Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dulu Superman, Sekarang Spider-Man

Beragam reaksi muncul dari kandidat presiden yang tak masuk dua besar. Ada yang tak percaya hasil penghitungan suara, ada pula yang gentle?menyiapkan pidato lempar handuk.

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata calon presiden dari Partai Golkar, Wiranto, memicing, tapi deretan angka yang terpampang di layar ukuran 3 x 3 meter persegi tetap tak terbaca. Para politisi Golkar dan tim sukses Wiranto-Salahuddin Wahid di belakangnya bergumam tak puas. Acara nonton bareng hasil perolehan suara sementara di kantor pusat Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin malam itu terganggu "kerusakan teknis".

"Nah, begini lebih baik," kata Wiranto sambil tersenyum setelah staf sekretariat Golkar memperbesar tampilan angka. Hadirin menghela napas lega. Juga Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung, yang duduk di samping Mr. W?julukan akrab Wiranto. Tapi senyum bekas Panglima ABRI itu tak tahan lama. Penghitungan Komisi Pemilu menempatkannya di nomor tiga. Juaranya Susilo Bambang Yudhoyono, diikuti Megawati Soekarnoputri. Mungkin lebih baik deretan angka terlihat buram.

Untung, penghitungan versi Golkar menyelamatkannya. Dari 2,1 juta sampel pemilih, Wiranto bertengger di nomor dua, sekitar lima persen lebih tinggi dari Mega-Hasyim. Hadirin bersorak, pakai standing ovation segala. Wiranto mencoba tenang, tak buru-buru girang. "Ini valid, enggak?" ujar Ryaas Rasyid, Ketua Umum Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan?partai yang juga mendukung Wiranto.

Merasa disentil, ketua tim sukses Wiranto-Salahuddin, Slamet Effendy Yusuf, angkat bicara. "Ya, valid. Laporan itu dari saksi-saksi di lapangan," katanya. Pengurus Golkar dan tim sukses daerahlah yang mengumpulkannya dari para saksi di tempat pemungutan suara. Mungkin Wiranto puas dengan penjelasan Slamet. Ia pulang berbekal senyum.

Namun, sampai Sabtu pekan lalu, angka Wiranto "macet" di nomor tiga dengan 19,1 juta pemilih. SBY-Jusuf Kalla dipilih 29 juta orang. Adapun Mega mendapat 25,5 juta suara. Perolehan 21 persen suara Golkar dalam pemilu legislatif dan 11 persen dari Partai Kebangkitan Bangsa?partai pendukung Salahuddin?ternyata tak bisa diandalkan. "Rakyat maunya begitu, gimana lagi?" ujar Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Rully Chairul Azwar.

Tim sukses di daerah tak mau menjadi kambing hitam. "Bukan kami tak serius, tapi kerja mesin politik tak maksimal," kata Soejatno Pedro H.D., anggota tim sukses Wiranto-Salahuddin di Jawa Tengah. Musababnya jelas, tim itu bekerja hanya satu bulan karena baru pada Mei hasil konvensi Golkar diperoleh. Komunikasi tim gabungan dengan tim buatan Wiranto tak solid di daerah.

Akibatnya, kerja tim di pedesaan kurang optimal. Rencana menangguk 6 juta suara jeblok menjadi 3,8 juta sampai akhir pekan lalu. Belum lagi soal fulus. Tim pusat menggelontor Rp 100 juta buat sekali rapat umum. Rencananya, ada 12 acara selama kampanye. Tapi Golkar dan PKB Jawa Tengah masing-masing cuma "meneteskan" Rp 40 juta. Padahal, pada kampanye legislatif, tiap daerah pemilihan mendapat Rp 1 miliar dari para calon anggota DPR. "Belum lagi soal personality SBY yang lebih menarik," ujar Soejatno Pedro.

Jawa Timur juga terimbas ketidakserasian tim Wiranto dan Golkar. Keduanya bekerja sendiri-sendiri tanpa koordinasi. Perseteruan di Nahdlatul Ulama antara Hasyim Muzadi dan Abdurrahman Wahid punya andil besar menggerogoti suara Wiranto di Jawa Timur, yang notabene merupakan rumah PKB. Para pendukung PKB yang akan ditarik ke Wiranto malah lari ke SBY. "Gus Sholah bukan faktor signifikan di Jawa Timur," kata Ketua Golkar Jawa Timur Ridwan Hisyam.

Kubu Wiranto tak rela mesin politiknya dianggap letoi. Orang dekat Wiranto, Herman Ibrahim, merasa mesin politik kalah dibandingkan dengan pesona pribadi. Kemenangan SBY juga tak bisa dipisahkan dari peran berlebihan sejumlah stasiun televisi swasta. Tapi itu bukan berarti kualitas mesin politik tak punya peran. "Akbar Tandjung mungkin tak sepenuhnya mendukung (Wiranto)," ujarnya.

Memang penghitungan suara belum final. Tapi, buat beberapa calon presiden, hasil sementara sudah cukup. Calon presiden dari Partai Amanat Nasional, Amien Rais, termasuk yang "lempar handuk" karena pemilihnya hanya 14,99 persen sampai Sabtu pekan lalu. "Publik belum siap perubahan," ujar seorang kawan dekat Amien Rais menirukan Ketua PAN itu. Ia sudah menyiapkan pidato atas kekalahannya ini. Rencananya, pidato tersebut akan dibacakan Jumat pekan lalu, tapi orang-orang dekatnya minta ditunda sampai penghitungan mencapai 80 persen suara.

Pidato itu berisi ucapan terima kasih atas dukungan publik yang diberikan, sekaligus permintaan maaf karena gagal memperjuangkan kepercayaan para pendukung. Amien juga berharap pemilu putaran kedua berjalan aman seperti sekarang. Belum pasti apakah ia bakal mundur dari gelanggang politik setelah kalah, seperti yang pernah dijanjikannya.

Rata-rata keluhan di daerah sama soal penyebab kekalahan Amien-Siswono Yudho Husodo. Mereka terlalu mengandalkan pemilih partai pendukung tatkala pemilu legislatif. Ketua tim sukses Amien-Siswono di Sulawesi Selatan, Ramli Haba, berharap mendapat 35 persen suara dari PAN, Partai Keadilan Sejahtera, dan enam partai lain penyokong duet itu. Nyatanya, mereka bertengger di nomor empat di Sulawesi Selatan, jauh di bawah SBY-Kalla. "Pemilih masih mengacu pada kedekatan dengan calon," ujarnya.

Ada juga yang menimpakan kesalahan pada penghitungan suara Komisi Pemilu. Selain Ramli, pentolan tim sukses Amien-Siswono di Jawa Tengah dan Yogyakarta, Taufik Kurniawan, mempersoalkan kinerja Komisi Pemilu. Taufik merepet ke soal politik uang, coblos ganda, kualitas tinta, dan sistem teknologi informasi. Tapi tak semua pendukung Amien seemosional itu.

Anggota dewan kebijakan dan strategis tim Amien-Siswono, Sudibyo Markus, menilai sudah terbukti bahwa publik tak mempan dengan "jualan" figur bersih dan slogan reformasi. Mereka membutuhkan hero yang lain. "Kalau dulu senang Superman, sekarang maunya Spider-Man," katanya. Dukungan PAN, yang kurang kompetitif, dan partai-partai baru juga tak bisa diandalkan. Mereka lebih jago di perkotaan ketimbang di daerah.

Harapan mendapat sokongan penuh dari warga Muhammadiyah juga meleset. Pengaruh organisasi keagamaan itu juga cuma di perkotaan. "Dukungan riil tak sehebat di atas kertas," tutur Sudibyo Markus.

Siswono menyalahkan minimnya dana hingga belanja iklan jauh tertinggal dibandingkan dengan kandidat lainnya. Pengaruh ke publik pun jelas lebih lemah. Berbagai polling yang dibiayai lembaga asing sebelum pemilu yang "membombardir" publik dengan kemenangan calon lain dianggap efektif menggiring pilihan. "Publik tak tahu, itu penelitian atau public relations," katanya.

Barangkali cuma pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar yang paling siap kalah. Kala tim sukses calon lain sibuk memelototi hasil pemilu, politisi Partai Persatuan Pembangunan Jawa Tengah malah kongko di ruang fraksi DPRD Jawa Tengah. "Daripada ngurusi penghitungan suara, lebih baik menyelesaikan pekerjaan di fraksi," kata Wakil Ketua PPP Jawa Tengah Achmad Munir Syafi'i. Sekretaris tim sukses Hamzah-Agum, Masrukhan Samsurie, pun menimpali, "Yang penting sudah bekerja maksimal." Barangkali mereka sudah punya firasat, jagonya tak akan berkokok.

Hamzah-Agum memang cuma mendapat 2,6 juta suara. Padahal PPP, partai asal Hamzah, tiga bulan lalu mendapat lebih dari 9 juta suara. "Kalau masih suka (Hamzah Haz), mereka pasti memilih Pak Hamzah," ujar Masrukhan. Setelah kalah pemilu, Hamzah malah akan dilengserkan dalam muktamar luar biasa. PPP Jawa Tengah termasuk yang sudah mengirimkan mosi tak percaya ke pengurus pusat.

Namun anggota tim sukses Hamzah-Agum, Arief Mudatsir Mandan dan Abu Hazan Sazili, menganggap kekurangan dana menjadi kendala utama kemenangan Hamzah. Selain itu, penentuan calon wakil presiden yang terlalu mepet waktunya dengan masa kampanye membuat koordinasi kerja tak mantap. Bahkan tak ada partai lain yang mendukung pencalonan Hamzah.

Aktivis partai tak bisa diandalkan buat menyumbang karena sudah "habis-habisan" untuk kampanye legislatif. "Pak Hamzah dan Agum menjanjikan sejumlah uang, tapi tak terpenuhi," ujarnya. Dari rencana minimal punya Rp 100 miliar, tim sukses cuma mendapat Rp 6 miliar. Akhirnya, kampanye irit yang sering digeber, seperti ke masjid, pesantren, dan pasar.

Yang irit, yang menjerit, semua kini melempar handuk kekalahan.

Jobpie Sugiharto, Sohirin (Semarang), Kukuh S.W. (Surabaya), Irmawati (Makassar), Hanibal W.Y.W., Widiarsi A. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus