Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Driyarkara dan Sila Kedua

Film ini menelusuri kembali secara sederhana riwayat hidup Driyarkara. Kurang menampilkan sosok sang filsuf.

1 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Driyarkara, Filsuf dari Kedunggubah
Sutradara: Marselli Sumarno
Produksi: Visinema, 2013
Penata kamera: Agra Anom Purbawa, Harry Sinthu
Penyunting: Harry Sinthu, Budi Wibawa

Sebuah patung dada Nicolaus Driyarkara setinggi 1,5 meter kini tegak di halaman Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jalan Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta. Penyingkapan selubung patung perunggu karya perupa kontemporer Teguh Ostenrik itu dilakukan Ketua STF Driyarkara Simon Petrus Lili Tjahjadi pada awal Juni lalu.

Peresmian patung itu membuka film dokumenter Driyarkara, Filsuf dari Kedunggubah, yang disutradarai Marselli Sumarno, pengajar Institut Kesenian Jakarta, dan diproduksi Visinema. Menurut Marselli, film sepanjang sekitar 40 menit ini hendak mengenalkan pribadi Driyarkara, menapak tilas riwayat hidupnya, dan merekam pandangan para dosen STF Driyarkara tentang pemikiran filosofis Driyarkara serta profil kampus tersebut.

Kamera pun berpindah ke Tugu Yogyakarta, lalu ke Purworejo, sebuah kota kecil di dekat Kota Gudeg. Di dua kota inilah Driyarkara tumbuh dan berkiprah. Driyarkara lahir pada 13 Juni 1913 di Kedunggubah, Kaligesing, Purworejo. "Waktu masih kecil, nama aslinya kan Djentu, nama anak desa biasa. Orang tuanya petani biasa, sederhana," kata Romo F. Danuwinata, SJ, murid Driyarkara dan mantan Rektor Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, memulai kisah Driyarkara di film itu.

Ketika Driyarkara masuk Hollandsche Inlandsche School di Purworejo, orang tuanya mengganti namanya menjadi Soehirman. Belakangan, ketika masuk pendidikan calon imam di Novisiat Serikat Yesus Girisonta, Semarang, dia mengubah namanya menjadi Driyarkara. Dulu memang ada tradisi di novisiat mengganti nama calon imam sebagai bentuk ungkapan batin buat meninggalkan masa lalu dan lahir menjadi manusia baru.

Danuwinata mengisahkan secara ringkas kehidupan Driyarkara. Ada beberapa cerita kecil yang diangkatnya. Termasuk kisah Driyarkara pada 1934, untuk pembukaan Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran di Yogyakarta, memenangi sayembara penerjemahan "Salus Vestra Ego Sum", ungkapan bahasa Latin yang berarti "Keselamatan Kamu adalah Aku". Oleh Driyarkara, ungkapan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebagai "Iyo Ingsun Karahajoniro". Kata-kata itulah yang kini terpahat di kaki patung Hati Kudus di depan Gereja Pugeran.

Marselli juga melengkapi film ini dengan mewawancarai sejumlah pengajar STF Driyarkara tentang pandangan mereka mengenai sosok dan pemikiran Driyarkara. Sumber-sumber itu adalah Franz ­Magnis-Suseno, S.P. Lili Tjahjadi, Mudji Sutrisno, dan M. Sastrapratedja. Tak mudah sebenarnya memaparkan pandangan filsafat Driyarkara dalam komentar-komentar pendek. Tapi film ini memang bukan rekaman kuliah filsafat, jadi penonton diharapkan cukup puas bila hanya mendapat kilasan-kilasan gagasan Driyarkara yang disampaikan para narasumber.

Toh, ada petilan penting dari wawancara Franz Magnis-Suseno, yaitu soal Pancasila. Menurut Magnis, salah satu pemikiran Driyarkara tentang Pancasila adalah ia menganggap sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab", sebagai sila paling penting dalam Pancasila. Menurut Magnis, Driyarkara melihat, semua sila lain harus dijiwai sila kedua ini. Magnis melihat pemikiran itu sangat relevan sampai sekarang. "Sebab, bila Ketuhanan saja dijalani tanpa beradab, bisa jatuh ke fundamentalisme. Bila kerakyatan saja dijalani, bisa menjadi tirani mayoritas," ujar Magnis.

Dari film ini juga didapat informasi bahwa pendirian STF Driyarkara atas usul Prof Dr Slamet Iman Santoso. Kolega Driyarkara di Universitas Indonesia itu, sepeninggal Driyarkara, menyarankan para Jesuit di Jakarta mendirikan sekolah filsafat. Sekolah inilah yang kemudian diberi nama Driyarkara.

Terlalu banyak hal yang hendak direkam film ini, sehingga praktis banyak hal yang tak tuntas. Kita hanya mendapat kilasan-kilasan. Kisah hidup Driyarkara, misalnya, kurang tergali, sehingga peran dan tindakannya tak banyak terungkap.

Kurniawan, SJS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus