Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bonnie Triyana
Sejarawan dan Pemimpin Redaksi Majalah Historia Online
MATU Mona menggambarkan Paul Mussotte, nama bagi karakter Musso dalam roman Patjar Merah Indonesia, sebagai orang terkenal, pemberani, dan jago berpidato. Menurut Soemarsono, tokoh pemuda Angkatan ’45, Musso dikenalnya sebagai tokoh yang teguh memegang prinsip betapapun nyawa taruhannya. Indonesianis Ruth McVey menempatkan Musso, selain Alimin, sebagai tokoh penting di balik kebangkitan PKI pada 1920-an. Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (2005) menyamakan Musso dengan Haji Misbach, yang ”senang amuk-amukan” dan sedikit nekat.
Nama Musso diliputi kisah kelam pemberontakan yang tiada berkesudahan. Dia, bersama sepuluh pemimpin PKI lainnya, menggagas perlawanan rakyat terhadap otoritas kolonial pada 1926. Kemudian, pada 1948, ia dipersangkakan sebagai orang yang hendak mendirikan Republik Soviet-Indonesia di Madiun dan mengkudeta pemerintahan Sukarno-Hatta. Apakah Musso tak punya kisah lain dalam sejarah Indonesia?
Sebagaimana aktivis politik di zaman itu, Musso membagi kesetiaannya kepada Insulinde, Sarekat Islam, dan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging. Bersama Alimin, Musso ditangkap oleh pemerintah kolonial atas tuduhan terlibat insiden Afdeling-B pada 1919. Insiden itu dipicu oleh resistensi Haji Hasan dari Cimareme, Garut, yang menolak membayar pajak padi kepada pemerintah.
Sarekat Islam mengalami radikalisasi sebagai konsekuensi masuknya unsur-unsur kiri ke organisasi itu dan mendadak jadi incaran pemerintah. Sederet tokoh Sarekat Islam, yang sudah terpecah dua, SI Merah dan SI Putih, ditangkapi pemerintah kolonial. Musso pun ditekan untuk mengakui peran H.O.S. Tjokroaminoto dalam insiden Afdeling-B. Namun, berbeda dengan Alimin yang mengakui bahwa dia berbohong demi menyelamatkan Tjokroaminoto, Musso berkeras menyatakan di depan pengadilan bahwa pemimpin karismatis rakyat Jawa itu sama sekali tak terlibat, kendati pada akhirnya Tjokroaminoto tetap ditangkap.
Sikap Musso terhadap Belanda di kemudian hari terpengaruh oleh perlakuan yang kurang menyenangkan yang didapatnya dalam penjara kolonial. Pengalaman traumatis itu menumbuhkan kesumat di dalam hatinya kepada Belanda. Pada 1923, dia dan Alimin dibebaskan dari penjara. Mereka lantas memegang kendali partai dan mulai memainkan peran penting dalam memperbesar jaringan partai dan pengaruhnya terhadap rakyat. Alimin aktif mengorganisasi pelaut dan buruh pelabuhan di Tanjung Priok, sementara Musso mereorganisasi PKI Batavia (Michael C. Williams, 2003). Peran Musso sangat strategis, terlebih apabila melihat kenyataan bahwa daerah garapannya berada di wilayah yang bukan basis komunis.
Di beberapa daerah, PKI mendapat resistensi karena dianggap kontradiktif dengan ajaran Islam, tak terkecuali di Banten, yang terkenal dengan ortodoksinya. Namun, di bawah kendali Alimin-Musso, daerah yang dikenal puritan itu justru menjadi sentra pendukung partai yang dominan. Bahkan PKI Banten mengubah pandangannya terhadap Islam yang semula netral menjadi hiper-religius. Hal tersebut ditunjukkan dengan tindakan tegas terhadap Puradisastra, ketua PKI setempat yang menunjukkan sikap kurang simpatik dengan meminum secangkir kopi sebelum azan magrib tiba saat bulan puasa.
Dalam jangka waktu setahun setelah pembebasannya, duet Musso-Alimin berhasil meluaskan jangkauan pengaruh PKI di Jawa Barat. Pertemuan demi pertemuan diselenggarakan secara rahasia demi menghindari tindakan otoritas kolonial yang semakin represif. Setelah kongres istimewa di Kotagede, Yogyakarta, pada 1924, partai telah mantap memilih aksi bersenjata dalam rangka revolusi. Kongres juga sepakat membangun organisasi ilegal dan keputusan itu disetujui dalam rapat pimpinan PKI pada Maret 1925. Salah satu pertemuan terpenting adalah Konferensi Prambanan 25 Desember 1925 yang menghasilkan keputusan berontak melawan Belanda. Musso hadir dalam pertemuan itu.
Sejarah mencatat pemberontakan berlangsung pada November 1926 di Banten dan Januari 1927 di Silungkang, Sumatera Barat. Musso tak berada di Indonesia saat kejadian itu meletus. Ia telah pergi ke Singapura dan lantas ke Moskow guna mencari dukungan Soviet. Tapi api revolusi yang berkobar padam sebelum waktunya. Dugaan Tan Malaka benar, kondisi obyektif sebagai prasyarat sebuah revolusi belum terlalu matang untuk dipetik. Otoritas kolonial pun menghabisi PKI sekali pukul. Namun dari sini bisa dilihat bagaimana kerja Musso cum suis membesarkan partai: ratusan ribu orang menyerahkan kartu anggotanya saat pemerintah Belanda meminta mereka menyerahkan diri.
Musso baru datang kembali ke Indonesia pada 1935 dan langsung menuju Surabaya. Di sana ia memulai upaya menyatukan serpihan kekuatan PKI yang tercerai-berai dengan mendirikan CC PKI dan menunjuk sendiri orang-orang yang menjalankan partai secara ilegal, yakni Pamudji, Azis, Sukajat, dan Djoko Soedjono. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai PKI 1935, merujuk ke tahun kedatangan Musso. Tokoh muda Amir Sjarifoeddin, yang kelak memegang peran penting di Republik yang masih belia, termasuk kader binaan Musso. Ketatnya pengawasan dinas rahasia pemerintah kolonial dan ”karena faktor kecerobohan… konsolidasi PKI itu terbongkar oleh Belanda,” tulis Sok Hok Gie (2005: 25).
Pekerjaan Musso menyatukan gerakan PKI bawah tanah ini harus dinilai sebagai suatu jasa yang cukup besar dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia terhadap fasisme Jepang. Seperti diketahui, selang tujuh tahun setelah kedatangannya, Jepang menduduki Indonesia. Kelompok yang paling aktif dalam menentang fasisme itu adalah PKI ilegal bentukan Musso. Sejumlah sabotase dan perlawanan seperti yang terjadi di Singaparna dan Indramayu erat kaitannya dengan kelompok ini. Beberapa orang dari mereka tertangkap, bahkan dieksekusi oleh Jepang. Sebagian, seperti Widarta cs, meneruskan perlawanan di bawah tanah terhadap Jepang.
Musso baru datang lagi ke Indonesia pada 11 Agustus 1948 dengan menyamar sebagai sekretaris Soeripno, utusan pemuda dalam International Union of Student di Praha yang berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan Uni Soviet. Kepulangannya ke Indonesia kembali membawa misi menyatukan gerakan kiri yang terserak karena konflik internal dan tindakan represi Jepang. Menurut Gie, kedatangan Musso disambut dengan tangan terbuka bagaikan ”juru selamat” di tengah suasana frustrasi dan kebingungan PKI yang membutuhkan pemimpin baru.
Partai Komunis Indonesia memang masih tetap dalam identitasnya yang samar. Partai ini masih ilegal dan tak sempat menghadirkan diri sebagai partai legal segera setelah Indonesia merdeka. Padahal, melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X/1945, berbagai kelompok politik di Indonesia diperbolehkan mendirikan partai politik. Aktivis PKI yang masih terus di bawah itu terlalu sibuk dengan saling klaim siapa yang paling sah. Alih-alih bersatu di bawah panji palu-arit, mereka saling cakar. Widarta merasa dirinya paling sah, demikian pula Sardjono, Mr Yusuf, dan Amir Sjarifoeddin.
Keadaan itu mendapat reaksi keras dari Musso. Ia mengatakan bahwa tidak dimengertinya keadaan politik setelah proklamasi Indonesia membuat PKI tetap dalam jubah penyamarannya di bawah tanah. Padahal, menurut Musso, itulah saat yang tepat bagi PKI untuk memunculkan diri ke hadapan rakyat dalam wajah yang legal. Musso menganjurkan PKI kembali sebagai partai pelopor kelas buruh; PKI kembali ke tradisi sebelum dan selama Perang Dunia II dan meraih hegemoni sebagai pemimpin revolusi nasional Indonesia.
Setiba di Yogyakarta, Musso melontarkan gagasan supaya partai-partai politik yang berbeda menyatukan diri dalam Front Nasional untuk menghadapi Belanda. Ia mengadakan koreksi total terhadap gerakan PKI dan koreksinya itu dikenal sebagai Djalan Baru untuk Republik Indonesia. Musso agaknya mafhum bahwa persatuan mutlak dibutuhkan agar revolusi Indonesia tidak salah jalan. Dia mengutip Friedrich Engels bahwa revolusi akan gagal jika tidak diadakan perubahan yang radikal, sementara revolusi Indonesia tidak melakukan itu. Kesalahan kedua menurut Musso terjadi karena pemimpin revolusi tidak berasal dari golongan buruh sebagai kelompok yang paling revolusioner (Gie, 2005: 226).
Tapi, menurut Soeryana dalam catatannya tentang kedatangan Musso, upaya Musso menyatukan kekuatan kiri tak berlangsung mulus karena ulah Musso sendiri yang membawa isu Trotskyisme ke dalam negeri. Kesalahan itu menyebabkan Musso kehilangan kesempatan untuk merekrut kader-kader terbaik dari Partai Murba dan Angkatan Komunis Muda (Akoma). Perseteruan dengan golongan Tan Malaka yang sering distigmatisasi sebagai Trotskyis itu sudah bermula pada 1926. Padahal ada beberapa kesamaan cara pandang yang mereka miliki dalam soal menghadapi Belanda: mereka berdua tak setuju jalan perundingan dan memilih merebut perjuangan dengan cara bersenjata; mereka berdua sama-sama khawatir bahwa Republik yang masih muda akan jatuh ke pangkuan penjajahan dalam bentuknya yang baru.
Konflik itulah yang agaknya dimanfaatkan secara baik oleh pemerintah Hatta untuk bisa mengontrol gerakan Musso. Kelompok Tan Malaka yang dipenjara karena insiden 3 Juli 1946 pun dilepaskan untuk mengimbangi aksi Musso. Pergesekan itu semakin panas dan berujung pada Peristiwa Madiun, September 1948. Sukarno pun menyampaikan pidato ”Pilih Musso atau Sukarno-Hatta?”. Musso jadi buruan. Pada 31 Oktober 1948, dia tewas dalam sebuah baku tembak dengan TNI di daerah Ponorogo.
Setelah itu, nama Musso tenggelam dalam tuduhan sebagai pemberontak nista yang meletupkan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia pada 1948. Sejarah hanya merekam kisah hitam hidupnya tanpa pernah melihat sisi lain dari perannya sebagai aktivis politik yang menentang fasisme, imperialisme, dan kolonialisme. Sama seperti tokoh lain yang terselip hitam di antara putihnya, Musso punya jasa untuk bangsa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo