SUDAH sejak lama Hartono langganan dokter. Ia menderita
penyakit jantung. Kalau bekerja sedikit berat napasnya seperti
mau putus. Cepat sekali merasa capek.
Sebulan yang lalu karyawan PT Hutama Karya ini masuk RS
Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dokter ahli jantung di situ
menyebutkan dia menderita atrial septal defect cacat pada sekat
yang menghubungkan serambi kiri dan kanan jantung). Semua orang
ketika masih bayi rnemiliki sekat jantung yang berlubang. Tapi
entah bagaimana sekat jantung Hartono tidak menutup, begitu dia
beranjak dewasa. Karena itu dokter yang merawatnya memutuskan
operasi untuk menolong anak muda ini.
3 Desember pagi-pagi dia sudah dibaringkan di ruangan Bedah
Jantung yang terletak di belakang Bagian Kardiologi. Operasi
yang dipimpin ahlibedah jantung, dr. Surarso itu berjalan baik.
Hartono lantas dipindahkan ke sebuah ruangan untuk memulihkan
bekas operasi .
Naas menyambar Hartono bukan di meja operasi, tapi justru
di ruangan pemulihan itu. Pukul 23.00 keesokan harinya listrik
tiba-tiba padam. Dokter jaga ketika itu berusaha menyalakan
diesel. Listrik nyala beberapa detik. Kemudian mati lagi, karena
kehabisan solar.
Dalam kegelapan dokter dan beberapa perawat kelabakan untuk
menyelamatkan nyawa pasien yang sama sekali tergantung pada
aliran listrik untuk menghidupkan mesin pembantu pernapasan. Dua
orang dokter buru-buru masuk menemui pasien.
Sementara adik dari si pasien yang menunggu di luar disuruh
mencari solar ke luar rumah sakit. Tapi persediaan solar di
pompa bensin persis di depan rLlmah sakit itu habis. Sampai
sejauh 1 km Edy Yusuf, adik Hartono, mencaricari kios solar. Tak
berhasil. Ia kembali ke rumah sakit. Setengah jam kemudian
barulah listrik nyala kembali. Dan ternyata ini bukan pertanda
baik. Sebab tak berapa lama kemudian dokter memberitahukan bahwa
Hartono telah meninggal.
Berita yang disiarkan media massa ibukota itu cukup
menakutkan. Tak heran beberapa anggota DPR-RI menyampaikan
reaksi keras. "Sebagai rumah sakit yang peralatannya lebih
komplit lari rumah sakit lain, seharusnya kasus demikian tidak
terjadi di RSCM. Kalau di negara lain, direksi rumah sakit
dengan kasus demikian pasti mengundurkan diri," cetus Drs.
Sudardji dari F.PP dan Ketua Komisi VII DPR, kepada pers.
Direksi RSCM sendiri belum memberikan tanggapan terhadap
reaksi tersebut "Kami sedang mempelajari reaksi-reaksi mengenai
kejadian itu dalanicbuah rapat. direksi," jawab dr. Helmy
Direktur Medis RSCM. Tentang kematian Hartono sendiri, dr.
Surarso yang mcmimpin operasi tidak berkenan memberikan
penjelasan. tak ada keterangan dari saya," katanya tajam.
Tulana Sumsum
Sedangkan pihak PLN Distribusi Jakarta Raya & Tangerang
menganggap putusnya aliran listtik rumah sakit paling top itu
karena kecelakaan. "Ada gangguan pada kabel tegangan menengah
yang antara lain mengalirkan listrik ke RSCM," kata Widijarso,
Kepala Humas. Kalau ada pemutusan sengaja untuk melakukan
perbaikan, pihak PLN katanya akan menyampaikan pemberitahuan
lebih dulu.
SepanJang yang diketahui kematian karena putusnya aliran
listrik di RSCM sudah dua kali dengan pasien Hartono ini.
Desember 1978 Atase Pertahanan Kedutaan Malaysia, Kolonel Arifin
bin Muda, 40, juga meninggal dengan cara menyedihkan.pukul 3
pagi dia buru-buru diberangkatkan ke ruangan Intensive
Coronory Care Unit (ICCU). Arifin bin Muda diduga kena serangan
jantung. Mesin-mesin jantung dipasang. Tapi tiba-tiba . . . pet.
Listrik padam. Atase militer itu meninggal sebelurn sempat
ditolong.
Karena kemalangan itu menyangkut kegagalan, tak banyak
keterangan yang bisa keluar. Beberapa dokter ketika itu menduga
jantung Arifin bin Muda mengalami gangguan ritme. Debar
jantungnya bergalau, sampai ratusan denyut per menit.
Dokter hendak mengatasinya dengan therapi countershock yang
tentu saja memerlukan tenaga listrik. Listrik mati, habis mau
bikin apa? Memang untuk mengatasi debar jantung menggila seperri
itu bisa juga dicoba dengan melakukan pemukulan terhadap tulang
dada. Tapi cara begini kurang meyakinkan.
"Untung sudah dua tahun Perawatan Kegawatan Jantung berdiri
belum pernah listrik putus. Padahal dari sekitar 1000 pasien
jantung yang masuk ke mari banyak juga yang memerlukan
pertolongan dengan countersbock," urai ahli jantung Barita
Sitompul, 41, dari Bagian Kardiologi RSCM.
Bagian ini sama sekali tergantung dari Pl N. Sedangkan
mesin defibrilasi di situ menurut Sitompul saban hari diperiksa
tiga kali. "Jangan sampai begitu mau dinyaiakan ternyata memang
sudah rusak," katanya.
Bagian bedah jantung sendiri melakukan pembedahan dua kali
seminggu. Di bagian bedah saraf frekuensi pembedahan lebih kerap
450 kali/tahun.Bagian ini hanya mcngandalkan tenaga listrik dari
PLN. Tak heran banyak kcadian-kejadian yang mencemaskan terJadi
disini.
"Saya sudah sempat memhuka kepala seorang pasien. Eh,
tiba-tiba listrik mati. Ya, kepala saya tutup kembali,"
cerita ahli bedah saraf, dr. Padmosantjojo, 43 tahun. Ia
juga sudah pernah membuka tulang sumsum, tapi mendadak
sontak membatalkan operasi karena ulah listrik juga.
Menurut Padmosantjojo jika listrik mati strategi operasi
akan berubah sama sekali. Sehingga dokter mendapat beban dua
kali lipat. Dia harus segera menghadapi perubahan dalam narkosa.
Harus cepat mengambil inisiatif untuk meiakukan pemompaan mesin
pemapasan dengan tangan. Dia juga harus segera berpikir
bagaimana bisa menyedot kembali darah yang sudah berlumuran
padahal mesin penyedot sudah mati.
Kalang Kabut
"Kalau daya improvisasi seorang dokter ahli bedah kurang,
bisa berakibat fatal. Kalau hal ini terjadi pada dokter Belanda,
si pasien sudahlah pasti mati. Karena mereka tidak punya
pengalaman dengan pengadaan listrik seperti di sini," urai
dokter yang pernah menuntut ilmu bedah di Belanda itu.
Heran juga bahwa rumah sakit dengan anggaran belanja Rp 5,9
milyar untuk 1980/1981 itu tidak bisa menyediakan sekedar lampu
darurat untuk beberapa bagian penting. Misalnya Kanlio logi,
Bedah Jantung atau Bedah Saraf. Padahal harganya hanya sekitar
Rp 50.000 sebuah. Dengan lampu darurat ini, seperti dikatakan
seorang perawat, dokter dan perawat bisa memberikan pertolongan
agak leluasa. Jadi tidak kalang-kabut dalam kegelapan.
Sebenarnya RSCM sudah memiliki alat pembangkit listrik
cadangan berke kuatan 600 KVA yang sudah dipasang setahun yang
lalu. Alat ini akan bekerja secara otomatis begitu aliran dari
PLN putus. Tapi, seperti dikatakan Direktur Medis dr. Helmy
listrik dari tenaga cadangan itu hanya dialirkan ke Intensive
Care Unit dan Bedah Sentral.
Beberapa sumber dokter di RSCM menyebutkan, nasib Hartono
sebenarnya tak perlu semalang itu. Dengan dibukanya Bedah
Sentral yang terletak di bagian tengah rumah sakit, setahun yang
lalu, bagian bedah jantung seharusnya juga sudah berada di sana.
Jadi soal listrik yang mematikan itu tak sampai tcrjadi.
Tapi dokter di bagian bedah jantung rupanya tak mau pindah
ke sana. Karena menurut beberapa sumber, dokter bedah jantung
tak mau pindah ke sana untuk menghindari birokrasi. Misalnya
mereka harus lapor dulu kalau hendak mengadakan operasi.
Ada pula yang menyebutkan belum pindahnya beberapa bagian
bedah ke Bedah Sentral itu karena disain ruangan di sana kurang
tepat. Barang-barang sleril dan tercemar kotoran konon keluar
masuk dari pintu yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini