Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perubahan Itu Bukan Seperti Aladin

REVOLUSI industri tengah berjalan di PT Bogasari Flour Mills.

8 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang:

Revolusi industri tengah berjalan di PT Bogasari Flour Mills. Dalam setahun terakhir, proses produksi di pabrik pengolahan terigu di Tanjung Priok, Jakarta Utara, itu berjalan otomatis terintegrasi komputer.

Belum sepenuhnya revolusi industri 4.0, memang. Pabrik yang berdiri pada 1971 itu masih menggunakan mesin era industri 3.0, bahkan 2.0. Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Kepala Divisi Bogasari Franciscus Welirang mengatakan, di antara 15 line mesin penggilingan gandum Bogasari, baru 3 line yang tergolong mesin era industri 4.0. ”Kalau langsung diganti total belum tentu berjalan,” kata Franciscus dalam wawancara khusus dengan Tempo, Rabu tiga pekan lalu.

Franky—panggilan pria 66 tahun itu—mendarah daging di Bogasari. Dia memimpin anak usaha PT Indofood Sukses Makmur itu sejak 23 tahun lalu. Menantu pendiri Indofood, Sudono Salim, ini mengatakan penerapan revolusi industri terbaru tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perusahaan, kata dia, harus cerdas memilih teknologi yang cocok dengan kondisi pabrik.

Dalam wawancara selama dua jam dengan wartawan Tempo Angelina Anjar dan Putri Adityowati, Franky menceritakan pengalamannya menerapkan revolusi industri 4.0 di Bogasari. Menurut dia, mesin tetap tidak bisa menggantikan manusia. ”Tidak ada pengurangan orang sama sekali,” ujarnya. Ketua Komite Ketahanan Pangan Kamar Dagang dan Industri Indonesia ini juga membeberkan berbagai masalah pangan yang tak kunjung beres.

Franciscus Welirang saat pelatihan di Bogasari Baking Center, Tanjung Priok, Jakarta, Agustus 2017.

Apakah menerapkan revolusi industri 4.0 merupakan suatu keharusan?

Ada yang mengatakan, kalau tidak masuk ke era 4.0, perusahaan bakal ketinggalan dan bangkrut. Buktinya, ada perusahaan yang masih di era 2.0 dan tidak bangkrut. So what? Perusahaan itu harus cerdas memilih teknologi era 4.0 yang sesuai dengan kondisi pabrik karena penerapannya tidak selalu bisa sempurna.

Mengapa?

Istilahnya, teknologi digital itu yang satu bahasa Jawa dan yang lainnya bahasa Sunda. Jadi harus ada harmonisasi. Jangan menganggap teknologi digital itu membuat segala sesuatunya pasti efektif dan efisien. Tidak ada jaminan.

Apa tantangan penerapan revolusi industri 4.0?

Kita harus melihat pertumbuhan industri. Kalau bicara Bogasari, usianya sudah 47 tahun, masih ada mesin yang era 2.0. Mayoritas mesin pabrik di Indonesia masih di antara era 2.0 dan 3.0. Jadi itu butuh proses, bukan seperti Aladin (Dalam dongeng Aladin, sang tokoh Aladin tinggal menggosok lampu ajaib dan jin yang keluar dari dalam lampu itu seketika mengabulkan permintaannya). Sama halnya dengan era 4.0, juga bertahap. Kecuali industri yang baru dibangun, mereka bisa langsung era 3.0 atau bahkan 4.0. Jadi jangan mimpilah.

Pemerintah baru menggenjot penerapan revolusi industri 4.0 tahun ini. Menurut Anda, apakah terlambat?

Pemerintah sudah benar. Di Amerika Serikat saja belum tentu semua pabrik sudah memasuki era revolusi industri 4.0. Mereka menuju era itu. Mempersiapkan platform. Sementara itu, pada 1996, saya sudah melihat pabrik tepung terigu di Afrika Selatan yang tidak ada manusia di dalamnya.

Apakah industri, khususnya makanan dan minuman, bisa menerapkan revolusi industri 4.0 secara menyeluruh?

Pasti bisa, someday. Tapi itu butuh proses. Perubahan ke revolusi industri 4.0 tidak mudah.

Bagian apa yang paling sulit?

Sinkronisasi. Itu membutuhkan kedisiplinan dan konsistensi. Kalau copycat, langsung diganti total, belum tentu berjalan. Artinya harus disinkronisasi dengan sistem yang sudah ada.

Sejauh mana penerapan revolusi industri 4.0 di Bogasari?

Sejak tahun lalu, kami mengoperasikan mesin penggilingan gandum yang siap untuk revolusi industri 4.0. Dari 15 line mesin yang ada, ada 3 line yang sudah siap. Tahun lalu, line pertama jalan. Tahun ini, line kedua. Tahun depan, line ketiga. Semua pengaturan mesin-mesin itu sudah memakai tablet. Semua sensor juga ada di tablet itu. Jadi, kalau ada mesin yang bermasalah, akan ada notifikasi di tablet itu dan ada keterangan apa saja permasalahannya.

Apa bedanya dengan mesin era sebelumnya?

Sebelumnya mesti dihidupkan satu per satu secara manual. Sementara itu, mesin yang sekarang hanya punya satu tombol untuk main power. Operator, yang biasanya mesti memencet tombol-tombol di mesin satu per satu, sekarang harus siap mengoperasikan pengaturan mesin dengan tablet yang terkoneksi dengan jaringan Internet. Jadi tergantung jaringannya juga. Kalau jaringannya hilang, jebret. Soal ketersediaan jaringan Internet ini juga menjadi tantangan tersendiri.

Berapa besar efisiensi yang Bogasari dapatkan dengan penerapan revolusi industri 4.0?

Kami menghitung dari sisi throughput capacity. Dengan jumlah tenaga kerja yang sama, kapasitas produksi jadi jauh lebih tinggi. Tadinya satu line mesin penggilingan gandum hanya berkapasitas 800 ton per hari. Saat ini kapasitasnya menjadi 1.200 ton per hari.

Apakah besarnya investasi untuk revolusi industri 4.0 sebanding dengan efisiensi yang diperoleh?

Siapa bilang mahal? He-he-he.... Sebenarnya yang memakan waktu adalah proses developing karena percobaan harus dilakukan secara konsisten dan terus-menerus. Bisa saja kita gagal dalam sebuah percobaan. Kegagalan itu mengharuskan kita melakukan percobaan lain untuk memperbaiki.

Berapa banyak pengurangan tenaga kerja setelah pengoperasian sistem baru?

Tidak ada pengurangan orang sama sekali. Dipikir harga selangit bisa mengurangi orang? Itu bukan jaminan. Contohnya kasus tidak presisinya suplai bahan pendukung untuk pengemasan. Ternyata kantong tepung terigunya lengket, tidak bisa dibuka. Itu tetap memerlukan orang untuk menyortir. Jadi walaupun kami sudah masuk ke era 4.0, kalau suplainya belum siap dengan tuntutan kepresisian tadi, sama saja.

Ada pemangkasan shift kerja?

Tidak, tetap tiga shift. Cuma, orangnya bisa tidur, tuh. Kalau pengaturan mesinnya makin bagus, dia makin punya waktu untuk beristirahat. Nanti saya bikin kamar tidur saja di sana, he-he-he....

Para karyawan butuh pelatihan khusus?

Belajar secara langsung di lapangan. Itu kan memakai tablet. Jadi sama seperti mengoperasikan ponsel baru. Apakah Anda perlu kursus? Pasti sembari jalan.

Banyak pihak mengatakan kecerdasan mesin akan menggantikan manusia. Anda setuju?

Masih panjang perjalanan untuk menuju ke sana, mungkin 20, 30, bahkan 50 tahun lagi. Kok, hari ini sudah fobia? Memang ada perbedaan keahlian yang dibutuhkan, tapi itu tuntutan. Karena itu, dunia pendidikan harus bisa berubah, kurikulum harus bisa berubah. Kurikulum SD sekarang dengan kurikulum saat saya SD dulu kan masih sama, berhitung, membaca, menghafal supaya bisa menyontek. Artinya, tidak berubah. Padahal dunia sudah berubah.

Apa masukan Anda bagi pemerintah terkait dengan vokasi?

Ngomong gurunya dulu deh, baru ngomong sekolah vokasinya. Guru sekolah vokasi yang ada saja tidak punya pengalaman kerja. Artinya, dia tidak tahu realitas di dalam industri. Kalau gurunya belum pernah bekerja, lalu mengajari muridnya yang juga belum pernah bekerja, sama-sama bodoh, dong. Kalau gurunya belum pernah magang, lalu muridnya magang, besok muridnya kurang ajar sama gurunya karena lebih pintar, ha-ha-ha....

Apa rencana investasi perusahaan ke depan terkait dengan penerapan revolusi industri 4.0?

Ekspansi mesin baru pasti menuju era 4.0.

Ada penambahan kapasitas pabrik?

Sudah dalam perencanaan. Kami akan menambah kapasitas produksi pabrik di Cibitung, Jawa Barat, menjadi 1.500 ton per hari.

Apakah rencana ekspansi pabrik tersebut sejalan dengan pertumbuhan industri tepung terigu?

Dalam 10 tahun, pertumbuhan industri kurang-lebih 5 persen. Tapi, per tahun, ada yang kurang dan ada yang lebih dari itu, misalnya 2 persen dan 7 persen.

Pertumbuhan itu tergolong lambat?

Cukup okelah. Nanti kami dimarahin kalau banyak impor gandum, ha-ha-ha.... Kalau impor melonjak, orang ribut bahwa itu membuang devisa. Masyarakat juga berharap Indonesia punya ketahanan pangan. Jadi kita mesti memanfaatkan produk-produk dalam negeri. Tapi saya lahir di gandum. Apakah salah saya bertahan di gandum? Kan, tidak berarti saya menutup mata terhadap sumber-sumber dari dalam negeri.

Bukankah impor gandum pada semester I 2018 turun dibanding semester I tahun lalu?

Itu karena penurunan impor gandum untuk industri pakan ternak. Selain itu, penurunan impor gandum disebabkan oleh harga yang naik.

Berapa proyeksi impor gandum tahun ini?

Sekitar 8,5 juta ton untuk industri tepung terigu, naik sekitar 5 persen dibanding tahun lalu.

Kenaikan itu karena kebutuhan meningkat?

Saya belum bisa menjawab karena harga gandum yang termurah melonjak cukup tinggi. Hingga 40 persen dalam enam bulan terakhir. Australia (pemasok gandum dunia) gagal panen sehingga produksinya turun sekitar 10 juta ton.

Apakah kita akan terus bergantung pada gandum impor?

Gandum memang tidak ditanam di sini. Bukan karena gandum tidak bisa ditanam di Indonesia. Tapi gandum memang tidak termasuk dalam perencanaan pemerintah untuk ditanam.

Bisakah bahan baku tepung terigu diganti dengan hasil alam lokal?

Kalau bahan dasar diganti, walaupun bentuknya sama, pasti rasanya lain. Kita bisa bikin mi dari tepung tapioka, tepung beras, tepung sagu, tapi namanya lain, seperti bihun dan sohun. Identitas mi adalah tepung terigu. Celakanya, para pakar kita berlagak bodoh. Seharusnya mereka tahu istilah komposit.

Pernahkah Indofood membuat mi instan berbahan baku selain tepung terigu?

Saya belum pernah melihat.

Mengapa tidak mencoba?

Apakah pasokannya cukup? Misalnya bikin mi dari tepung tapioka, yang berbahan dasar singkong. Saat ini, belum ada singkong yang produksinya masif dan terstandar. Selain itu, kita masih impor singkong. Jadi sama saja.

Dengan harga gandum dunia meningkat 40 persen, apakah harga tepung terigu naik setinggi itu?

Bisa. Harga sudah naik sejak Juli sebesar 12-15 persen sampai bulan ini. Tapi kenaikannya sedikit demi sedikit, sekitar 3 persen, supaya konsumen tidak kaget.

Kenaikan itu akan mempengaruhi harga Indomie?

Tergantung peranan tepung terigu dalam Indomie. Memangnya pembentuk harga Indomie hanya harga tepung terigu? Paling-paling tepung terigu hanya menyumbang sekitar 30 persen. Yang lainnya, ada bumbu, packaging, dan sebagainya.

Apakah kenaikan harga mi instan dan tepung terigu bisa menekan daya beli masyarakat bawah?

Mi instan ada banyak. Ada Indomie, Sarimi, Supermi, Mie Sedaap, Mie Gaga, Migelas, dan sebagainya. Jadi konsumen punya pilihan.

Tapi Indomie punya pangsa pasar terbesar....

Kalau konsumen merasa itu yang paling enak, apalah bedanya kenaikan harga yang cuma sedikit. Ha-ha-ha....

Adakah penurunan permintaan tepung terigu?

Dalam semester I tahun ini, permintaan masih naik 5-6 persen. Saya tidak tahu apakah semester ini akan menurun. Kuartal III ini belum terlalu terasa. Mungkin kuartal IV nanti akan lebih terasa.

Pemerintah mengatakan ketahanan pangan kita masih bagus, meski impor tinggi. Anda sependapat?

Ketahanan pangan tidak sama dengan swasembada pangan. Di dunia, tidak ada negara yang mampu berswasembada pangan. Kenapa? Iklim bisa berubah, gagal panen bisa terjadi. Sementara itu, menurut undang-undang, ketahanan pangan adalah kondisi di mana barang selalu ada dengan harga yang stabil dan terjangkau. Tidak mengatakan dari mana. Silakan saja kalau politikus mau mempolitisasi.

Dari sisi dalam negeri, apa hal paling krusial untuk menjaga ketahanan pangan?

Kalau bicara ketahanan pangan dari sisi suplai dalam negeri, tentu ada hal-hal yang harus diperhatikan, yakni kesejahteraan petani, keterbatasan lahan, dan perubahan iklim. Dengan suhu yang meningkat, ancaman gagal panen bertambah besar. Untuk menghadapi semua tantangan itu, yang terpenting adalah bibit. Ketahanan bibit sama dengan ketahanan pangan. Sebenarnya Indonesia punya lebih dari 250 jenis bibit. Tapi bibit dijadikan bisnis oleh pemerintah.

Bisnis seperti apa?

Selama ini bibit disubsidi oleh pemerintah. Tapi mengapa rata-rata produksi beras kita hanya 4-5 ton per hektare? Bibit apa yang disubsidi? Mengapa petani tidak diberi bibit yang bisa memproduksi beras 10 ton per hektare, padahal ada? Kalau petani bercocok tanam dengan bibit yang bisa memproduksi beras lebih tinggi, dia akan lebih sejahtera.

Artinya, ada yang salah dalam kebijakan di sektor pertanian kita?

Ada hal-hal yang tidak benar dalam peta jalan kita. Segala sesuatunya dimulai dari bibit. Kalau bibit tidak pernah benar, kapan kita bisa punya ketahanan pangan?

Adakah hubungan antara persoalan bibit dan ketidaksesuaian data produksi beras serta luas panen Kementerian Pertanian?

Lebih baik luas panen diperbesar sehingga subsidi lebih gede. He-he-he....

Apakah Anda pernah membicarakan masalah data ini dengan pemerintah?

Dua bulan setelah Presiden Joko Widodo dilantik, pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia menghadap. Hal nomor satu yang saya bicarakan saat itu adalah tidak tepatnya data beras. Buktinya, data Badan Pusat Statistik yang baru kemarin berbeda jauh dengan data Kementerian Pertanian. Menurut BPS hanya sekitar 9 juta hektare, menurut Kementerian Pertanian mencapai sekitar 15 juta hektare. Kenapa? Karena menghitung subsidi bibit dan pupuk dari situ.

 

Franciscus Welirang | Tempat dan tanggal lahir: Padang, Sumatera Barat, 9 November 1951 | Pendidikan: Diploma Teknik Kimia Institute South Bank Polytechnic, Inggris (1974) | Karier: Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Kepala Divisi Bogasari (1995-sekarang), Wakil Direktur PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (2011-sekarang), Komisaris PT Unggul Indah Cahaya Tbk (2011-sekarang) | Organisasi: Ketua Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (2000-sekarang), Ketua Komite Ketahanan Pangan Kamar Dagang dan Industri Industri (2008-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus