Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Disrupsi Menuju Keseimbangan Baru

Penelitian mengenai kecerdasan buatan (artificial intelligence) sebenarnya sudah dimulai pada 1950-an.

8 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A. Prasetyantoko

Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

Penelitian mengenai kecerdasan buatan (artificial intelligence) sebenarnya sudah dimulai pada 1950-an. Namun krisis finansial 2008 telah menjadi momentum berkembangnya revolusi industri 4.0 secara pesat. Negara maju berlomba melakukan “destruksi kreatif” guna memompa produktivitas ekonomi yang kempis akibat krisis. Dan krisis terbukti menjadi momentum terbaik dalam berinovasi.

Apa beda revolusi industri 4.0 dengan revolusi sebelumnya? Revolusi industri 1.0 bertumpu pada penemuan mesin uap yang kemudian mengubah lanskap industri di Eropa. Revolusi industri 2.0 ditandai dengan penemuan listrik yang memunculkan industri modern, khususnya di Amerika Serikat dan Jepang. Revolusi industri 3.0 diawali dengan penemuan Internet yang mengubah model bisnis di seluruh dunia. Adapun revolusi industri 4.0 ditandai dengan sinergi aspek fisik, digital, dan biologi.

Salah satu rujukan awal soal revolusi industri 4.0 ditulis Klaus Schwab, chairman World Economic Forum, dalam buku The Fourth Industrial Revolution (2016). Menurut Schwab, revolusi kali ini tak hanya mengubah bagaimana bisnis dijalankan dan para pekerja berelasi, tapi juga bagaimana orang menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, revolusi industri 4.0 diproyeksikan mempengaruhi perilaku personal secara mendalam.

Pertemuan aspek fisik, digital, dan biologi dalam revolusi ini ditandai dengan munculnya berbagai inovasi, seperti pemanfaatan kecerdasan buatan, robotika, kemampuan komputer belajar dari data (machine learning), dan alat pengedit asam deoksiribonukleat (DNA) manusia. Penemuan akan terus terjadi di berbagai bidang, yang tidak ada sebelumnya.

Ada tiga fondasi revolusi industri 4.0, yaitu pemanfaatan data skala besar (big data), teknik penyimpanan data di awan (cloud computing), dan konektivitas Internet yang terhubung secara permanen atau Internet of things. Ketiga aspek dalam keseluruhan ekosistem digital ini telah memungkinkan berbagai simulasi, pemanfaatan kecerdasan buatan, dan integrasinya dalam berbagai hal bisa diakselerasi pemanfaatannya. Penemuan 3D printer, mobil tanpa sopir, bahkan manusia setengah mesin (cyborg) terus dikembangkan menuju fase kematangan. Banyak hal yang dulu fiksi kini menjadi kenyataan.

Internet of things telah memungkinkan terjadinya integrasi sistematis dari fase awal pengumpulan data, pengolahan, analisis, hingga fase pemanfaatan data yang mampu memberi nilai bagi pengguna secara maksimal dalam waktu singkat. Di era sebelumnya, siklus tersebut sudah terjadi, tapi butuh waktu relatif lama, sehingga sering menjadi tak berharga lagi.

Peta persaingan kemudian berubah antara pihak yang sudah mengadopsi teknologi dan pihak yang belum. Terjadilah era disrupsi di berbagai bidang, seperti di sektor transportasi (terdisrupsi oleh Uber, Grab, Go-Jek), perhotelan (Airbnb), perbankan (fintech), dan pendidikan (Coursera).

Pada fase ini, peta industrinya sangat jelas. Pelaku konvensional akan terdepak oleh pelaku yang sudah mengadopsi teknologi. Sejak itu, semuanya menjadi serba tak pasti. Adopsi teknologi mirip dengan perlombaan yang sejauh ini belum ada ujungnya. Model bisnis juga terus mengalami disrupsi. Go-Jek, yang awalnya berbasis perusahaan transportasi, kini menjadi perusahaan pembayaran. Starbucks, yang tadinya kedai kopi, kini memiliki alat pembayaran sendiri. Jika berhasil menjalin kerja sama dengan vendor lain yang mau menerima alat pembayarannya, Starbucks akan menyerupai bisnis bank.

Di awal tahun ini, secara mengejutkan Amazon dan Apple mengumumkan akan membentuk perusahaan patungan di bidang farmasi. Mereka meyakini basis industri kesehatan tidak lagi bertumpu pada jasa dokter dan obat, tapi pada teknologi dan pengirimannya. Misalnya, toilet di panti wreda dilengkapi alat deteksi kesehatan (gula darah, kolesterol, asam urat, dan sebagainya). Penghuni di pagi hari buang air. Begitu keluar dari toilet, ia akan mendapat laporan kesehatan hari itu sekaligus rekomendasi obat dan makanan tambahan yang perlu dikonsumsi. Informasi ini segera terhubung dengan dapur dan apotek yang bisa dengan segera menyediakan makanan dengan asupan gizi yang sesuai dan obat yang harus dikonsumsi. Dokter hanya mengamati- dari jauh.

Revolusi industri 4.0 juga mengubah sistem keuangan, produktivitas, dan daya saing ekonomi bangsa-bangsa di dunia. Pada 2014, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mendeklarasikan robot sebagai pilar pertumbuhan yang akan membuat Jepang kompetitif kembali. Di bidang moneter, munculnya mata uang kripto, seperti Bitcoin, Litecoin, Dogecoin, dan Ethereum, telah menimbulkan pertanyaan soal relevansi bank sentral di masa depan.

Dinamika ini menunjukkan proses disrupsi tengah melanda semua sektor ekonomi, bisnis, keuangan, dan lainnya. Adopsi teknologi blockchain ditengarai akan mengubah semua bidang kehidupan karena inovasinya dianggap menyerupai penemuan komputer.

Bank Dunia menerbitkan World Development Report 2019 dengan judul “The Changing Nature of Work” yang mengulas implikasi teknologi bagi dunia kerja. Seperti diceritakan Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim di Stanford University dalam pra-peluncuran laporan tersebut, ada sebuah perusahaan rintisan berbasis di Atlanta, Amerika, yang berhasil membuat robot yang mampu menjahit secara otomatis dengan kecepatan tinggi dengan harga sangat murah. Hanya diperlukan 22 detik untuk menjahit satu kaus, jauh lebih cepat daripada pekerja di Bangladesh, yang selama ini dikenal sebagai penghasil pakaian paling efisien di dunia.

Majalah Forbes edisi 22 Mei 2018 mengulas rencana pabrik sepatu Adidas menggunakan 3D printer untuk memproduksi sepatu secara massal agar lebih cepat dan murah selain bisa disesuaikan dengan selera pribadi pemakai. Selama ini, komoditas sepatu dan pakaian menjadi andalan ekspor kita ke Amerika. Dengan kemajuan ini, ditambah dengan sikap proteksionis Amerika, sepertinya kita perlu mengubah strategi, baik dalam hal peningkatan efisiensi produksi melalui adopsi teknologi maupun pencarian pasar baru.

Di negeri kita, tengah terjadi guncangan akibat situasi eksternal. Ekspor kita melorot dan likuiditas yang masuk kian ketat. Kita mengalami defisit transaksi berjalan cukup lebar pada kuartal kedua 2018, sebesar US$ 8 miliar atau 3 persen terhadap produk domestik bruto. Di masa depan, kita akan menghadapi kendala makin ketatnya likuiditas, tapi pasokan teknologi meningkat seiring dengan makin gencarnya revolusi industri 4.0.

Pada dasarnya, inovasi teknologi akan memberi peluang sangat besar untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing perekonomian domestik. Di bidang perdagangan dan industri, peta jalan pengembangan e-commerce berpotensi mengangkat banyak pelaku usaha, termasuk di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Di bidang keuangan, implementasi teknologi finansial bisa dimanfaatkan dalam peningkatan inklusi keuangan.

Ada dua agenda besar yang perlu disiapkan. Pertama, kerangka regulasi dan sinkronisasi peraturan dari berbagai kementerian atau lembaga. Revolusi industri 4.0 ditandai dengan tak adanya sekat sektoral. Semuanya setara (seamless). Jika masih terkotak-kotak, pemerintah jelas tak akan mampu mengantisipasi perkembangan ke depan dengan baik. Kedua, penyiapan sumber daya manusia yang mampu menguasai kemajuan teknologi. Rencana pendirian Jack Ma Institute perlu didorong agar memberikan manfaat maksimal bagi penyiapan tenaga siap pakai di berbagai sektor berbasis digital.

Kita memiliki kemampuan inovasi yang cukup untuk memanfaatkan peluang ini. Hal itu ditandai dengan munculnya empat perusahaan rintisan besar (unicorn): Go-Jek (dengan valuasi sekitar US$ 1,7 miliar), Tokopedia (sekitar US$ 1,3 miliar), Traveloka (sekitar US$ 500 juta), dan Bukalapak. Kita punya modal yang kuat untuk memanfaatkan peningkatan pasokan teknologi bagi kepentingan domestik kita. Intinya, kita harus bersiap dengan berbagai disrupsi di era revolusi industri 4.0. Situasinya akan penuh gejolak yang disertai serentetan proses disrupsi untuk menemukan titik keseimbangan baru dalam ekonomi pascakrisis finansial global 2008.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus