Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bersoal Rupa Tata Kelola Migas

Tiga buku memperdebatkan tata kelola migas Indonesia. Ikhtiar mencari pola terbaik.

1 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A to Z Bisnis Hulu Migas
Penulis: A. Rinto Pudyantoro
Penerbit: Petromindo (PT Maha Daya Langit)
Terbit: Cetakan kedua, April 2013
Tebal: 239 halamanHarga: Rp 75 ribu

Migas untuk Rakyat
Penulis: Syaiful Bakhri
Penerbit: Grafindo Khazanah Ilmu
Terbit: Januari 2013
Tebal: 477 halaman
Harga: Rp 99 ribu

Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas
Penulis: Benny Lubiantara
Penerbit: PT Grasindo
Terbit: Cetakan kedua, Maret 2013
Tebal: 260 halaman
Harga: Rp 70 ribu

Industri minyak dan gas adalah penggerak ekonomi nasional. Selama berpuluh tahun industri ini menjadi penyumbang terbesar pendapatan negara. Bahkan, setelah cadangan dan produksi minyak bumi semakin tipis, ketergantungan Indonesia pada migas masih tetap tinggi.

Meski migas menjadi sektor andalan penerimaan negara, sebenarnya tak banyak orang mengerti bagaimana industri ini beroperasi di Indonesia, khususnya di sektor hulu. Referensi buku yang menjelaskan mengenai industri hulu migas tak banyak terdapat di pasar. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman.

Munculnya buku A to Z Bisnis Hulu Migas; Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas; dan Migas untuk Rakyat merupakan satu upaya menjelaskan industri migas dan permasalahannya. Menariknya, buku-buku itu ditulis dari dua kutub yang memiliki pandangan berseberangan mengenai tata kelola migas Indonesia.

Penulis A to Z Bisnis Hulu Migas, S. Rinto Pudyantoro, dan penulis buku Ekonomi Migas, Benny Lubiantara, adalah pejabat aktif di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Kelembagaan SKK Migas saat ini dipersoalkan berbagai kalangan karena dianggap sama saja dengan BP Migas, yang dibubarkan setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi sebagian pasal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.

Kedua penulis mencoba menjelaskan industri migas sekaligus menjawab berbagai tudingan mengenai tata kelola migas yang didasarkan pada undang-undang tersebut. Dari kepemilikan asing di blok migas sampai desakan penggabungan fungsi regulasi dan bisnis kepada Pertamina.

Di kutub berseberangan, Syaiful Bakhri, penulis Ekonomi Migas untuk Rakyat, tergabung dalam kuasa hukum penggugat Undang-Undang Migas di Mahkamah Konstitusi. Buku ini ditulis dengan kerangka berpikir bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 merupakan produk hukum yang didesakkan Amerika Serikat melalui lembaga-lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF). Tujuannya agar perusahaan asing bisa mengeruk keuntungan dari menyedot sumber daya alam Indonesia.

Syaiful menulis, saat ini 85 persen produksi minyak mentah Indonesia dikuasai dan dikelola oleh asing. Penulis juga mengkritik cost recovery yang menggantikan seluruh ongkos operasional yang dikeluarkan perusahaan asing selama eksplorasi migas. Ia menguraikan pengembalian biaya operasional dan penurunan industri migas pada akhirnya berpotensi menimbulkan kerugian negara. Ini terjadi sejak 2001 hingga BP Migas dibubarkan pada 2012.

Dalam A to Z Bisnis Hulu Migas, Rinto menjawab kritik itu. Menurut dia, penguasaan asing di blok migas adalah pemahaman salah. Pemahaman ini muncul karena industri migas disamakan dengan pengelolaan industri pertambangan umum seperti batu bara.

Dalam pertambangan umum, sistem yang berlaku adalah konsesi. Izin pertambangan memberikan hak kepada penambang untuk mengelola sumber daya alam dengan biaya dan risiko yang ditanggung sendiri. Negara tak lagi memiliki hak selain mendapat royalti dan pajak.

Sedangkan di industri migas, sejak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina sampai kemudian digantikan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang migas, kuasa pertambangan ada di pemerintah. Perusahaan, baik nasional maupun asing, yang diminta melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas adalah kontraktor yang bekerja untuk pemerintah Indonesia.

Cuma, bedanya, di undang-undang tahun 1971 kuasa pertambangan pemerintah diwakilkan kepada Pertamina, yang juga merangkap sebagai operator. Sedangkan pada undang-undang tahun 2001, kuasa pertambangan pemerintah diwakilkan kepada BP Migas untuk melakukan pengendalian dan pengawasan di sektor hulu dan BPH Migas di sektor hilir. Sedangkan Pertamina diarahkan berfokus sebagai operator industri hulu dan hilir, tidak lagi dibebani fungsi regulasi.

Rinto juga menjelaskan bahwa cost recovery merupakan kewajaran karena perusahaan yang melakukan eksploitasi migas adalah kontraktor pemerintah. Kontraktor, baik perusahaan asing maupun nasional, harus bekerja dengan lebih dulu menyediakan modal. Kelak seluruh modal yang dikeluarkan akan dikembalikan apabila usaha yang dilakukan berhasil.

Isu lain yang muncul dalam perdebatan di industri migas adalah soal sistem tata kelola. Syaiful menulis, dengan merombak Pertamina menjadi perseroan biasa, negara telah kehilangan alat untuk menguasai, mengatur, menyelenggarakan, dan mengawasi pendayagunaan sumber daya migas kepada BP Migas. Padahal BP Migas, yang kemudian berubah menjadi SKK Migas, bukan badan usaha. Ini menyebabkan tidak adanya jaminan terhadap barang publik. Lebih jauh Syaiful menilai perombakan fungsi ini menyebabkan kemunduran industri migas Indonesia.

Benny di buku Ekonomi Migas punya pendapat berbeda. Ia menulis, dari pengalaman berbagai negara, sistem tata kelola migas sebenarnya tak terlalu berpengaruh terhadap kinerja sektor hulu. Mengutip sebuah penelitian, ia menjelaskan negara seperti Norwegia dan Brasil memiliki industri migas yang maju dengan memisahkan secara tegas tiga fungsi, yaitu kebijakan, regulasi, dan bisnis. Sistem sama saat ini diterapkan Indonesia dengan memisahkan fungsi kebijakan dipegang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, regulasi dilaksanakan SKK Migas, dan bisnis dijalankan perusahaan migas nasional ataupun asing.

Ini berbeda dengan Arab Saudi dan Malaysia, yang memberikan fungsi regulasi dan bisnis kepada perusahaan migas nasional. Model ini juga pernah diterapkan Indonesia pada era Orde Baru saat Pertamina memiliki kekuasaan sebagai regulator selain mengurusi sisi bisnis.

Benny menilai, yang terpenting bukanlah sistem tata kelola yang dipakai, melainkan dukungan pemerintah baik finansial maupun nonfinansial terhadap aktivitas eksplorasi dan produksi.

Ketiga buku ini menarik dibaca untuk memahami perbedaan pandangan soal sistem tata kelola migas Indonesia. Bukan cuma itu, dari buku A to Z Bisnis Hulu Migas dan Ekonomi Migas, kita diajak melihat bagaimana tata kelola dan sistem kontrak migas di negara lain.

Migas untuk Rakyat berisi argumen gugatan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 ke Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, argumen yang disajikan dalam buku ini sering tak didasari fakta-fakta akurat. Di halaman 19, misalnya, ditulis bahwa Indonesia adalah negara kaya minyak. Minyak Indonesia berada di urutan ketiga setelah Arab Saudi. Produksi minyak Indonesia setara dengan 4,17 juta barel per hari.

Padahal, sepanjang sejarah, produksi terbesar minyak Indonesia hanya mencapai 1,6 juta barel per hari. Itu terjadi dua kali, yaitu pada 1977 dan 1995. Setelah itu, produksi menurun sampai di bawah 1 juta barel. Saat ini cadangan minyak Indonesia juga tak banyak, hanya sekitar 3,6 miliar barel, kalah jauh dari Arab Saudi yang memiliki cadangan 265,4 miliar barel.

Terlepas dari kelemahannya, terbitnya buku-buku yang menjelaskan permasalahan industri migas merupakan langkah awal untuk memunculkan pemahaman lebih baik di masyarakat. Dengan pemahaman baik diharapkan akan terbangun sebuah diskusi berkualitas, sebagai upaya mencari pola ideal pengembangan industri migas.

Ade Wahyudi, Deputy Director Lembaga Riset dan Penulisan Ekonomi Bisnis Katadata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus