang. Sedang ia sendiri, yang diberitakan mati, ternyata mengalami patah pinggang. Sudah sebulan ia dirawat di RS Bukittinggi. Tak ada yang peduli nasibnya. Sopir jarak jauh, umumnya bernasib lebih baik. Anas Lubis (38 tahun), sopir perusahaan Antar Lintas Sumatera, memperoleh gaji tetap tiap bulan -- antara Rp 100 ribu - Rp 125 ribu. Trayeknya Medan-Tanjungkarang (Lampung). Adapun biaya akomodasi dan makan dalam perjalanan ditanggung perusahaan. "Soal gaji kami rasa sudah memadai," ujar Anas yang beranak lima itu. Ia pun merasa lebih tenang karena sekarang sudah punya rumah sendiri. Sopir yang bekerja pada Perusahaan Bunga Setangkai yang melayani trayek Banda Aceh-Denpasar memperoleh gaji tetap minimal Rp 75.000 sebulan. Tapi seperti tiap sopir di perusahaan lain, mereka betanggungjawab penuh akan keselamatan bis dan pelayanan penumpang. Kerusakan berat, umumnya ditanggung perusahaan, tapi kerusakan kecil ditanggung sopir. Sopir yang bekerja di perusahaan Tjipto di Pasuruan tiap bulan juga menerima gaji tetap antara Rp 80.000 - Rp 100.000. Tapi sopir jarak jauh, atau sopir elite, hanyalah minoritas dalam masyarakat sopir yang hidup dalam serba kekurangan. Secara kasar penghasilan mereka lenyap antara tangan dan mulut. Mereka kerja rata-rata 12 jam sehari dengan penghasilan Rp 2000 - Rp 3000. Tidak ada uang pengobatan -- apalagi uang santunan jika terjadi kecelakaan. Jangan ditanya bonus ataupun pensiun - payah! Kalau mereka kadang-kadang gembira, itu karena setoran terpenuhi. Atau banyak penumpang ekstra. Atau dalam hal Darwis dan Dayat, sopir bis bergembira karena bisa menyenangkan penumpang yang asyik melihat kelihaian mereka melalap tikungan-tikungan mesra, eh berbahaya, sepanjang jalan Citatah-Jakarta. Puncak kehebatan ialah jika bisa menaklukkan jarak Bandung-Jakarta hanya dalam tempo 4 jam atau di bawah itu sedikit. Itu saja. Jangan bicara soal materi. "Kalau mau kaya jangan jadi sopir," kata Agus B. (42 tahun), seorang sopir di Pakanbaru. Ia, seperti banyak sopir lainnya berpendapat kekayaan adalah hak para tauke bis. TAPI, dalam pandangan beberapa sopir yang lebih berpendidikan, masalahnya bukan jadi orang kaya. Bagaimana? Puranto (30 tahun), sopir bis antarkota Bhayangkara Express, dari sekarang sudah memastikan berhenti jadi sopir pada usia 40 tahun. Sopir yang pernah mengecap pendidikan di STM ini rajin menabung di Tabanas atau menyimpan uang di perusahannya sendiri. Penghasilannya berkisar antara Rp 5.000 - Rp. 7.000 sehari. Itu cukup menjamin hidup istri dan seorang anak, katanya. Oey Thian Shik, lulusan ST yang tidak sengaja menjadi sopir, juga bertekad melepaskan profesinya kini sekali waktu. Biasa dipanggil Antik, pemuda usia 25 tahun ini tiap hari mengemudikan bis Garuda Mas, rute Jakarta-Semarang. Dengan penghasilan rata-rata Rp 3.500 sehari, ia bisa mengatakan, "masa depan sopir itu suram." Karena itu ia mempersiapkan diri untuk jadi montir. Sesudah itu? Antik baru berani menikah. Hasan dan Marjono, keduanya bekerja di perusahaan bis Sahabat, trayek Jakarta-Cirebon. Masing-masing berpengalaman 10 tahun dan tiap hari membawa pulang ke rumah Rp 6.000. "Cukupan," kata mereka. Entah bagaimana caranya, Hasan masih dapat menyisihkan untuk membeli becak, yang sekarang sudah 20 jumlahnya. Istri Marjono tidak kurang gesit pula. Ia membuka usaha kecil-kecilan di rumah. Hasan dan Marjono bertekad melepas profesi sopir -- kalau saatnya matang untuk itu. "Saya mau jadi penjual jasa angkutan saja," kata Hasan. Sedangkan Marjono kini sedang bersiap-siap menjadi penjual barang-barang keperluan sehari-hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus