Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Komaruddin Hidayat: "KPU Menganggap Kami Pengganggu"

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada kegairahan baru di pelbagai pelosok Republik. Pemilu 5 Juli 2004 lalu, pemilu presiden langsung pertama kali, membuat jutaan rakyat menggelegak. Liputan dan tayangan penghitungan sementara hasil pemilu di layar televisi menyedot perhatian publik. Tak terkecuali seorang Komaruddin Hidayat, 51 tahun, yang hanyut dalam kemeriahan pemilu. "Pemilu ini jembatan emas untuk keluar dari keterpurukan," ujar Komaruddin Hidayat.

Ambisius sekali, tapi Komaruddin memang layak menggelora. Sebagai Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), ia terlibat langsung dengan seluruh ingar-bingar pemilu. Dari Century Tower di kawasan Kuningan, Jakarta, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini memantau tiap tahapan pemilu. Komaruddin memiliki 17 ribu peng- awas di seluruh penjuru negeri. "Untuk menjalankan tugas pengawasan," ujar Komaruddin, "kami menghabiskan dana Rp 400 miliar."

Toh, Komaruddin mengaku tak terlalu berhasil. Dengan kewenangan yang terbatas, Komaruddin merasa Panwaslu kurang bergigi. Undang-undang soal pemilu rupanya membuat posisi Komisi Pemilihan Umum jadi sangat kuat. Akibatnya, ujar Komaruddin, "Mereka cuma menganggap Panwas sebagai pengganggu."

Bagaimana jalannya Pemilu 2004 di mata Panwaslu? Apa saja pelanggaran yang terjadi? Benarkah politik uang menodai pemilu ini? Wartawan TEMPO Setiyardi pekan lalu mewawancarai Komaruddin Hidayat. Berikut ini kutipannya.


Bagaimana Anda melihat pelaksanaan Pemilu 2004?

Kalau dilihat dari atas, ada hal yang sangat menarik dari pelaksanaan pemilu ini. Pemilu 2004 ini merupakan jembatan emas untuk keluar dari keterpurukan bangsa. Selama ini, kondisi sosial-politik kita sangat buruk. Kita dipenuhi wilayah becek akibat perbuatan penguasa di masa lalu. Nah, pemilu punya spirit untuk mengakhiri krisis dan bisa mengangkat kembali harkat Indonesia. Kita kembali bisa berdiri tegak saat berada di luar negeri.

Bagaimana caranya?

Pemilu merupakan sarana untuk melakukan metamorfosis. Seperti seekor anak ayam yang bermetamorfosis saat berhasil keluar dari cangkang. Ada invisible spirit yang membuat anak ayam itu keluar dan tumbuh jadi besar. Hal ini pernah terjadi pada Jerman saat Perang Dunia I dan Jepang saat Perang Dunia II. Mereka sadar ada sesuatu yang salah. Tapi mereka punya semangat dan berhasil keluar dari krisis. Indonesia pun mungkin saja melalui masa sulit ini. Kita punya spirit keagamaan yang merupakan modal spiritual.

Apakah Anda melihat tanda-tanda yang positif dari pemilu presiden?

Ya, jelas sekali. Kita lihat perpaduan pelbagai kelompok di masyarakat. Megawati bergabung dengan Hasyim Muzadi. Itu merupakan pertemuan antara simbol nasionalis dan komunalisme agama. Gabungan SBY dan Jusuf Kalla merupakan pertemuan antara militer nasionalis dan sipil yang pedagang. Ini merupakan tanda-tanda yang sangat positif dan memberikan harapan. Pada level gagasan, pemilu ini menuju suatu grand design yang memberikan harapan baru. Pemilu presiden langsung memberikan kemajuan luar biasa. Di negara lain, hal seperti ini bisa berlangsung dengan berdarah-darah.

Mengapa proses pemilu presiden langsung yang pertama ini berlangsung damai?

Ini memang sangat menarik. Soalnya, semua kontestan, kecuali Hamzah Haz, pada dasarnya memiliki kekuatan berimbang. Suasana seimbang itu membuat para calon akan berhati-hati. Mereka tak bisa melakukan klaim absolut. Di Amerika, kondisi seperti ini disebut sebagai the benefit of the doubt (sisi positif dari kondisi ragu). Nah, keragu-raguan itu akhirnya memunculkan check and balance. Buktinya, dalam pemilu ini, masyarakat dan kontestan saling mengawasi. Hal seperti ini tak mungkin terjadi pada zaman Pak Harto. Soalnya, Pak Harto sangat dominan. Saat itu pengawasan pemilu cuma merupakan ornamental.

Apa dampak positif pemilu langsung di Indonesia?

Bagi Barat, ini mengejutkan. Bagaimanapun, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Selama ini, ada anggapan bahwa demokrasi tidak kompatibel dengan Islam. Mungkin, kalau kita melihat kondisi sosial-politik di Timur Tengah, memang benar. Tapi ternyata Indonesia berhasil mematahkan mitos tersebut. Kita bisa berdemokrasi dengan sangat baik. Ada pemilu presiden langsung dan multipartai. Partai politik di Indonesia terbuka. Dalam pemilu, rakyat pun sangat terlibat. Mereka mengikuti pemilu dengan damai dan santun. Rakyat menganggap pemilu sebagai sebuah festival.

Apakah ini menjungkirbalikkan teori politik?

Pemilu ini memang mematahkan pelbagai teori politik. Konsep patron-klien dan politik aliran sudah patah. Di zaman Orde Baru, birokrasi solid dan ulama solid. Sekarang mereka sudah patah. Sekarang rakyatlah yang menentukan. Kita memasuki babak baru. Text book politik berubah.

Mengapa konsep patron-klien akhirnya patah?

Patron dulu merasa paling tahu, paling benar, dan paling bersih. Itu jargon-jargon yang mereka bangun. Ternyata semua itu omong kosong. Negara korup, sebagian ulama doyan uang. Intelektual yang mengurus negara juga korup. Ini membuat klien kecewa dan tak mempercayai patronnya.

Banyak kekhawatiran soal keamanan pemilu. Apa yang membuat rakyat mengikuti pemilu dengan santun?

Sejak masa Pak Habibie, dan dilanjutkan Gus Dur, ada yang berubah. Habibie lama hidup di Jerman, yang telah sangat demokratis. Sebagai saintis, Habibie juga punya mental keterbukaan. Begitu juga Gus Dur. Mereka berdua berjasa meratakan jalan menuju demokrasi. Mereka membuka keran kebebasan. Orang bebas berkumpul dan berdemonstrasi. Akibatnya, masyarakat jadi kritis. Secara prinsip, kalau mulut ditutup, tangan akan mengepal. Sebaliknya, bila mulut dibuka, tangan akan rileks.

Bagaimana pendapat dunia internasional terhadap pemilu?

Semua pemantau asing betul-betul surprised karena tak ada darah yang tumpah. Ini luar biasa. Salah satu penyebabnya, tak ada aktor yang sok jagoan. TNI dan polisi sekarang bersikap netral.

Ini persoalan teknis. Banyak yang menilai pemilu juga dinodai oleh pelbagai kelemahan dan kecurangan. Benarkah?

Memang ada perilaku calon anggota legislatif yang hanya terobsesi mengeruk suara sebanyak-banyaknya. Kalau perlu, mereka membagi-bagikan uang dan menempel panitia pemilu. Di pemilu tingkat desa dan kecamatan, ada beberapa kasus yang diproses secara hukum. Jadi, masalah-masalah yang ada itu karena persoalan teknis dan perilaku politik elite, bukan karena perilaku politik rakyat.

Mengapa banyak terjadi pelanggaran pemilu?

Kalau diurut ke belakang, KPU dan Panwaslu adalah pelaksana teknis dari UU Pemilu. Dalam beberapa hal, meski banyak terjadi kompromi, undang-undang tersebut sudah bagus. Tapi banyak juga aturan yang sudah cacat sejak awal. Soal pengaturan dana partai dan kampanye, misalnya, banyak memasuki daerah abu-abu.

Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya politik uang?

Untuk ke depan, UU Pemilu harus dapat menjaga fairness. Harus dibuat aturan yang fair sehingga tak ada yang berlaku curang. Seperti sebuah pertandingan sepak bola, semua aturan pemilu harus jelas, termasuk tentang dana. Jangan sampai ada rentenir politik yang menjadi cukong para kandidat.

Bagaimana format aturan yang Anda tawarkan?

Saya tidak tahu. Harus bertanya ke DPR dan ahli keuangan. Pada prinsipnya, harus dibuat undang-undang yang membuat keuangan para calon anggota legislatif dan calon presiden transparan. Jangan sampai pemenangnya adalah uang. Rakyat memilih harus karena pertimbangan moral dan rasional. Soalnya, rentenir politik akan merusak dan mengkhianati demokrasi. Saat ini, undang-undang ti-dak memungkinkan kami menelusuri dana-dana kampanye.

Bagaimana bila aturan yang Anda tawarkan menabrak undang-undang lain seperti soal kerahasiaan perbankan?

Mungkin harus ada undang-undang khusus pidana pemilu yang bisa menembus soal perbankan. Secara teknis, para ahli hukum harus mendiskusikannya.

Apakah Anda mencium aroma politik uang dalam pemilu presiden?

Ada. Tapi yang ditangkap Panwas cuma politik uang recehan. Panwaslu tak bisa menjangkau sumber utamanya. Undang-undang menghalangi kami. Ingat, James T. Riady adalah pengusaha Indonesia yang menyuap Bill Clinton dengan uang yang sangat banyak. Bayangkan, James Riady, orang Indonesia, melakukan investasi politik ke Amerika. Pertanyaannya: apakah mereka itu tak melakukan investasi politik saat ada hajatan di Indonesia?

Apakah ada indikasi yang lebih kuat?

Soal pelaporan dana tim sukses adalah persoalan serius. Contoh yang sederhana adalah biaya pengerahan pengawas dari tiap calon presiden. Saat ini ada sekitar 600 ribu tempat pemungutan suara (TPS). Kalau seorang calon menaruh dua saksi di tiap TPS, dan tiap saksi diberi Rp 100 ribu, jumlahnya Rp 120 miliar. Nah, semua itu tak ada dalam laporan keuangan mereka. Hal ini akibat peraturan yang tidak jelas. Para calon membedakan politik uang dengan ongkos politik.

Mungkinkah sanksi pidana pemilu yang sangat ringan memicu terjadinya kecurangan?

Itu sangat berpengaruh. Para peserta pemilu tak takut dengan sanksi pidana pemilu yang sangat ringan. Mereka lebih takut bila kebobrokannya diketahui media massa. Ke depan, harus dibuat sanksi yang lebih tegas dan berat.

Apa yang terjadi dalam kasus Al-Zaitun?

Kita jangan memiliki persepsi negatif terhadap Pesantren Al-Zaitun. Saya mengapresiasi fenomena Al-Zaitun yang bisa membangun pesantren di daerah yang tandus. Soal kaitannya dengan pemilu, Panwaslu sudah menganggapnya selesai. Tak ada aturan administratif dan prosedur yang dilanggar. Soal mereka membangun TPS untuk mencoblos, harus kita kasih kredit. Memang jumlah pemilihnya agak menarik perhatian.

Megawati, yang kini masih menjadi presiden, kemungkinan besar masuk ke putaran kedua. Bagaimana Anda mengawasinya?

Selama tiga bulan ke depan, sebagai incumbent (masih jadi penguasa), Megawati memang punya keuntungan. Dia bisa mengerahkan segala daya untuk memenangi pemilu. Megawati setiap hari bisa membuat acara kenegaraan, meresmikan proyek ini-itu. Kalau Megawati menggunakannya secara smart, tentu Panwaslu tak bisa apa-apa. Pertanyaannya: bagaimana memisahkan kebenaran formal dan etika? Kalau yang dilakukan Megawati adalah kampanye terselubung dengan fasilitas negara, ada rasa keadilan yang ditabrak. Panwaslu memang akan mengkaji soal ini secara serius. Kami akan memberikan rambu-rambunya bagi Sekretariat Negara.

Sejauh mana posisi incumbent ini menguntungkan Megawati?

Bagi saya, posisi itu justru merupakan jalan licin. Kalau Megawati pintar, dia bisa mengambil keuntungan dari posisinya. Bila tidak, dia akan terpeleset dan jatuh. Yang saya khawatirkan justru orang-orang Megawati yang merasa masa jabatannya di pemerintahan tinggal tiga bulan lagi. Mereka bisa melakukan apa saja untuk "cuci gudang". Agar hal itu tak terjadi, kita semua harus mengawasi secara ketat.

Wiranto, Amien Rais, dan Hamzah Haz kemungkinan besar tak lolos ke putaran kedua. Apa yang harus mereka lakukan?

Mereka telah menandatangani Kesepakatan untuk Siap Menang dan Siap Kalah. Itu harus jadi patokan. Bila dirasa ada kecurangan, boleh saja mengajukan gugatan, tapi harus siap menerima segala keputusan Mahkamah Konstitusi. Yang saya khawatirkan, yang kalah menggunakan intelijen keuangan dan membuka data asal-usul keuangan calon yang menang. Ini dapat mengacaukan pe- milu. Apalagi peraturannya masih belum jelas.

Ini soal lain. Mengapa hubungan Panwaslu dan Komisi Pemilihan Umum buruk?

Kami merasa KPU kurang responsif. Surat kami sebagian besar tak dijawab. Bahkan saya dengar surat-surat itu tak dibicarakan di rapat pleno. Padahal tugas Panwaslu adalah mengawasi semua tahapan untuk menjaga kualitas pemilu. Pertanyaannya: kalau yang mengganjal pelaksanaan pemilu adalah KPU, apa yang harus kita lakukan? Tentu Panwaslu harus berteriak. Nah, di sinilah tampak KPU kurang senang. Mereka merasa direcokin dan wibawanya diganggu. KPU menganggap kami pengganggu.

Anda merasa anggota KPU arogan?

Saya membaca berita soal itu. Kesannya memang seperti itu. Tapi penilaian saya sih cuma berdasarkan surat-surat Panwaslu yang tidak direspons secara proporsional. Kami ini mitra yang ikut menjaga wibawa KPU. Kalau kami mengkritik, itu untuk kepentingan KPU juga.

Apakah ada aroma penyalahgunaan kekuasaan di KPU?

Kalau ada yang curiga, seharusnya dibuka saja. Saya memang mendapatkan informasi-informasi, tapi saya ini pengawas yang tak bisa memasuki wilayah itu. Kalau ada kecurigaan, silakan lanjutkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi saja. Itu untuk menghilangkan fitnah. Begitu juga yang saya lakukan di Panwaslu. Kalau saya dicurigai melakukan korupsi, saya akan meminta pembuktian terbalik atas kekayaan saya.

Apa kelemahan KPU yang paling kasatmata?

Ini berkaitan dengan lemahnya undang-undang soal pemilu. Menurut undang-undang, KPU sangat independen. Negara saat ini berada di tangan KPU. Kalau KPU salah, tak ada yang bisa menghukum KPU, kecuali soal pidana atau korupsi. Sayangnya, energi para intelektual yang ada di KPU hanya tersedot untuk persoalan teknis. Mereka hanya melakukan rapat-rapat untuk soal teknis. Kalau KPU menyerahkan soal teknis ke pihak ketiga (outsourcing), KPU bisa berkonsentrasi ke penegakan undang-undang dan pembuatan konsep. Itu lebih bagus.

Bagaimana dengan kinerja Panwaslu?

Di seluruh Indonesia, Panwaslu memiliki pekerja 17 ribu orang. Perinciannya, ada 9 orang di pusat, 5-6 orang di tiap provinsi, 5 orang di tiap kabupaten, dan 3 orang di tiap kecamatan. Untuk operasionalnya, Panwaslu membutuhkan biaya Rp 400 miliar. Sebagian besar dihabiskan untuk operasional di daerah. Saya dan kawan-kawan di Panwaslu sepakat bahwa ini bukan tempat cari uang dan tepuk tangan. Memang, banyak yang lolos dalam pengawasan. Soalnya, kami tak punya orang di wilayah di bawah kecamatan. Padahal di situ banyak terjadi kecurangan.

Mengapa Panwaslu kurang bergigi?

Ini persoalan undang-undang. Sanksi hukum dalam pidana pemilu sangat ringan. Orang jadi tak takut bila melanggar aturan-aturan pemilu. Inilah yang harus dibenahi

Apa yang Anda peroleh selama menjadi Ketua Panwaslu?

Saya tidak mengandalkan gaji dari sini. Di sini, saya cuma digaji sekitar Rp 5 juta per bulan, belum termasuk potongan pajak. Saya masih meninggalkan pekerjaan. Tapi, bagi saya, ini merupakan partisipasi buat Indonesia. Di hari tua nanti, kalau ada perubahan di Indonesia, saya bisa merasa ikut berperan sedikit. Namun, kalau ternyata pemilu ini melahirkan pemimpin yang enggak benar, saya akan ikut sedih.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A.

Tempat/Tanggal Lahir: Muntilan, Magelang, 18 Oktober 1953

Pendidikan:

  • Pondok Pesantren Pabelan, Magelang
  • S-1 Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1981)
  • Ph.D. Bidang Filsafat di Middle East Technical University, Turki (1995)
  • Post-Doctorate Research Program di McGill University, Kanada (1995)
  • Post-Doctorate Research Program di Hartford Seminary, Connecticut, AS (1997)

Pekerjaan:

  • Dosen Tetap di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta (1983-sekarang)
  • Ketua Yayasan Paramadina
  • Ketua Panitia Pengawas Pemilu 2004

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus