Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Repertoar tentang Garuda dan Naga

Sebuah pentas kecak kolosal menandai pembangunan kembali patung Garuda Wisnu Kencana karya Nyoman Nuarta yang selama ini tertunda.

1 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semula hanya kedipan api di kejauhan, tak lama kemudian menjelma genangan nyala dari ratusan obor yang mengalir menuruni ketinggian, disertai kor kecak yang ritmis, membentuk alur dan kelokan yang puitis. Sebuah tata gerak yang mempesona hadirin di panggung raksasa Lotus Pond, kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali, 23 Agustus lalu. Arakan itu mengingatkan pada suasana Bali tempo dulu sewaktu masyarakat beriringan ke pura sambil membawa obor. Dalam dimensi kini, seluruh pertunjukan itu diniatkan sebagai suatu persembahan yang kekhusyukannya diharapkan melampaui tontonan biasa.

Malam itu Nyoman Nuarta, pematung kelahiran Tabanan pada 1951, merayakan pembangunan kembali patung GWK, proyek lama yang bermula dari impian Joop Ave dan dia sendiri, 25 tahun lalu, untuk memadukan modernitas global dan identitas lokal. Proyek itu kini dilanjutkan berkat input investor Alam Sutera Realty Tbk, setelah sekian tahun tertunda oleh berbagai akibat yang bermula dari krisis ekonomi 1997. Patung itu digagas sebagai landmark Pulau Dewata. Terbuat dari lempeng tembaga dan kuningan dengan rangka baja pilihan, GWK bakal mencapai ketinggian 126 meter, yaitu melampaui ukuran Patung Liberty (93 meter). GWK menggambarkan Dewa Wisnu yang tengah mengendarai burung Garuda, sebagaimana kerap ditemui di langit-langit rumah Bali.

Disutradarai oleh Putu Fajar Arcana yang juga menulis skenario Repertoar Garuda Wisnu, pertunjukan kecak kolosal yang menghadirkan ratusan penari di bawah pimpinan Ktut Rina ini khusus diciptakan untuk merefleksikan kehendak Nuarta, menghadirkan suatu karya kekinian yang tetap mengacu pada simbolisme Bali, serta menjadi ruang persilangan budaya lokal, nasional, dan global.

Selain menyuguhkan kecak, pertunjukan yang menampilkan perpaduan musikal dan gerak ini menghadirkan Dewa Budjana, Trie Utami, Maya Hasan, dan Ocha, yang menembangkan lagu-lagu yang menyuguhkan suasana mistis, antara lain Eda Ngaden Awak Bisa (gubahan Maya Hasan), Mantramku (gubahan Trie Utami dan Dewa Budjana yang terilhami dari Mantran Gayatri), serta Karma, yang liriknya khusus ditulis Putu Wijaya, yang dilantunkan Trie Utami (gubahan Dewa Budjana). Kesemarakan dan kekolosalan mencerminkan jiwa kesenian Bali, ketika kegembiraan senantiasa hadir dalam kebersamaan.

Batu pertama GWK diletakkan pada 1997, tapi selama 16 tahun yang dapat diwujudkan baru badan Wisnu tanpa tangan. Proses 25 tahun perwujudan GWK ini mengingatkan kita pada kisah Garuda sebagaimana tertera pada cerita Adiparwa­, ketika sang burung mistis harus mengatasi aneka rintangan sebelum akhirnya mencapai puncak Gunung Indrakila dan memperoleh tirta amerta (air suci kehidupan abadi) dambaannya.

Konon, berdasarkan wiracerita tersebut, semula burung Garuda kecil ada di dalam naungan kasih sayang ibunya, Dewi Winata, yang ditipu dan diperbudak oleh ular yang licik penuh tipu daya sebagai perwujudan kuasa kegelapan. Ibunya dan Sang Garuda dijanjikan kebebasan apabila burung Garuda mendapatkan air suci kehidupan untuk dipersembahkan kepada sang ular yang bernama Kadru. Pencarian yang penuh aral melintang itu mencerminkan transformasi spiritual sosok Garuda yang terbelenggu kegelapan, tapi akhirnya meraih pencerahan.

Boleh jadi ini sebuah kebetulan, bahwa riwayat mitologi burung Garuda tersebut melambangkan tantangan yang dihadapi pula oleh Nuarta dalam mewujudkan pembangunan landmark GWK tersebut. Sebagai penggagas dan kreator, seniman ini mengandaikan semua kesulitan yang dialaminya sebagai ujian. Hal yang serupa dengan rintangan yang dihadapi burung Garuda sebelum akhirnya meraih tirta amerta yang diidamkan.

Pertunjukan malam itu tentu saja terbilang memukau secara visual. Meskipun secara teknis terlihat beberapa kelemahan, semisal adanya stage tersendiri di tengah kelapangan panggung, secara keseluruhan yang menghalangi gerak bebas dari para penari kecak. Tembang dan kidung yang dilantunkan berhasil membawa hadirin ke kedalaman masa lalu.

l l l

Sebagian orang Bali merangkul "konsep pariwisata budaya" dengan keyakinan bahwa tatanan agraris tradisional akan dapat dipertahankan selaras dengan pembangunan pariwisata dan kesejahteraan masyarakat. Kenyataan berbicara lain. Kapitalisasi perekonomian meresap ke semua sudut kehidupan, termasuk kehidupan pedesaan itu sendiri. Ekonomi pertanian surut dan separuh penduduk menjadi urban, serta heterogen secara etnis. Dampak guncangan struktural menyusup tak terhalangi ke segala arah karena tidak adanya kebijakan untuk melawan spekulasi tanah, dan diperkuat pula dengan aliran masuk budaya modern nan "asing" yang kian deras melalui media-media baru.

Dengan sendirinya meluaslah perasaan ketakberdayaan pada sebagian masyarakat, yang melihat ruang agrarisnya semakin terkikis, dan landasan kultural tradisionalnya menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Pengerasan identitas otomatis menyusul. Sejatinya fenomena ini tidak terbatas pada Bali, tapi ditemukan di seluruh dunia. Namun perubahan itu mengambil bentuk khas di pulau ini karena yang justru dijual bukanlah benda, melainkan "budayanya", hal yang kian mengakselerasi proses transformasinya. Tragis, tapi tidak terelakkan.

Akibatnya, ada suatu kecenderungan untuk "memuja tradisi", baik dari mereka yang menikmati hasil penjualan budaya itu maupun dari mereka yang tak berdaya menyaksikan perombakannya. Cuma, nyatanya, alih-alih memulihkan masa lalu, "tradisi" itu merupakan kemodernan yang gagal, yang kurang sigap menanggulangi proses perubahan yang dihadapinya. Ia bersifat mistis. Sedangkan yang dibutuhkan adalah suatu pengendalian efektif dari perubahan, yang memungkinkan masyarakat lokal menjadi pelaku utama dari transformasi ekonomi dan budaya.

Untuk itu, yang diperlukan bukanlah slogan tradisi, melainkan "daging" kebijakan yang tepat, berupa sistem pertanahan yang adil, efisien, dan antispekulasi; sistem perbankan dan perizinan yang berpihak pada investor kecil lokal, serta zoning yang menyelamatkan pemandangan dan memfokuskan pembangunan pada wilayah terbatas.

Sejak awal Nuarta berpihak pada kemodernan. Dia meyakini bahwa Bali membutuhkan landmark ikonik yang dapat mewakili secara modern nilai-nilai Bali dan Indonesia di tataran dunia. Bahkan dia sudah meramalkan Bali akan semakin urban, dan karena itu GWK, yang notabene dibangun di daerah eks galian yang tak berguna, akan terintegrasi dengan sendirinya dalam lanskap urban metropolitan Denpasar yang baru. Ramalannya menjadi kenyataan: kini suatu obyek wisata seperti GWK menjadi kebutuhan obyektif Badung Selatan. Apalagi, dilihat dari jumlah pengunjung untuk bagian torso saja yang sudah berdiri di tempat (2.000-3.000 sehari) tidak diragukan, bila rampung (rencananya dalam tiga tahun), GWK pasti akan menjadi obyek wisata terkemuka Bali.

Pengalaman Nuarta mengingatkan kita pada pendahulunya, Gustave Eiffel. Ketika mengumumkan rencananya membangun Menara Eiffel di Paris pada 1887, insinyur ahli besi ini diserang dari segala arah, bahkan oleh pelukis terkenal seperti Seurat dan Bonnard serta pengarang terkemuka seperti Guy de Maupassant dan Alexandre Dumas. Kini menara ini melambangkan Paris, dan ratusan seniman telah mengabadikannya dalam karyanya. Jadi, bila GWK sudah bangun, tak ayal Nuarta, seperti Gustave Eiffel, akan tampil di masa depan sebagai pelopor dari ikon yang mewakili sekaligus kekhasan Bali dan kebe­ragaman Indonesia.

Tapi impian Nuarta perihal GWK tidak terhenti pada patung ikoniknya. Hasil pemasukannya dari GWK direncanakan bakal dipakai untuk membiayai kegiatan budaya, baik yang bersifat modern maupun yang bersifat pelestarian budaya tradisional. GWK akan menampung museum, menjadi ajang cultural forum, dan menampung data kebudayaan Bali. Bila semua itu sampai terlaksana, tak terbantahkan Sang Garuda-nya GWK telah betul-betul meraih amerta. Ibarat satu repertoar, sebagaimana dilukiskan Putu Fajar Arcana, GWK akan lahir sebagai penanda zaman, ketika manusia modern juga mewariskan karya agung kepada generasi pada abad nanti. Wallahualam.

Jean Couteau, Pemikir Kebudayaan, Tinggal di Bali

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus