Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dumai & Cepu, Tampang Berminyak

Dumai, kota minyak di riau, berkembang pesat setelah caltex hadir di minas & permina membuka instalasi penyulingan minyak putri tujuh, tapi jurang antara karyawan minyak dengan penduduk juga cukup lebar.(kt)

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUMAI, kota minyak di tepi Selat Rupat (Riau), berkembang dcngan pesat. Mula-mula hanya merupakan sebuah desa nelayan yang miskin dan sepi, dihuni kurang dari 500 jiwa. Sekarang merupakan kota dengan fasilitas sangat memadai. Itu semua berkat semburan minyak lebih dari 800 ribu barrel per hari dari ladang-ladang PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) di Riau ang disedot selama 30 tahun. Dumai menjadi penting ketika pada 1958 Caltex mulai menimba minyak dari Minas (30 km dari Pakanbaru) dan Duri (110 km dari Pakanbatu). Untuk pcrluasan usaha perminyakan itu, Caltex membangun jaringan jalan dari ladang ladang minyak tersebut ke Dumai sebagai sarana transportasi dan penyalur pipa minyak. Di Dumai pula kemudian dibangun pelabuhan untuk armadaarmada tanker. Kegiatan itu membangkitkan Dumai dari tidurnya. Berbondong-bondong orang bekerja ke sana. Dalam tempo hanya 4 tahun setelah jalan itu usai dan pelabuhan siap, penghuni Dumai meledak 60 kali lipat dari semula. Perumahan, pasar dan pusat pertokoan muncul di berbagai sudut. Statusnya pun segera menjadi kota kecamatan dan tahun lalu diresmikan sebagai kota administratif. Sepuluh tahun lalu Dumai tambah semarak lagi ketika Pertamina membuka instalasi penyulingan minyak Putri Tujuh. Kontan penduduk membengkak jadi 80.000 jiwa. Setelah Pertamina menjadikannya sebagai Wilayah Kerja II, Dumai pun menjadi kota kedua terbesar setelah Pakanbaru, ibukota provinsi-nya. Enam kilometer di luar Dumai, Pertamina membangun bandar udara Pinang Kampai yang bisa didarati F-28. Pelabuhan Samudra Dumai yang luasnya 5 km persegi, nampaknya bakal semakin mekar, apalagi setelah ada kesepakatan dengan Pemda Pakanbaru untuk membikin jalan minyak menuju Dumai sepanjang 178 km. "Akan dimulai tahun depan, jalan itu dikerasi dengan beton aspal,' kata Walikota Dumai, Wan Dahlan. Jalan tembus ke berbagai kawasan di Riau juga mau dibangun, termasuk Jembatan Siak sepanjang 350 meter. Jembatan seharga Rp 1,2 milyar lebih ini merupakan jalan lintas pulau yang pertama di Sumatera, menghubungkan Dumai di pantai timur dengan Padang di pantai barat. Bayangan masa depan itu mendorong Pemda Riau ingin memindahkan ibukota Kabupaten Bengkalis ke Dumai. Tanpa tunggu-tunggu lagi, sejumlah bangunan perkantoran pun segera dibangun-lengkap. Departemen Perhubungan pun tak mau ketinggalan, memutuskan Dumai sebagai pelabuhan udara. Dermaga dan pergudangan disiapan. Bahkan Kanwil Perhubungan Laut II yang untuk daerah Riau dan Sum-Bar ditenlpatkan di sana Mengendur Tapi impian Itu mendadak lenyap ketika 1974 kegiatan Pertamina mengendur. Sejumlah pembangunan terhenti, ribuan buruh menganggur, penduduk pun menyusut tinggal 65.00Q jiwa. Jalan-jalan yang belum rampung kini berdebu di musim panas, berlumpur bila hujan. Impian mendapatkan air bersih pun lenyap. Satu satunya sumber air bersih hanyalah tangki penyimpan air milik Pertamina yang berkapacitas 100 meter kubik. Tapi yang sempat menikmati berkah minyak secara langsung, tak banyak. Sektor pertambangan di Riau hanya menyerap tenaga 70 ribu penduduk alias 5% dari seluruh penduduk yang 1,8 juta jiwa. Betapapun, tak dapat dipungkiri, adanya semacam jurang antara karyawan perminyakan dengan penduduk biasa. Pendapatan terendah karyawan Caltex Rp 148.000/bulan. Jurang ini nampak jelas di pasar-pasar Pakanbaru pada hari Sabtu dan Minggu. Hari itu para istri karyawan Caltex yang tinggai di kompleks perumahan di Minas atau Rumbai turun dari bus-bus mereka menyerbu pasar. Maka harga ikan yang biasanya Rp 700 melonjak jadi Rp 1.500/kg, sedang sayur atau tekstil naik sampai 3040%. Dan semua barang dagangan nampak masih baru dan segar, seolah memang disiapkan buat mereka. Cepu Kota minyak lainnya yang juga cukup dikenal adalah Cepu, yang sebenarnya merupakan kecamatan di Kabupaten Blora (Ja-Teng) di perbatasan dengan Ja-Tim. Bermula dari tahun 1890 ketika sebuah perusahaan Belanda menemukan ladang minyak di Desa Ngareng, Cepu. Dalam perkembangannya sampai sekarang, Cepu menjadi Pusat Pendidikan Latihan Lapangan Perindustrian Minyak dan Gas Bumi (Pusdik Migas). Dan di sana pula, 1967, berdiri Akademi Minyak dan Gas Bumi (Akamigas). Memilih Cepu sebagai Pusdik Migas dengan Akamigasnya, barangkali karena di sanalah pengeboran minyak paling tua dilakukan. Sumur-sumur minyak yang sudah tua sekarang tak lebih sebagai alat peraga bagi ratusan mahasiswa tugas belajar yang datang dari seluruh Indonesia. Sumur-sumur itu masih berproduksi, tapi hasilnya kecil sekali. Seklrang, misalnya, dari 235 sumur di lapangan minyak di Ledok, 11 km baratlaut Cepu, cuma 15 sumur yang menghasilkan. Sumur-sumur itu disedot sejak tahun 1893. Cepu lebih ramai ketimbang Blora ibukota kabupatennya. Di sana bermukim 25.000 jiwa hanya sedikit yang menikmati berkah minyak. Sekitar 60% pcnduduknya petani, selebihnya buruh, pegawai dan pedagang. Di antara mereka sekitar 200 kk non pribumi (10%nya masih WNA). Sayang kota minyak ini kotor. Sampah dan tahi kuda menumpuk dan berceceran di jalan. Rumput dibiarkan tumbuh liar Becak dan cikar dibiarkan parkir seenaknya hingga jalan menjadi sumpek. Tapi ada salah satu fasilitas Lemigas yang bisa dimanfatkan oleh sebagian penduduk Cepu, ialah instalasi air bersih. "Tapi hanya sepertiga penduduk yang bisa memanfaatkall air itu," ujar Camat Cepu, Moh. Hussein. Fasilitas lain yang juga bisa dimanfaatkan oleh umum ialah kolam renang, lapangan golf, lapangan sepakbola, lapangan tenis. Tapi semua ini tentu hanya untuk masyarakat golongan atas. Dan seperti halnya kompleks perumahan karyawan perminyakan lainnya, kompleks Akamigas di Mentul merupakan pemukiman megah yang menyendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus