POUW Kwat Keng, guru dan direktur Pouw's College tempat kursus bahasa Inggris di Bandung, mungkin harus menutup kursusnya. Pajak sedang bersiap-siap mencekik lehernya. Sebab, dengan 200 siswa dan dari tiap siswa dipungut Rp 3.000 sebulan, tempat kursus yang berdiri sejak 1945 itu, kini harus membayar pajak Rp 500 ribu. Dan bila tahun depan pemerintah jadi menaikkan pajaknya menjadi Rp 800 ribu, "akan saya tutup saja kursus ini," katanya setengah kesal. Tempat kursus Pouw ini ternyata terancam bubar sejak beberapa saat setelah berdiri. "Di zaman Belanda, sering digerebek selagi mengajar. Saya dikira mengadakan rapat gelap," kata Pouw. Kejengkelan Pouw ternyata juga berkaitan dengan masalah lain. "Sekarang, kursus bahasa asing seperti jamur, " katanya. Dan kebanyakan kursus itu hanya bermotif komersial. "Kontrol kualitas tampaknya belum pernah dilakukan oleh pemerintah," katanya kesal. Meskipun begitu, tempat kursus tertua di kota kembang yang mempekerjakan 16 guru dengan gaji 60% dari uang masuk itu, tidak merasa terdesak karena banyak saingan. Buktinya, peminat masih saja membanjir ke Jalar Bungsu Bandung, tempat kursus tadi. Setiap hari, rumah bangunan eks Belanda milik Pouw di atas tanah 1.000 meter itu didatangi pelajar, mahasiswa, karyawan dan ABRI. Pouw, 71 tahun, lulusan Cambridge University itu telah berhasil menetak ratusan orang yang fasih ngomong Inggris. "Saya bahagia kalau alumni Pouw's College bisa menjadi orang," kata ayah empat anak dan kakek delapan cucu itu. Untuk membuat siswanya bisa cas-cis-cus bicara Inggris, tidak gampang. Suatu hari, datang seorang mahasiswi jurusan arsitektur suatu perguruan tinggi di kota itu. "Ia sedih tidak menguasai bahasa Inggris," katanya. Padahal, semua buku wajib dalam bahasa Inggris. Ia minta dikursus cepat-cepat supaya tidak ketinggalan kuliahnya. "Mana bisa belajar bahasa Inggris didadak begitu? Terpaksa saya tolak," kata Pouw. Mengajar bahasa Inggris "kilat" ternyata tidak terlalu menyulitkan Ted Curtis Fishman, 23 tahun, sarjana filsafat Princeton University AS yang kini mangkal di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Muridnya terdiri dari dosen-dosen yang akan segera diberangkatkan ke luar negeri. "Cuma sekedar melancarkan," kata Ted dalam bahasa Indonesia yang lancar. Imbalannya, ia mendapat Rp 60 ribu sebulan dari UGM. Untuk menambah isi kantungnya Ted juga mengajar di Balai Bahasa IKIP Negeri Yogya. Tambah lagi, ia juga membuka kursus privat di rumah kecil dengan dua kamar kontrakannya di Desa Pogung, sebelah barat kampus UGM. "Sebulan, bisa mendapat Rp 200 ribu," katanya. Dari hasil memberi kursus, anak arsitek kenamaan Negara Bagian Illinois AS itu bisa melancong ke beberapa kota di Sumatera. Kursus bahasa Inggris di rumahnya juga membawa hikmah. Kini ia mempunyai banyak teman. Bahkan ada beberapa murid wanita yang menaksirnya. Berhasil tidaknya membuat murid mampu berbahasa asing, buku pegangan sangat menentukan. "Dalam mengajar, saya selalu mengikuti perkembangan sistem pengajaran di Negeri Belanda," kata Simadibrata, 61 tahun, pengajar bahasa Belanda yang beken di Kota Yogyakarta. Kesulitannya, adalah buku pegangan yang beredar di Indonesia sudah tidak cocok lagi. Buku yang paling mendekati patokan di Yayasan Karta Pusaka -- yayasan pertukaran kebudayaan Indonesia-Belanda, tempat Simadibrata mengajar -- adalah karangan De Vries dan De La Court. Sebagai guru bahasa Belanda yang punya nama sejak 1960, tentu saja ia dikerubuti banyak orang yang ngebet bahasa Negeri Kincir itu. Alasannya, ada yang memang akan belajar di Belanda ada juga hanya sekedar untuk gengsi saja. Simadibrata dan istrinya, Ny. E. Th. Piontek -- direktris yayasan -- sepenuhnya hidup dari bahasa Belanda. Bagi Simadibrata, jebolan mahasiswa kedokteran 1942, tidak terlalu sulit mengajar. Ia pernah mengikuti kursus dan penataran di Negeri Belanda. Tidak disebut berapa penghasilan dari "menjual" bahasa Belanda itu. "Yang jelas, keluarga kami berkecukupan," katanya. Yang penting bagi keluarga Simadibrata, "sudah menjadi tekad kami untuk memajukan bahasa Belanda di Indonesia." Karena itu, mereka selalu mengajarkan Algemeen Beschaafd Nederlands, bahasa Belanda yang lebih tinggi dan halus. Kewalahan melayani desakan murid yang buru-buru ingin bisa ngomong bahasa asing, juga dialami Ny. Tjondro Handojo, 30 tahun, guru bahasa Prancis di Pusat Kebudayaan Prancis Surabaya. Banyak muridnya bersemangat diajarnya, juga karena istri arsitek Tjondro itu memang cantik. "Memang, belakangan minat belajar bahasa Prancis di sini meningkat -- mereka adalah pelajar, mahasiswa atau karyawan," katanya. Bekal untuk bisa berdiri di depan kelas memang cukup. Bekas mahasiswi Akademi Administrasi Bisnis di Jenewa itu sekitar 10 tahun hidup dan bicara Prancis. Tambah lagi, ia sempat beberapa tahun tinggal di Prancis. "Sekarang, saya benar-benar senang mengajar bahasa Prancis," katanya. Berapa penghasilannya? Itu tidak terlalu dikejar Ny. Tjondro yang tidak menggantungkan hidupnya dari bayaran sebagai guru kursus. Setiap jam ia menerima Rp 2.250. Seminggu kebagian 18 jam mengajar tingkat dasar. Kecuali mengajar di Jalan Darmokali Surabaya, wanita beranak tiga orang itu belum berniat membuka les privat di rumah. "Saya takut peminatnya berkurang," katanya. Mengajar bagi Ny. Tjondro lebih dimaksudkan sebagai kesenangan. Suatu ketika, seorang mahasiswa kedokteran tingkat III mendatanginya. Murid ini mendesak supaya segera meluluskan. Ia tidak mengabulkannya karena memang belum bisa bicara Prancis. "Saya sebenarnya kasihan melihat murid yang bertahun-tahun kursus dan tidak bisa lulus. Akhirnya, anak itu gagal mendapat beasiswa ke luar negeri," katanya. Untuk mencegah ada siswa "abadi" di sana, kini kursus diperketat. Tidak masuk 10 kali berturut-turut, mereka dilarang ikut ujian. Hasilnya. Lumayan. Setelah dua tahun kursus di Jalan Darmokali, para siswa sudah dapat ngomong Prancis. "Itu yang menyenangkan saya," kata Ny. Tjondro yang kini mengasuh 100 siswa kursus di sana. Hadijah Umeda, 22 tahun, guru bahasa Jepang di Medan, mengaku tak punya metode mengajar. "Metode saya meniru guru saya di Jepang," katanya. Gadis cantik turunan Jepang-Indonesia itu, tidak terlalu sulit mengajar bahasa ayahnya, Minori Umeda alias Suwandi, 60 tahun yang mempunyai tempat kursus Yayasan Hino di Medan. Bahasa Indonesianya fasih karena ia lahir di Pematangsiantar. Kemahiran mengajar bahasa Jepang didapatnya setelah dua tahun belajar di Provinsi Nara, Jepang. Ayahnya adalah seorang pengurus Poliklinik Kebaktian Veteran RI Medan. Tempat kursus milik ayah Hadijah dua tahun lalu punya 90 murid. Karena gurunya harus kembali ke Negeri Sakura, kursus ditutup. "Setelah saya mau mengajar, papa membuka kembali kursus itu," kata Hadijah. Praktis sekarang gurunya cuma dua orang, Hadijah sendiri dan ayahnya. Mengajar bahasa Jepang memang mengasyikkan. "Mereka yang sama sekali nol bahasa Jepang, kini sudah bisa menulis dan berbahasa Jepang," kata Hadijah. Untuk tidak merepotkan muridnya, Hadijah cuma mengajari menulis aksara Hiragana (untuk kata-kata asli Jepang), dan Katakana (untuk kata-kata dari luar Jepang). Aksara Kanji (Cina) sengaja tidak diberikan. "Maksudnya, supaya seragam saja," katanya. Bekerja di Saudi Dalam ruangan 5 x 8 meter, 12 orang murid perempuan duduk tenang menghadapi seorang guru berpeci. Siang itu Abdul Wahab Nisin, 29 tahun, yang sedang mengajar bahasa Arab. Sebelum memulai pelajaran ia mengucapkan "assalamu alaikum." Lalu membaca Bismillah dan membaca surat Al Fatihah. Semua diikuti siswa-siswanya. Lalu pelajaran pun dimulai -- semua dalam bahasa Arab. Abdul Wahab, asli Depok, belajar bahasa Arab di pesantren Purwakarta, Ja-Bar. "Sebenarnya yang saya perdalam ilmu nahwu dan sharafnya (gramatika). Memang kesulitan pertama adalah membiasakan berbahasa Arab dengan aktif, tapi setelah menjadi guru, ternyata juga dorongan belajar makin tinggi," ungkapnya. Sekarang, guru yang sudah punya dua orang anak itu tidak canggung lagi melafalkan kalimat-kalimat Arab. Al Fauriah (yang artinya Akselerasi) tempat Wahab mengajar, didirikan H. Syauqi Thaher anak ke-7 K.H. Thaher Rahili, pemimpin dan pendiri Pesantren Atthahiriyah, pada tahun 1979. Ternyata "murid dan minat melimpah," kata Syauqi, "kebetulan saat ini ramai orang mau bekerja ke Saudi." Untuk mereka memang disediakan waktu tiga bulan untuk sekedar mengenal bahasa Arab sehari-hari. "Tapi, untuk belajar hingga benar-benar menyeluruh, wah . . . dibutuhkan waktu lama. Terus terang saya belajar bahasa Arab sejak kecil," tambah Wahab. Dalam program memasyarakatkan bahasa Arab itu pula, Syauqi memulai dan memberanikan diri melalui Radio Atthahiriyah sejak 1973 mengadakan siaran bahasa Arab yang diasuhnya sendiri. Sekarang kursus itu diasuh adiknya, Ghazi Thaher. Murid Al Fauriah sekitar 90 orang putra-putri. Sedangkan yang sudah dihasilkan sudah ratusan, terutama untuk kalangan pekerja. "Kalau mengingat materi, sebenarnya pas-pasan untuk honor guru. Tapi, saya memiliki kebahagiaan jika melihat murid sudah bisa berbahasa Arab dengan baik," ungkap Syauqi. Di samping mengusahakan kursus, Syauqi juga menerima pengetikan skripsi berbahasa Arab dari mahasiswa Sastra Arab dari IAIN, UI, IKIP maupun Universitas Atthahiriyah sendiri, biaya perlembar Rp 300. Dari itu, ia sudah merasa hidup tenang dengan istrinya di rumah cukup megah di Kampung Melayu Kecil III, belakang Pesantren Atthahiriyah. Biaya kursus Rp 5000 sebulan -- seminggu 3 x (@ 2 jam). Honor guru perjam Rp 1000. Nyonya Sophie "Perbedaan sistem mengajar antara saya belajar dulu dan sekarang memang berbeda. Kalau dulu, mengajar sekaligus dengan gramatikanya. Sekarang, sudah sistem drill, yang dihafal yang baru kemudian baru dijelaskan gramatikanya," kata Ny. Sophie Sarwono, guru bahasa Jerman di Goethe Institute cabang Bogor. Perbedaan minat belajar bahasa asing pun, kata Ny. Sophie pula, sekarang dan dulu amat berbeda. Pada zaman Belanda dulu, bahasa Belandalah yang menjadi jembatan untuk memahami bahasa asing Eropa lainnya. Sekarang, justru bahasa Inggris bisa diharapkan menjadi jembatan untuk memahami bahasa asing lainnya -- tapi kurang diperhatikan oleh kebanyakan pelajar. "Saya menyesal sekali, orang Indonesia yang kepandaiannya tidak kalah dengan bangsa lain justru jatuh pada segi bahasa asing," keluhnya sambili menyebut pengalaman penerimaan pegawai di PBB. Ny. Sophie mula-mula aktif mengajar di Goethe Jakarta dengan honor Rp 3.500 per jam pelajaran (45 menit) dengan masa mengajar seminggu enam kali. Sejak 1966 ia juga mengajar di Goethe Cabang Bogor di Jalan Gunung Gede, selain merangkap sebagai guru bahasa Jerman di sebuah SMA di Bogor. Karena kesibukannya pada tahun 1976 hingga 1979 sebagai Ketua Umum PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), maka praktis kegiatan mengajarnya terhenti untuk itu. Tapi, setelah tahun 1979 ia kembali lagi mengajar di Goethe Cabang Bogor. "Habis saya dulu dibiayai Goethe sampai ke Jerman. Untuk balas budi," katanya. Juli ini ia sudah bersiap-siap mengajar bahasa Jerman di Lembaga Bahasa di IPB. "Peminat bahasa Jerman sekarang memang agak menurun setelah ada pembatasan belajar ke Jerman yang banyak dimanfaatkan untuk bekerja itu," tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini