Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Djalan Baru yang Kandas

Kegagalan aksi PKI 1948 di Madiun berujung dibantainya ribuan pengikutnya. Djalan Baru Musso akhirnya kalah.

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU malam, pertengahan 1950. Embun menyergap tubuh Soemarsono ketika ia bergegas keluar dari sebuah rumah di Sentiong, Gang Tengah, Matraman, Jakarta. Bekas Gubernur Militer Pemerintah Front Nasional Daerah Madiun itu rupanya diusir Alimin, Koordinator Departemen Agitasi Propaganda Politbiro Central Comite Partai Komunis Indonesia (CC PKI). Pertemuan di rumah anak Alimin itu ditandai dengan perdebatan keras. ”Alimin tak suka kesetiaan saya pada Djalan Baru kawan Musso,” kisah Soemarsono kepada Tempo, awal September lalu.

Soemarsono, yang ketika itu berusia 28 tahun, datang sembunyi-sembunyi. Tentara sedang mencarinya karena dia pelaku peristiwa yang disebut-sebut sebagai pemberontakan PKI Madiun 18 September 1948. ”Alimin menguji, strategi apa yang akan saya pakai jika saya menjadi pimpinan PKI,” kata Soemarsono.

Alimin ternyata tak sepaham dengan Musso. Untuk membuktikan Musso keliru, Alimin menceritakan sebuah mimpinya. Suatu malam Jumat Kliwon, dia berjalan kaki menerabas hutan dari Solo ke Semarang. Di tengah hutan, karena sangat lelah, Pono, salah satu tokoh PKI pada masa itu, menggendong dia. Langkah mereka terhenti ketika terdengar bunyi menggelegar dari dalam tanah yang merekah. Lalu suara Musso keras terdengar, ”Min, aku salah.” Alimin menafsirkan mimpinya sebagai penyesalan Musso karena gagal memimpin PKI.

Soemarsono tertawa mendengar tamsil itu. Alimin marah dan mengusir tamunya. Soemarsono punya alasan membantah Alimin. ”Orang komunis kok percaya yang gaib. Dulu dia juga mau ditonjok Musso karena kurang radikal, suka main perempuan.”

Kejadian malam hari di Sentiong itu merupakan potret krisis kepemimpinan di tubuh PKI setelah Peristiwa Madiun. Pemimpin partai dan ribuan kader dibunuh tentara Republik dan rakyat antikomunis. Penjara dipenuhi pengikut paham komunis. Mereka yang lolos tiarap, seraya mencari hidup dengan menyamar.

Padahal tujuh belas hari sebelum aksi Madiun, PKI masih kelihatan utuh. Politbiro CC PKI baru terbentuk. Sekretariat umum dijabat Musso, Maroeto Daroesman, Tan Ling Djie, dan Ngadiman. Departemen Buruh dikendalikan Harjono, Setiadjid, Djoko Sudjono, Abdul Madjib, dan Achmad Sumadi. Urusan tani dipegang A. Tjokronegoro, D.N. Aidit, dan Sutrisno. Kepemudaan diurusi Wikana dan Soeripno. Amir Sjarifoeddin memimpin Departemen Pertahanan. Agitasi dan Propaganda diurus Alimin, Lukman, dan Sardjono. Departemen Organisasi dipegang Sudisman. Departemen Luar Negeri dikendalikan Soeripno. Perwakilan sekretariat dijabat Njoto dan bendahara diserahkan kepada Ruskak. Djalan Baru yang ditulis Musso di Yogyakarta pada Agustus 1948 menjadi pedoman partai. Tapi semua berantakan begitu cepat setelah Peristiwa Madiun. Alimin, Tan Ling Djie, Wikana, Sudisman, Aidit, Njoto, dan Lukman hanya sebagian kecil dari pentolan partai yang selamat.

PKI mendapat ”napas baru” pada pertengahan 1949. Debat panjang dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) akhirnya memutuskan memberikan hak hidup kepada PKI. Partai palu-arit itu diminta turut mempertahankan Republik yang hendak diacak-acak Belanda lagi. Argumen yang berkembang di KNIP: di negara-negara Barat partai komunis dibiarkan hidup, maka di Indonesia juga tak boleh dibinasakan. ”Spiritnya berjuang bersama-sama,” kata Rosihan Anwar, wartawan koran Siasat, yang meliput sidang-sidang KNIP.

Surat keputusan pemberian maaf kepada PKI ditandatangani Menteri Kehakiman Soesanto Tirtoprodjo, 7 September 1949. Isinya: pemerintah tidak akan menuntut PKI, tapi mereka tak boleh terlibat tindakan kriminal. Secarik kertas itu menjadi ”tiket” bagi para kamerad partai komunis untuk keluar dari gua-gua persembunyian.

PKI pun menobatkan Alimin sebagai pemimpin sementara. Pemimpin baru ini punya konsep perjuangan yang berbeda dengan Musso. Alimin berpikiran PKI hanya perlu hidup sebagai partai kecil tapi dengan anggota yang militan dan menyebar ke semua organisasi massa. Kemudian semua anggota dan organisasi massa itu diikat dalam sebuah front untuk meneruskan revolusi. Konsep Alimin ini bertolak belakang dengan Djalan Baru Musso yang radikal dan terbuka. Kaum muda, seperti Aidit, Lukman, dan Njoto, cenderung mengikuti ”kawan” Musso.

Pengikut garis Musso ini kemudian mendirikan open office di Jakarta bersama Sudisman. Sisa Politbiro CC PKI lama, seperti Wikana dan Tan Ling Djie, tak dilibatkan. Hanya Alimin yang dijadikan formatur. Soemarsono juga ditinggalkan karena dinilai terlalu yakin pada perjuangan bersenjata. ”Tak ada yang berani melawan Aidit. Semua yes man saja. Saya lebih senior tapi sulit berdebat dengan Aidit. Saya lebih suka mengalah,” ujar Soemarsono mengenang suasana ketika itu.

Kongres PKI pada 1951 menunjuk Aidit-Lukman-Njoto menjadi ketua satu, dua, dan tiga Politbiro CC PKI. Kaum tua diberi jabatan tak penting. Belakangan, Alimin mundur dan digantikan Sakirman. Sejak kongres inilah perjuangan lewat parlemen dan akselerasi merebut hati rakyat digulirkan PKI.

Ketika Presiden Sukarno melantik anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat, 15 Februari 1950, PKI mendapatkan jatah kursi. Saat itu PKI membuka dialog dengan unsur agama dan nasionalis, seperti Partai Sarekat Islam Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Nasional Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, dan Partai Murba.

Pada 15 Agustus 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Eksistensi PKI semakin kuat, kedudukannya di parlemen kian kukuh. Larissa M. Efimova, dalam bukunya, Dari Moskow ke Madiun, mencatat pada waktu itu Uni Soviet tidak mengirim ucapan selamat atas terbentuknya NKRI. Pertukaran nota dan telegram soal hubungan Soviet-Indonesia juga tak ada. Tapi PKI tak ambil pusing.

Sikap kritis kepada pemerintah terus dikembangkan. Dalam sidang parlemen pada Oktober 1951, PKI menolak Konferensi Meja Bundar. PKI ikut serta mendukung mosi Hadikusumo yang mengkritik lemahnya pemerintah. Gara-gara mosi itu, Perdana Menteri Natsir akhirnya mundur. Penandatanganan mutual security act pemerintah Indonesia-Amerika juga tak luput dari serangan PKI. Partai palu-arit beranggapan pakta itu akan menjadi legitimasi untuk menguras sumber daya alam Indonesia.

Dalam kongres pada 1954 di Malang—ketika, konon, disediakan kursi kosong untuk Stalin, pemimpin komunis Soviet—PKI mengamanatkan partai untuk menguasai desa, kota, dan tentara. Petani dan buruh diperintahkan menjadi perwakilan untuk meluaskan pengaruh di desa dan kota. Semua organisasi onderbouw PKI didorong menjadi alat propaganda partai.

Hasilnya tak sia-sia. PKI menjadi pemenang keempat Pemilihan Umum 1955 dengan meraup 16,4 persen—di bawah PNI yang meraih 22,3 persen, Masyumi dengan 20,9 persen, dan Nahdlatul Ulama yang merebut 18,4 persen. Resep keberhasilan PKI, menurut Harry Albert Poeze, Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara, adalah kepemimpinan Aidit-Lukman-Njoto yang berhasil memulihkan kepercayaan rakyat dari trauma terhadap PKI.

Dalam bukunya, Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949, Poeze melukiskan peran trio itu sebagai pembersih noda Peristiwa Madiun. ”Pembersihan” itu, misalnya, dilakukan lewat koran Bintang Merah yang menulis peringatan dua tahun peristiwa Madiun. ”Media yang diasuh trio Aidit-Lukman-Njoto itu menyebut Musso tidak memberontak atau bercita-cita mendirikan negara Soviet,” kata Poeze. Tahun berikutnya, Bintang Merah memuat artikel ”Tiga Tahun Provokasi Madiun”, yang ditulis Mirajadi—nama samaran Sudisman. Departemen Agitasi Propaganda PKI tak ketinggalan dalam proyek ini dengan menerbitkan buku putih Peristiwa Madiun pada 1953. Kata pengantarnya ditulis Aidit. Dalam resolusinya, Aidit menuding Sukarno-Hatta-Natsir provokatif dan kejam menyikapi Peristiwa Madiun. Gara-gara resolusi itu, Aidit diajukan ke meja hijau 14 Oktober 1954, dengan tuduhan menghina Wakil Presiden Hatta.

Di persidangan Aidit membuat gempar dengan menyebut Musso komunis patriotis. Ruang sidang geger. Hakim sampai memukul-mukulkan palu untuk minta pengunjung kembali tenang. Dukungan untuk membebaskan Aidit mengalir deras. ”Empat ribu surat dan telegram yang diorganisir PKI dikirim ke pengadilan,” ujar Poeze. Tapi hakim tetap memvonis Aidit tiga bulan penjara bersyarat dengan enam bulan masa percobaan.

Menjelang Pemilu 1955, pidato pembelaan Aidit diterbitkan kembali, tapi dirampas penegak hukum. Pemerintah melarang peringatan Peristiwa Madiun. Dalam naskah pidatonya di sidang DPR pada 11 Februari 1957, Aidit kembali membela Musso. Alhasil, ”PKI tak kenal lelah untuk membantah tuduhan coup d'etat Madiun,” kata Harry Poeze. ”Tapi saya percaya rencana itu ada.”

Djalan Baru Musso kandas di Madiun. Dan kita tak pernah menyaksikan apa yang ditulis sebagai kalimat terakhir Djalan Baru menjadi kenyataan: ”Kaum Bolsjewik Indonesia akan dapat merebut benteng yang terancam bahaya, yaitu benteng Indonesia Merdeka”. Toh, konsep itu—seperti juga ”induk”-nya, yakni komunisme—niscaya tak pernah mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus