Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Panas-Dingin Dua Pemimpin

Hubungan antara Risma dan Soekarwo tak pernah akur, antara lain dalam rencana proyek jalan tol dalam kota. Pelaksana tugas wali kota telah ditunjuk.

10 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARANG sekali Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berdiri dekat dengan Gubernur Jawa Timur Soekarwo di perhelatan resmi. Apalagi sejak hubungan keduanya panas-dingin. Tapi di Bandar Udara Juanda Surabaya, Sabtu dua pekan lalu, keduanya tanpa sengaja berdiri bersebelahan ketika menjemput Presiden Joko Widodo.

Menurut Risma, Ketua Partai Demokrat Jawa Timur itu berkata, "Bu, nanti yang akan maju Abror dan Haries." Dua nama itu merujuk pada rencana pencalonan Wali Kota Surabaya dan wakilnya, pesaing Risma, yang mencalonkan diri lagi untuk periode 2015-2020.

Dua hari setelah pertemuan itu, pada hari terakhir pendaftaran, Dhimam Abror dan Haries Purwoko seolah-olah bakal menjadi pasangan kandidat. Didukung Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional, mereka datang ke kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah Surabaya. Namun, setengah jam sebelum batas akhir pendaftaran, Haries menghilang.

Seorang politikus di Surabaya mengatakan pasangan itu sengaja dibentuk tanpa persiapan matang. Apalagi Abror baru melamar Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional empat hari menjelang perpanjangan pendaftaran ditutup.

Sukoto, bakal calon Wali Kota Surabaya yang melamar melalui Koalisi Majapahit—kelompok partai di luar PDI Perjuangan, yang mengusung Risma-Whisnu Sakti Buana—menyebutkan kronologi pencalonan Abror. Menurut dia, koalisi Gerindra, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Golkar, dan Partai Amanat Nasional tak serius menyodorkan penantang Risma. Padahal koalisi ini telah menjaring wali kota, termasuk menerima pendaftaran dari Abror dan Sukoto. Karena itu, kata dia, Abror melamar ke Demokrat dan PAN.

Menurut Sukoto, terpilihnya Haries sebagai calon wakil wali kota tak lepas dari peran Soekarwo, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Demokrat Jawa Timur. Nama Ketua Pemuda Pancasila Surabaya itu tidak pernah beredar sebagai calon wakil wali kota. "Ia juga tidak pernah melamar ke Koalisi Majapahit," ujar Sukoto.

Itu sebabnya sejumlah orang dekat Risma di Surabaya curiga pasangan Abror dan Haries sengaja didorong untuk kemudian "dimundurkan". Tujuannya: pemilihan kepala daerah di Surabaya ditunda hingga 2017. Dengan begitu, Risma tidak bisa mencalonkan diri lagi.

Sebagai inkumben, peluang Risma terpilih kembali sangat besar. Sukoto menyatakan hubungan antara Risma dan Soekarwo tidak baik. "Semua orang tahu Soekarwo tidak cocok dengan Risma," katanya. Tertundanya pemilihan kepala daerah memberi Soekarwo kesempatan menunjuk pelaksana tugas wali kota menggantikan Risma, yang masa tugasnya berakhir bulan depan.

Menurut Sukoto, sebagai orang nomor satu di Jawa Timur, Soekarwo berwenang menunjuk anak buahnya sebagai pelaksana tugas Wali Kota Surabaya. "Ia bisa menunjuk orang-orang yang secara struktural bisa ia kendalikan," ujarnya.

Salah satu penyebab naik-turunnya hubungan Risma dan Soekarwo adalah rencana pembangunan jalan tol tengah kota. Program itu menjadi salah satu prioritas Soekarwo dan Saifullah Yusuf, tak lama setelah mereka terpilih kembali sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur pada 2013. Dalam beberapa kesempatan, Soekarwo mengatakan jalan tol tengah kota yang menghubungkan ruas Waru-Wonokromo-Tanjung Perak itu untuk mengurai kemacetan di Surabaya. Pasangan Soekarwo dan Saifullah memiliki banyak program yang bersinggungan dengan jalan tol tengah kota.

Demi mengegolkan proyek itu, Soekarwo dituding beberapa kali menekan Risma. Soekarwo membantah tudingan itu dengan dalih proyek jalan tol tengah kota merupakan usul dari pemerintah pusat. Proyek itu, kata dia, bagian dari rencana tata ruang wilayah nasional yang diusulkan Kementerian Pekerjaan Umum. "Pemerintah Jawa Timur tidak punya kepentingan apa pun," ujarnya.

Ditemui pekan lalu, Risma mengungkapkan polemik yang sempat mengemuka beberapa waktu lalu. "Pak Soekarwo ingin Surabaya diapit jalan tol seperti Jakarta," katanya. Sedangkan Risma memilih pembangunan jalan lingkar luar untuk mengurai kemacetan di Surabaya.

Risma menolak proyek jalan tol tengah kota agar warga Surabaya bisa gratis menikmati jalanan di Surabaya. "Kalau wargaku bisa gratis, kenapa harus bayar?" ujarnya. Menurut Risma, jalan tol hanya bisa dinikmati pengendara mobil dan tidak bisa dinikmati pemilik sepeda motor, angkutan umum, juga becak.

Setelah polemik itu ramai dibicarakan, Soekarwo mengembalikan proyek tersebut kepada pemerintah pusat. "Saya hanya perantara," katanya. Kementerian Pekerjaan Umum akhirnya mencabut proyek itu dari rencana tata ruang wilayah nasional.

Sebagai gantinya, Risma menawarkan jalan lingkar luar barat dan timur. Menurut Risma, Soekarwo sempat meminta jalan lingkar luar barat dijadikan jalan tol. Namun Risma menolak mentah-mentah. Ia khawatir, bila jalan itu dijadikan jalan tol, ekonomi masyarakat yang tidak dilalui jalur tol meredup. Rencananya, jalan lingkar luar barat itu melintasi kawasan Romokalisari, Pakal, Sememi, dan Lakarsantri. Panjang ruas jalan itu 26,1 kilometer. Menurut Risma, pembebasan lahan jalan lingkar luar barat ini sudah mencapai 80 persen.

Sikap tegas Risma juga terlihat ketika ia menolak lima izin usaha di pantai utara Surabaya. Imam Utomo, gubernur sebelum Soekarwo, yang mengeluarkan izin itu. Adapun Soekarwo saat itu masih menjabat Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur.

Tak lama setelah dilantik pada September 2010, Risma meminta agar izin hanya diberikan kepada satu pemegang usaha. Menurut Risma, keputusan itu sesuai dengan daya tampung lingkungan pantai utara Surabaya yang direkomendasikan Kementerian Lingkungan Hidup. Rapat membahas izin usaha pantai utara Surabaya ini berlangsung di kantor Sekretariat Wakil Presiden pada Oktober 2010.

Empat perusahaan yang sebelumnya memegang izin usaha harus gigit jari. Saat keputusan itu dikeluarkan, Soekarwo sudah menjadi Gubernur Jawa Timur. Satu izin usaha hanya diberikan kepada Pelindo III untuk membangun Terminal Teluk Lamong di Pelabuhan Tanjung Perak. Presiden Joko Widodo meresmikan terminal itu pada akhir Mei lalu.

Sumber di Pemerintah Kota Surabaya mengatakan Soekarwo juga kesal karena Risma jarang datang bila diundang. Sukoto memperoleh informasi serupa. Menurut dia, Soekarwo merasa sulit berkoordinasi dengan Risma.

Soekarwo telah mengajukan Nurwiyatno, Kepala Inspektorat Jawa Timur, sebagai pelaksana tugas Wali Kota Surabaya menggantikan Risma, yang masa pemerintahannya berakhir pada 28 September nanti. "Namanya sudah saya kirim ke Jakarta," ujarnya.

Ia membantah anggapan bahwa penunjukan Nurwiyatno itu untuk memuluskan program-program yang dulu tak disetujui Risma. "Pelaksana tugas tidak boleh mengambil keputusan strategis, termasuk membatalkan perjanjian," katanya.

Yandhrie Arvian, Avit Hidayat, Artika Rachmi Farmita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus