Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
... suatu pagi, 2002.
KWIK Kian Gie masih ingat betul momen lima tahun silam ini. Dengan tergesa-gesa, Kwik yang saat itu menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional memenuhi undangan Presiden Megawati Soekarnoputri datang ke kediaman resminya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
Jarum jam baru menunjuk angka 07.00. Namun alangkah terkejutnya Kwik sesampainya di sana. Para menteri ekonomi yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti sudah lengkap berkumpul. ”Mirip sidang kabinet,” kata Kwik mengenang.
Rupanya, sebuah agenda penting siap dibahas. Presiden tengah menimang-nimang kemungkinan mengeluarkan keputusan release and discharge (R&D) alias pembebasan dari segala tuntutan hukum kepada para konglomerat yang dianggap telah melunasi utangnya.
Kwik, yang sejak Orde Baru banyak mengkritik polah para konglomerat, kontan tak setuju. ”Itu hari Jumat,” ujarnya. Dua hari kemudian, ia diundang kembali untuk menemui Megawati. Tapi Kwik tetap berkeras. Mega pun kemudian berpesan agar Kwik membicarakannya dengan Dorodjatun.
Sampai akhirnya tibalah pembahasan R&D di sidang kabinet terbatas. Dalam rapat itu, Megawati lagi-lagi menyatakan niatnya mengambil keputusan tentang R&D yang diwarisinya dari pemerintah sebelumnya. Kwik tak berdaya. ”Saya hanya bisa ngedumel... ’mati aku’,” ujarnya.
Namun ia masih mencoba meredam. Kwik angkat tangan dan tetap menyatakan tak setuju. Tapi tekad Megawati sudah bulat. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, yang menjadi kado istimewa buat para konglomerat, akhirnya ia teken pada 30 Desember 2002.
Instruksi itu ditujukan kepada para menteri, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Salah satu instruksinya, mereka diminta memberikan bukti penyelesaian dan pembebasan kepada para debitor kakap yang telah menyelesaikan utangnya kepada negara.
Para debitor kakap itu adalah mantan pemilik bank yang telah menikmati kucuran dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari pemerintah. Program bantuan ini diadakan untuk menambal bolong brankas bank-bank yang remuk diamuk badai krisis ekonomi pada 1997-1998.
Dalam rangka pemulihan, sejumlah bank itu menjadi pasien BPPN. Para konglomerat pun diikat dalam sebuah perjanjian dan diharuskan menyerahkan beberapa asetnya ke BPPN. Namun belakangan diketahui banyak konglomerat menyalahgunakan dana bantuan itu. Celakanya, BPPN hanya berhasil mencapai tingkat pengembalian—lewat penjualan aset—sekitar 20 persen dari dana kucuran BLBI Rp 650 triliun.
Berbekal instruksi tersebut, Ketua BPPN terakhir, Syafruddin Temenggung, ”mengobral” surat keterangan lunas kepada para konglomerat. Hingga BPPN ditutup pada Februari 2004, menurut catatan Indonesia Corruption Watch, ada 22 debitor yang menikmati kado istimewa ini.
Ekonom Dradjad Wibowo pernah mempertanyakan transparansi penilaian pemberian surat lunas itu. ”Saya yakin, masalah R&D ini akan menjadi hantu yang terus mengejar sebagian pejabat pemerintah Megawati,” ujarnya.
5 Juni 2007
Baru sebulan dikukuhkan sebagai Jaksa Agung, Hendarman Supandji langsung menggebrak. Setelah bertemu dengan pimpinan teras Komisi Pemberantasan Korupsi, ia mengumumkan rencana pembentukan tim khusus investigasi kasus BLBI yang tertunda tiga tahun.
Beranggotakan 35 orang, tim ini terbagi dalam dua regu: Regu Pemeriksa dan Regu Penindakan. ”Targetnya, sebelum 22 Juli sudah harus terbentuk,” kata Sekretaris Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, Kamis pekan lalu (lihat ”Jaksa Masuk Hutan Memedi”).
Yang bikin ketar-ketir para konglomerat, pemeriksaan juga mencakup penyelesaian kewajiban para debitor yang sudah mengantongi surat lunas. Khusus buat para pengutang yang masih buron, regu penindakan bakal memburunya.
Meski begitu, kata Kemas, kebijakan surat lunas tidak akan diutak-atik. Yang diperiksa adalah pertimbangan di balik pemberian surat lunas kepada para pengutang. Jika ternyata aset yang diserahkannya tekor atawa bodong, ”Itu yang akan kami usut,” kata Kemas.
Berbagai kalangan mendukung niat kejaksaan. Sebab, ”Terbukti banyak aset bodong yang diserahkan ke pemerintah,” kata Koordinator ICW Bidang Monitoring Peradilan, Emerson Yuntho.
Kwik juga sepakat. Ia bahkan menilai perjanjian yang dibuat antara pemerintah dan para taipan eks pemilik bank pada 1998 pun cacat hukum. Perjanjian yang dimaksud adalah master of settlement and acquisition agreement (MSAA), yang mengatur klausul release and discharge.
Menurut Kwik, atas permintaannya, dua pakar hukum, Fred Tumbuan dan Kartini Muljadi, pernah mengkaji perjanjian ini. Kesimpulannya, MSAA sangat bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan Indonesia. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa penyelewengan dana bank untuk kepentingan pemilik bank masuk kategori pidana. ”Jadi, tidak bisa diselesaikan dengan perjanjian perdata seperti MSAA,” ujarnya.
Marzuki Darusman, Jaksa Agung semasa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, berpendapat senada. Menurut dia, Kejaksaan Agung tidak pernah mengakui klausul pengampunan tindak pidana. Kebijakan itu baru bisa diberlakukan jika sudah ada undang-undang yang memayunginya, bukan sekadar didasarkan pada instruksi presiden. Pula, kata politisi Partai Golkar ini, kejaksaan belum pernah mendeponir kasus pidana para debitor. Karena itu, kejaksaan hendaknya menggugat kebijakan pengampunan yang telah dikeluarkan pemerintah Megawati. ”Atas dasar apa itu diberikan,” ujarnya.
Dengan alasan yang sama, mantan anggota tim bantuan hukum BPPN, Luhut Pangaribuan, juga berpendapat bahwa keputusan Kejaksaan Agung yang telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) bisa dibongkar ulang. Sebab, belum ada pendeponiran kasus. ”Jadi, bisa dibuka kembali sewaktu-waktu,” katanya.
DARI puluhan konglomerat yang telah mengantongi surat lunas, Sjamsul Nursalim, yang berutang ke negara Rp 28,4 triliun, boleh jadi yang paling rawan. Setumpuk bukti mengungkap berbagai indikasi kecurangan yang telah dilakukan bos Grup Gajah Tunggal itu. Bukti-bukti itu bahkan sudah lama ada di kantong kejaksaan.
Salah satunya tertuang dalam dokumen kejaksaan berjudul Letter of Request of Assistance in the Criminal Matter, tertanggal 14 September 2000, yang dibuat Jaksa Agung Marzuki Darusman. Surat itu ditujukan kepada Kantor Urusan Internasional Divisi Kriminal Departemen Kehakiman Amerika Serikat. Isinya meminta bantuan pelacakan dan pembekuan aset Sjamsul Nursalim di negeri adikuasa itu.
Alasannya, dari hasil investigasi kejaksaan ditemukan indikasi adanya pelanggaran transaksi kredit US$ 386,5 juta (sekarang setara dengan Rp 3,5 triliun) oleh pemilik lama Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepunyaan Sjamsul, dari pertengahan Juni 1995 hingga akhir Oktober 1997. Dana dicairkan dalam 21 kali transfer ke rekening East Asia America Capital di Chase Manhattan Bank, New York. Kejaksaan melihat ada indikasi tindak kriminal dalam transaksi ini, karena East Asia ternyata masih kepunyaan keluarga Sjamsul.
Apalagi perjanjian kredit dari 12 transaksi itu baru dibuat beberapa bulan setelah dana dicairkan. Dan yang bikin kejaksaan waswas, dana itu kabarnya sebagian besar sudah ”menguap”. Yang tersisa saat itu diperkirakan tinggal US$ 150 ribu (sekarang sekitar Rp. 1,35 triliun). Karena itulah, kejaksaan meminta pihak Amerika segera melacak dan membekukan aset-aset yang dibeli dari dana tersebut.
Marzuki membenarkan pihaknya pernah meminta bantuan Amerika dan menyerahkan dokumen itu ketika bertemu dengan Jaksa Agung Amerika, Janet Reno. ”Tapi itu belum surat resmi,” ujarnya. Adapun True Rowan, petugas dari Divisi Kriminal Departemen Kehakiman Amerika, tak bisa memberikan konfirmasi. ”Silakan Anda menghubungi Kejaksaan Agung Indonesia,” ujarnya.
Dalam dokumen itu, kejaksaan juga menyodorkan sejumlah temuan Business Fraud Solutions (BFS), lembaga investigasi internasional yang dikontrak dan bekerja sama dengan tim forensik audit BPPN—dibentuk semasa kepemimpinan Cacuk Sudarijanto dan dibubarkan oleh penggantinya, Putu Ary Suta.
Dari hasil investigasi BFS diketahui bahwa transaksi kredit afiliasi itu bahkan mencapai US$ 607 juta (Rp 5,5 triliun), yang ditransfer melalui BDNI cabang Kepulauan Cook dan Cayman kepada 10 perusahaan Nursalim di Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.
Proposal kredit disiapkan oleh Laurensia Sally Lawu sebagai kepala kedua cabang BDNI itu. Adapun persetujuan kredit dikeluarkan oleh Sjamsul Nursalim dan Husni Ali, keponakan Itjih, istri Sjamsul Nursalim (lihat ”Berputar di Keluarga Nursalim”).
Melihat bahwa sebagian transaksi kredit itu dilakukan menjelang dana BLBI digelontorkan, sejumlah pihak menuding memang ada niat dari pengelola BDNI untuk mengeduk dana tombokan pemerintah dengan cara mengosongkan brankasnya. Seperti kita ketahui, dana BLBI yang diterima Sjamsul mencapai Rp 28,4 triliun.
Tudingan lainnya, seperti dituturkan sumber Tempo, seorang bankir investasi asing, besar kemungkinan transfer dolar itu merupakan jurus Sjamsul untuk menghindarkan BDNI dari pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) ke grup sendiri, sebelum Bank Indonesia melakukan audit tahunan.
Caranya, ya itu tadi, dibuat seakan-akan BDNI memberikan pinjaman dolar ke pihak ketiga US$ 607 juta (sekarang sekitar Rp. 5,4 triliun). Selanjutnya, dana itu ditukarkan ke dalam rupiah untuk membayar utang-utang perusahaan Sjamsul ke BDNI, agar tak lagi melanggar BMPK. ”BDNI Cook Islands itu cuma nama,” ujar sumber itu. ”Prakteknya dioperasikan dari Gedung BDNI lantai 8, Hayam Wuruk, Jakarta.”
Kepada majalah ini (Tempo, 26 Mei 2002), Itjih pernah membantah aksi patgulipat di balik transaksi itu. ”Tidak satu sen pun dana BLBI kami transfer ke luar negeri,” ujarnya. ”Itu hanya restrukturisasi portofolio kredit.” Sebagian kredit yang semula dalam rupiah dikonversi ke dolar. ”Kami hanya melindungi BDNI supaya tidak menderita rugi kurs terlalu banyak.”
Sayang, Sally Lawu menolak berkomentar untuk memperjelas duduk persoalan ini. ”Saya sudah tidak di Gajah Tunggal lagi,” ujarnya singkat, Kamis pekan lalu. Upaya Tempo meminta keterangan dari dua petinggi Gajah Tunggal, Mulyati Gozali (wakil presiden komisaris) dan Catharina Wijaya (direktur), pun tak membuahkan hasil.
Tempo, yang datang ke kantor Gajah Tunggal di Wisma Hayam Wuruk, Jakarta, hanya mendapat jawaban dari sekretaris Mulyati dan Catharina bahwa keduanya menolak berkomentar, meski sudah menerima surat permohonan wawancara. Surat elektronik yang disampaikan kepada dua anak Sjamsul yang kini menjabat Direktur Tuan Sing Holdings di Singapura—Susanto Nursalim dan Michelle Nursalim—pun tak berbalas. Sedangkan rumah Sjamsul di kawasan Simprug, Kebayoran, Jakarta Selatan, menurut seorang petugas di sana, sudah lama tak dikunjungi majikannya.
Maqdir Ismail, kuasa hukum Sjamsul, mengaku tidak tahu persis ihwal transfer dana ke luar negeri itu. Tapi, yang pasti, katanya, Sjamsul sudah melunasi utang BLBI dengan aset-aset yang diserahkannya. ”Dia sudah mendapat keterangan lunas,” ujarnya. ”Kalau ini dipersoalkan kembali, berarti pemerintah tidak menghargai perjanjian yang ada.”
Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang saat itu juga menjabat Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan, membenarkan bahwa pemberian surat lunas buat Sjamsul memang merupakan keputusan resmi pemerintah, yang juga telah dikoordinasikan dengan lembaga legislatif dan yudikatif.
Meski begitu, dia tidak menutup kemungkinan jika ditemukan unsur kecurangan, kasus ini bisa kembali diselidiki. ”Waktu itu kan undang-undang korupsi belum ada,” ujarnya. ”Komisi Pemberantasan Korupsi pun baru didirikan menjelang berakhirnya pemerintahan Megawati.”
Jika begitu, langkah kejaksaan bisa dimulai dengan menelisik ulang temuan BFS tadi. Apalagi, ditengarai tiga perusahaan yang diserahkan Sjamsul (GT Petrochem, GT Tire, dan Dipasena) jauh dari memadai. Dalam surat PT Tunas Sepadan Investama (perusahaan induk penampung aset Sjamsul) pada 13 Oktober 1999 disebutkan bahwa aset yang semula ditaksir Rp 27,4 triliun itu telah merosot tinggal Rp 6,3 triliun.
Menurut kajian yang dibuat tim bantuan hukum (TBH) BPPN, kemerosotan terbesar dialami tambak udang Dipasena, dari semula ditaksir Rp 20 triliun menjadi tinggal Rp 5,2 triliun. Salah satu penyebabnya, kredit petambak udang yang diserahkan ke BPPN ternyata macet, dan ini tidak pernah dilaporkan. Itu sebabnya, TBH dan komite pengawas BPPN yang diketuai Mar’ie Muhammad pernah meminta aset Sjamsul dinilai ulang. Komite pun meminta temuan BFS ditindaklanjuti.
Tapi sayang, berbagai usul dan rekomendasi itu tak pernah bersambut. Sjamsul bahkan dianugerahi surat lunas pada saat-saat akhir ”masa bakti” BPPN.
Metta Dharmasaputra, Heri Susanto,Muchamad Nafi, DA Candraningrum, Abdul Manan
Pasang-Surut Kasus Nursalim
1998
14 Februari Bank Dagang Nasional Indonesia menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
21 Agustus BDNI dibekukan.
21 September Sjamsul Nursalim meneken perjanjian penyelesaian utang (MSAA).
1999
25 Mei Sjamsul menyerahkan aset Rp 27,4 triliun dan setoran tunai Rp 1 triliun ke BPPN.
31 Desember Badan Pemeriksa Keuangan mengumumkan audit Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. BDNI termasuk bank yang menyelewengkan dana BLBI.
2000
29 Mei Ketua BPK S.B. Joedono melaporkan 10 bank yang diduga menyelewengkan BLBI, termasuk BDNI, ke Kejaksaan Agung.
11 September Kejaksaan Agung meminta bantuan Departemen Kehakiman Amerika melacak transfer dana BDNI (US$ 386,5 juta) ke rekening East Asia America Capital di Chase Manhattan Bank, New York. Tim Forensik Audit BPPN sebelumnya menemukan indikasi pidana penyaluran kredit BDNI ke perusahaan afiliasi di luar negeri US$ 607 juta.
23 Oktober Jaksa Agung Marzuki Darusman menetapkan Sjamsul sebagai tersangka.
2001
16 April Sjamsul menjadi tahanan Kejaksaan Agung.
29 Mei Sjamsul diizinkan berobat ke Jepang. Namun dia tak kembali dan menetap di Singapura.
30 Juli Laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyebutkan kerugian negara akibat penyalahgunaan BLBI oleh BDNI Rp 7 triliun.
4 September Komite Pengawas BPPN meminta Ketua BPPN menindaklanjuti temuan tim Forsat.
2002
30 Desember Megawati mengeluarkan instruksi presiden tentang pengampunan pengutang BLBI.
2004
Februari BPPN ditutup, dilanjutkan Tim Pemberesan BPPN.
April Sjamsul mendapat surat keterangan lunas dari BPPN.
13 Juli Jaksa Agung M.A. Rachman mengeluar-kan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus Sjamsul Nursalim.
2005
28 Januari Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan akan mengkaji kembali lima kasus SP3, termasuk kasus Sjamsul Nursalim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo