Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPEREMPAT jam setelah menerima telepon pada Senin pagi pekan lalu, sikap Ketua Partai Golkar Pacitan Effendi Budi Wirawan berubah. Dalam rapat Koalisi Pacitan Bersama untuk menentukan kandidat kepala daerah di Jawa Timur itu, ia meminta menjadi calon bupati, berganti posisi dengan kader PDI Perjuangan, Suyatno.
Suasana rapat menjadi riuh. Sebab, usul disampaikan satu jam sebelum jadwal pendaftaran mereka ke kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah setempat. "Saya mendapat informasi bahwa di Surabaya calon Demokrat yang dimunculkan. Di Pacitan, PDIP yang dipaksa dimunculkan," kata Effendi memberi alasan. Ia menyatakan memperoleh informasi itu dari kolega separtainya.
Perubahan sikap Effendi membuat nasib calon inkumben di kedua kota itu tak menentu. Popularitas Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Bupati Pacitan Indartato yang tinggi menyebabkan partai di luar "perahu" mereka enggan mengajukan calon. Akibatnya, karena hanya ada satu pendaftar, pemilihan di daerah itu terancam mundur hingga 2017.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang mengusung Risma di Surabaya, dan Partai Demokrat, yang mengajukan Indartato di Pacitan, awalnya seolah-olah sepakat "bekerja sama". Demi menghindari calon tunggal, mereka setuju mengajukan kandidat di kedua kota. Namun perubahan di Pacitan memporakporandakan rencana itu.
Perdebatan pecah setelah muncul permintaan Effendi. Rapat di kantor PDIP Pacitan itu dihadiri perwakilan Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai Hati Nurani Rakyat, dan tuan rumah. Effendi berdalih, partainya memiliki kursi di Dewan lebih banyak, yaitu tujuh, dibandingkan dengan PDIP, yang punya enam kursi. Dia juga mengklaim memiliki modal jauh lebih besar daripada Suyatno.
Sebagian besar peserta rapat tak ingin ada perubahan komposisi. Mereka berangkat ke kantor KPUD pukul 15.30. Effendi mengatakan Suyatno sempat berbisik kepadanya, "Aku yo ora usah budal (saya juga tak usah berangkat)." Namun, kata dia, seorang pengurus PDIP mengajak Suyatno berangkat. Suyatno membantah berniat meninggalkan gelanggang. "Teman dari partai lain yang melarang saya berangkat," ujarnya.
Suyatno menuju gedung KPUD semobil dengan para politikus PDIP, yaitu Ketua Pengurus Jawa Timur Kusnadi; anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, Giyanto; serta seorang pengurus pusat. Giyanto memiliki hubungan cukup dekat dengan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan ditugasi "mengawal" misi politik partai itu di Pacitan.
Total 12 mobil dan belasan sepeda motor mengiringi rombongan koalisi. Tapi, di tengah perjalanan, rombongan Golkar dan Gerindra berbelok ke kantor partai beringin. Politikus Gerindra meninggalkan koalisi dengan alasan isu barter politik PDIP dan Demokrat di kedua kota begitu santer. Ketua Gerindra Pacitan Rianto mengatakan Suyatno dan Effendi juga terlihat jeri berlaga menantang inkumben, Indartato-Yudi Sumbogo, yang disokong Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera. "Daripada ragu-ragu, lebih baik mundur," katanya.
Hingga batas akhir pendaftaran pukul 16.00, Effendi tak muncul. KPU memberi tambahan waktu 25 menit sampai selesai rapat koordinasi internal komisi penyelenggara pemilihan itu. Effendi sama sekali tak menjawab panggilan telepon. "Diangkat tapi tak ada suaranya," ucap Nur Sigit Efendi, Ketua Hanura Pacitan. KPU pun menolak pendaftaran mereka. Walhasil, hanya ada satu kandidat pendaftar di Pacitan.
PERISTIWA di Pacitan beresonansi ke Surabaya. Pemilihan di kota ini seolah-olah bakal diikuti dua pasangan ketika Demokrat dan Partai Amanat Nasional berkoalisi. Mereka mengajukan Dhimam Abror Djuraid, mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Timur, dan Haries Purwoko, Ketua Pemuda Pancasila Surabaya.
Pada hari terakhir pendaftaran, Senin pekan lalu, tanda-tanda pasangan itu berantakan terasa sejak pagi. Sampai siang, Haries tak bisa dihubungi. Malam sebelumnya hingga Senin dinihari, Abror dan Haries bertemu dengan pengurus kedua partai di Hotel Shangri-La Surabaya. Abror, yang hendak mengajak Haries mengambil surat rekomendasi dari Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di kantor Gubernur Soekarwo pada pukul 13.00, tak kunjung bisa menelepon calon pasangannya itu.
Haries juga tak bisa ditemui di rumahnya. Abror memberitahukan situasi itu kepada Soekarwo, yang kemudian menghubungi La Nyalla Mattalitti guna mengetahui keberadaan Haries. Semua tahu, Haries merupakan orang dekat Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia itu. Benar saja, atas perintah La Nyalla, Haries sepakat datang ke Masjid At-Thohiriyah, Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya, pukul 14.30. Abror dan Haries lalu berjalan kaki menuju kantor KPUD.
Setiba di kantor penyelenggara pemilihan, rombongan Abror dan Haries disambut Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana. Whisnu telah mendaftar untuk kembali menjadi calon wakil wali kota pendamping Tri Rismaharini. Ketika mereka hendak bersalaman, seseorang berteriak dari kerumunan massa PDIP yang ikut hadir, "Iki golekane teka (ini bonekanya datang)."
Abror dan Haries tetap bersama-sama menuju kantor KPUD. Namun beberapa kali Haries menerima telepon sekitar pukul 16.00. Hampir setengah jam kemudian, Wakil Ketua DPRD dari Demokrat, Ratih Retnowati, menyodorkan telepon seluler kepadanya. Haries meninggalkan ruang pendaftaran, keluar dari kantor KPUD, dan setelah itu tak muncul lagi.
Satu jam lebih Abror, yang memang telah menahbiskan diri sebagai calon Wali Kota Surabaya 2015-2020, tak sadar telah ditinggalkan Haries. Ia hanya panik karena berkas pendaftaran belum lengkap diisi hingga pukul 17.00, batas akhir pendaftaran. Ia menyatakan sedikit lega ketika KPUD memberi tambahan waktu hingga tengah malam. Setelah berbuka puasa sunah dan salat magrib, ia baru memperoleh kabar: Haries mundur dari pencalonan, dengan alasan "diminta ibunya". "Saya syok," ujar Abror, Selasa pekan lalu.
Seperti di Pacitan, rencana pencalonan di Surabaya berantakan. Kerja sama Demokrat dan PDIP di kedua kota tak lagi bisa jalan. Dua daerah itu merupakan bagian dari tujuh wilayah di Indonesia yang pemilihannya hanya diikuti satu pendaftar. Umumnya karena calon inkumben dianggap tidak mungkin dikalahkan. Rabu Pekan lalu, setelah berkonsultasi dengan Presiden Joko Widodo dan para pemimpin lembaga negara di Istana Bogor, Jawa Barat, Komisi Pemilihan Umum memutuskan memberi tambahan waktu pendaftaran selama tujuh hari.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyatakan bukan penelepon terakhir sebelum Haries menghilang dari kantor KPUD. Sekretaris Demokrat Jawa Timur Bonie Laksmana juga membantah. "Tidak betul itu," ucap Bonie. Ratih menolak menjawab pertanyaan soal siapa yang menghubungi Haries melalui teleponnya pada hari itu.
Haries tak mau menyebutkan nama orang yang memintanya kabur. Dia hanya mengakui berkomunikasi dengan elite Demokrat untuk memberitahukan keberatan ibu dan keluarganya. "Tudingan jadi boneka itu tak enak. Konotasinya bisa diatur, pasti dibeli," kata Haries, yang hanya menjawab pertanyaan melalui surat elektronik.
Para pendukung Risma segera menghubungkan Soekarwo dan La Nyalla sebagai penyabot pencalonan Abror dan Haries. Mereka merujuk pada hubungan buruk kedua tokoh itu dengan Risma. Soekarwo sering berbenturan kepentingan dengan Surabaya, antara lain dalam rencana pembangunan jalan tol tengah kota. Adapun La Nyalla pernah menyatakan pemilihan di Surabaya harus ditunda agar Risma gagal menjadi calon wali kota lagi.
Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum PDIP Bambang Dwi Hartono--yang juga pernah berkonflik dengan Risma--pun menuduh kejadian di Surabaya dan Pacitan tak lepas dari peran Soekarwo. "Dia tahu semua," ujar mantan Wali Kota Surabaya ini.
Soekarwo membantah kecurigaan itu. La Nyalla, yang bersama Haries memasang banyak reklame untuk Soekarwo pada pemilihan Gubernur Jawa Timur 2013, menyatakan tak ikut campur tangan dalam urusan Surabaya. "Saya sibuk di PSSI," katanya.
SOEKARWO, yang lama berkarier sebagai birokrat di Jawa Timur sebelum memimpin provinsi itu sejak 2008, memiliki jaringan politik lintas partai. Itu sebabnya para pendukung Risma yakin ia bisa memainkan politik di Surabaya—yang sangat strategis bagi Megawati dan PDIP—dan Pacitan, yang dikuasai Demokrat dan memiliki nilai historis bagi Yudhoyono.
Elite kedua partai sebenarnya sepakat bekerja sama di kedua kota. Setelah menghadiri pembukaan Muktamar Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur, Sabtu dua pekan lalu, ketika hendak terbang kembali ke Jakarta dari Surabaya, menurut Risma, Megawati berpesan kepada Giyanto. "Kawal Pacitan. Jangan sampai berantakan," ujar Risma, menirukan pesan Megawati. Anggota DPRD Jawa Timur dari PDIP itu, menurut Risma, menjawab, "Siap!"
Risma mengatakan menyampaikan kepada Megawati soal kerja sama politik di kedua kota. "Saya bilang, Demokrat perlu bantuan di Pacitan," ujarnya. Puan Maharani, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, yang menemani ibunya, menurut Risma, berkomentar, "Oh, jadi barter, ya? Ya, enggak apa-apa, bagus."
Imelda Sari, juru bicara Partai Demokrat, menyatakan, pada Kamis malam dua pekan lalu, Yudhoyono memerintahkan partainya membantu daerah-daerah yang hanya memiliki satu calon. Menurut dia, Yudhoyono secara khusus juga menyebut Risma. "Pak SBY mengatakan, tidak fair kalau kepala daerah yang baik gagal mencalonkan diri lagi karena tidak ada calon," ujarnya.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dan Sekretaris Jenderal Demokrat Hinca Panjaitan mengakui berkomunikasi membahas pencalonan di Surabaya dan Pacitan. Tapi Hasto menilai Demokrat di daerah kurang serius "menciptakan" lawan di Pacitan. Hinca tak menjawab ketika dimintai pendapat soal tuduhan itu.
Komunikasi PDIP dan Demokrat di Jawa Timur agaknya mandek. Wakil Ketua Demokrat Pacitan Sugiharto mengatakan tak ada kesepakatan khusus soal Surabaya dan Pacitan dengan PDIP. Ia mengatakan tak menerima perintah apa pun dari pengurus Demokrat Jawa Timur pimpinan Soekarwo.
Setelah Komisi Pemilihan Umum memberi tambahan waktu hingga Selasa pekan ini, Soekarwo belum memastikan akan mengajukan lagi calon di Surabaya. Ia mengatakan, "Kami tidak bisa memaksa atau mencari ganti yang lain. Mencari petarung itu susah."
Jobpie Sugiharto, Wayan Agus (jakarta), Nofika Dian Nugroho (Pacitan), Avit Hidayat, Artika Rachmi Farmita (Surabaya)
Antara Surabaya dan Pacitan
MENJELANG batas akhir perpanjangan pendaftaran calon kepala daerah, Senin pekan lalu, penantang calon inkumben di Surabaya dan Pacitan, Jawa Timur, seolah-olah hendak mendaftar. Namun mereka balik badan sesaat sebelum tenggat, membuat pemilihan di kedua daerah terancam gagal. Dari kronologi waktu, proses politik di kedua kota itu diduga bertautan.
PACITAN
Pasangan calon bupati harus memperoleh dukungan minimal 8 atau seperlima dari total 40 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Calon yang sudah mendaftar:
Indartato dan Yudi Sumbogo
Pengusung: Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Nasional Demokrat.
Jumlah kursi di DPRD Pacitan: 20 kursi atau 50 persen.
28 Juli
Hingga pendaftaran tahap pertama berakhir, hanya sepasang kandidat yang mendaftar.
3 Agustus
09.00
Lima partai politik yang tergabung dalam Koalisi Pacitan Bersatu mengadakan rapat di kantor PDI Perjuangan, memunculkan pasangan Suyatno dan Effendi Budi Wirawan.
09.00-15.30
Rapat tidak menghasilkan titik temu.
15.30
Terdengar teriakan agar pasangan Suyatno dan Effendi segera berangkat ke KPUD Pacitan. Effendi bersama pengurus Golkar dan Gerindra tidak mau berangkat.
15.40
Menumpang 12 mobil, rombongan Suyatno tanpa Effendi tiba di KPUD Pacitan. Berkas pendaftaran dinyatakan tidak memenuhi syarat.
16.00
Atas desakan PDI Perjuangan, KPU menunda pertemuan sambil menanti Effendi.
16.00-16.25
Pengurus PDI Perjuangan, PAN, dan Hanura gagal menghubungi telepon seluler Effendi.
17.00
Pendaftaran ditutup.
SURABAYA
Calon pasangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya harus didukung minimal 10 kursi atau 20 persen dari total 50 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasangan yang sudah mendaftar:
Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana
Pengusung: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Jumlah kursi di DPRD Surabaya: 15 atau 30 persen.
29 Juni
Enam partai politik di Surabaya, yakni Gerindra, Demokrat, PKS, PKB, Golkar, dan PAN, mendeklarasikan Koalisi Majapahit. Mereka memiliki 29 kursi Dewan.8 Juli
PDI Perjuangan mendeklarasikan pencalonan Risma-Whisnu, Ketua PDI Perjuangan Surabaya.
28 Juli
Pendaftaran pilkada tahap pertama berakhir.29 Juli
Whisnu mengaku telah bertemu dengan Ketua Partai Demokrat Jawa Timur Soekarwo, membahas pemilihan yang hanya diikuti satu pasang kandidat, yakni Surabaya dan Pacitan.
31 Juli
Soekarwo mengumumkan koalisi Demokrat dan PAN mendukung Dhimam Abror.
3 Agustus
Pada Ahad malam hingga Senin dinihari, Abror bertemu dengan pengurus Demokrat dan PAN di Hotel Shangri-La Surabaya. Mereka memilih Haries Purwoko, Ketua Pemuda Pancasila Surabaya, sebagai calon wakil wali kota.
07.30
Abror menerima telepon dari Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan, mengabarkan rekomendasi dari Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono akan dikirim ke Surabaya. Sejak itu, telepon seluler Haries Purwoko tidak bisa dihubungi.
08.30
Gubernur Jawa Timur Soekarwo menelepon Abror, mengatakan surat rekomendasi dari Yudhoyono akan diambil Ketua Demokrat Surabaya Hartoyo.
12.30
Abror menelepon Soekarwo, mengabarkan Haries Purwoko sulit dihubungi.
13.00
Abror mengambil surat rekomendasi di Gedung Grahadi Surabaya. Soekarwo menelepon La Nyalla Mattalitti, Ketua Pemuda Pancasila Jawa Timur, menanyakan keberadaan Haries.
14.30
Atas perintah La Nyalla, Haries menemui Abror di Masjid At-Thohiriyah, Surabaya, lalu bersama-sama berjalan kaki ke KPUD Surabaya.
15.40
Rombongan tiba di KPUD Surabaya, disambut Whisnu Sakti.
16.25
Haries, yang duduk di sebelah Abror, ke luar ruangan setelah menerima telepon. Ia tak berpamitan dan tak muncul lagi setelah itu.
17.30.
Abror diberi tahu Haries mundur dari pencalonan.
24.00
Pendaftaran ditutup dan Haries tetap tidak hadir ke KPUD.
Naskah: Yandhrie Arvian, Avit Hidayat, Artika Rachmi, M. Syarrafah, Nofika Dian Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo