DUMAI, kota minyak di tepi Selat Rupat (Riau), berkembang
dcngan pesat. Mula-mula hanya merupakan sebuah desa nelayan yang
miskin dan sepi, dihuni kurang dari 500 jiwa. Sekarang merupakan
kota dengan fasilitas sangat memadai. Itu semua berkat semburan
minyak lebih dari 800 ribu barrel per hari dari ladang-ladang PT
Caltex Pacific Indonesia (CPI) di Riau ang disedot selama 30
tahun.
Dumai menjadi penting ketika pada 1958 Caltex mulai menimba
minyak dari Minas (30 km dari Pakanbaru) dan Duri (110 km dari
Pakanbatu). Untuk pcrluasan usaha perminyakan itu, Caltex
membangun jaringan jalan dari ladang ladang minyak tersebut ke
Dumai sebagai sarana transportasi dan penyalur pipa minyak. Di
Dumai pula kemudian dibangun pelabuhan untuk armadaarmada
tanker.
Kegiatan itu membangkitkan Dumai dari tidurnya.
Berbondong-bondong orang bekerja ke sana. Dalam tempo hanya 4
tahun setelah jalan itu usai dan pelabuhan siap, penghuni Dumai
meledak 60 kali lipat dari semula. Perumahan, pasar dan pusat
pertokoan muncul di berbagai sudut. Statusnya pun segera menjadi
kota kecamatan dan tahun lalu diresmikan sebagai kota
administratif.
Sepuluh tahun lalu Dumai tambah semarak lagi ketika
Pertamina membuka instalasi penyulingan minyak Putri Tujuh.
Kontan penduduk membengkak jadi 80.000 jiwa. Setelah Pertamina
menjadikannya sebagai Wilayah Kerja II, Dumai pun menjadi kota
kedua terbesar setelah Pakanbaru, ibukota provinsi-nya. Enam
kilometer di luar Dumai, Pertamina membangun bandar udara
Pinang Kampai yang bisa didarati F-28.
Pelabuhan Samudra
Dumai yang luasnya 5 km persegi, nampaknya bakal semakin
mekar, apalagi setelah ada kesepakatan dengan Pemda Pakanbaru
untuk membikin jalan minyak menuju Dumai sepanjang 178 km. "Akan
dimulai tahun depan, jalan itu dikerasi dengan beton aspal,'
kata Walikota Dumai, Wan Dahlan. Jalan tembus ke berbagai
kawasan di Riau juga mau dibangun, termasuk Jembatan Siak
sepanjang 350 meter. Jembatan seharga Rp 1,2 milyar lebih ini
merupakan jalan lintas pulau yang pertama di Sumatera,
menghubungkan Dumai di pantai timur dengan Padang di pantai
barat.
Bayangan masa depan itu mendorong Pemda Riau ingin
memindahkan ibukota Kabupaten Bengkalis ke Dumai. Tanpa
tunggu-tunggu lagi, sejumlah bangunan perkantoran pun segera
dibangun-lengkap. Departemen Perhubungan pun tak mau
ketinggalan, memutuskan Dumai sebagai pelabuhan udara. Dermaga
dan pergudangan disiapan. Bahkan Kanwil Perhubungan Laut II yang
untuk daerah Riau dan Sum-Bar ditenlpatkan di sana
Mengendur
Tapi impian Itu mendadak lenyap ketika 1974 kegiatan
Pertamina mengendur. Sejumlah pembangunan terhenti, ribuan buruh
menganggur, penduduk pun menyusut tinggal 65.00Q jiwa.
Jalan-jalan yang belum rampung kini berdebu di musim panas,
berlumpur bila hujan. Impian mendapatkan air bersih pun lenyap.
Satu satunya sumber air bersih hanyalah tangki penyimpan air
milik Pertamina yang berkapacitas 100 meter kubik.
Tapi yang sempat menikmati berkah minyak secara langsung,
tak banyak. Sektor pertambangan di Riau hanya menyerap tenaga 70
ribu penduduk alias 5% dari seluruh penduduk yang 1,8 juta jiwa.
Betapapun, tak dapat dipungkiri, adanya semacam jurang
antara karyawan perminyakan dengan penduduk biasa. Pendapatan
terendah karyawan Caltex Rp 148.000/bulan. Jurang ini nampak
jelas di pasar-pasar Pakanbaru pada hari Sabtu dan Minggu. Hari
itu para istri karyawan Caltex yang tinggai di kompleks
perumahan di Minas atau Rumbai turun dari bus-bus mereka
menyerbu pasar. Maka harga ikan yang biasanya Rp 700 melonjak
jadi Rp 1.500/kg, sedang sayur atau tekstil naik sampai 3040%.
Dan semua barang dagangan nampak masih baru dan segar, seolah
memang disiapkan buat mereka.
Cepu
Kota minyak lainnya yang juga cukup dikenal adalah Cepu,
yang sebenarnya merupakan kecamatan di Kabupaten Blora (Ja-Teng)
di perbatasan dengan Ja-Tim. Bermula dari tahun 1890 ketika
sebuah perusahaan Belanda menemukan ladang minyak di Desa
Ngareng, Cepu. Dalam perkembangannya sampai sekarang, Cepu
menjadi Pusat Pendidikan Latihan Lapangan Perindustrian Minyak
dan Gas Bumi (Pusdik Migas). Dan di sana pula, 1967, berdiri
Akademi Minyak dan Gas Bumi (Akamigas).
Memilih Cepu sebagai Pusdik Migas dengan Akamigasnya,
barangkali karena di sanalah pengeboran minyak paling tua
dilakukan. Sumur-sumur minyak yang sudah tua sekarang tak lebih
sebagai alat peraga bagi ratusan mahasiswa tugas belajar yang
datang dari seluruh Indonesia. Sumur-sumur itu masih
berproduksi, tapi hasilnya kecil sekali. Seklrang, misalnya,
dari 235 sumur di lapangan minyak di Ledok, 11 km baratlaut
Cepu, cuma 15 sumur yang menghasilkan. Sumur-sumur itu disedot
sejak tahun 1893.
Cepu lebih ramai ketimbang Blora ibukota kabupatennya. Di
sana bermukim 25.000 jiwa hanya sedikit yang menikmati berkah
minyak. Sekitar 60% pcnduduknya petani, selebihnya buruh,
pegawai dan pedagang. Di antara mereka sekitar 200 kk non
pribumi (10%nya masih WNA).
Sayang kota minyak ini kotor. Sampah dan tahi kuda menumpuk
dan berceceran di jalan. Rumput dibiarkan tumbuh liar Becak dan
cikar dibiarkan parkir seenaknya hingga jalan menjadi sumpek.
Tapi ada salah satu fasilitas Lemigas yang bisa dimanfatkan oleh
sebagian penduduk Cepu, ialah instalasi air bersih. "Tapi hanya
sepertiga penduduk yang bisa memanfaatkall air itu," ujar Camat
Cepu, Moh. Hussein.
Fasilitas lain yang juga bisa dimanfaatkan oleh umum ialah
kolam renang, lapangan golf, lapangan sepakbola, lapangan tenis.
Tapi semua ini tentu hanya untuk masyarakat golongan atas. Dan
seperti halnya kompleks perumahan karyawan perminyakan lainnya,
kompleks Akamigas di Mentul merupakan pemukiman megah yang
menyendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini