Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Listrik Padam Jantung Pun Mati

Kasus kematian pasien jantung karena terputus aliran listrik di RSCM, Hartono dan atase pertahanan kedutaan malaysia, kol. Arifin Bin Muda. (ksh)

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sejak lama Hartono langganan dokter. Ia menderita penyakit jantung. Kalau bekerja sedikit berat napasnya seperti mau putus. Cepat sekali merasa capek. Sebulan yang lalu karyawan PT Hutama Karya ini masuk RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dokter ahli jantung di situ menyebutkan dia menderita atrial septal defect cacat pada sekat yang menghubungkan serambi kiri dan kanan jantung). Semua orang ketika masih bayi rnemiliki sekat jantung yang berlubang. Tapi entah bagaimana sekat jantung Hartono tidak menutup, begitu dia beranjak dewasa. Karena itu dokter yang merawatnya memutuskan operasi untuk menolong anak muda ini. 3 Desember pagi-pagi dia sudah dibaringkan di ruangan Bedah Jantung yang terletak di belakang Bagian Kardiologi. Operasi yang dipimpin ahlibedah jantung, dr. Surarso itu berjalan baik. Hartono lantas dipindahkan ke sebuah ruangan untuk memulihkan bekas operasi . Naas menyambar Hartono bukan di meja operasi, tapi justru di ruangan pemulihan itu. Pukul 23.00 keesokan harinya listrik tiba-tiba padam. Dokter jaga ketika itu berusaha menyalakan diesel. Listrik nyala beberapa detik. Kemudian mati lagi, karena kehabisan solar. Dalam kegelapan dokter dan beberapa perawat kelabakan untuk menyelamatkan nyawa pasien yang sama sekali tergantung pada aliran listrik untuk menghidupkan mesin pembantu pernapasan. Dua orang dokter buru-buru masuk menemui pasien. Sementara adik dari si pasien yang menunggu di luar disuruh mencari solar ke luar rumah sakit. Tapi persediaan solar di pompa bensin persis di depan rLlmah sakit itu habis. Sampai sejauh 1 km Edy Yusuf, adik Hartono, mencaricari kios solar. Tak berhasil. Ia kembali ke rumah sakit. Setengah jam kemudian barulah listrik nyala kembali. Dan ternyata ini bukan pertanda baik. Sebab tak berapa lama kemudian dokter memberitahukan bahwa Hartono telah meninggal. Berita yang disiarkan media massa ibukota itu cukup menakutkan. Tak heran beberapa anggota DPR-RI menyampaikan reaksi keras. "Sebagai rumah sakit yang peralatannya lebih komplit lari rumah sakit lain, seharusnya kasus demikian tidak terjadi di RSCM. Kalau di negara lain, direksi rumah sakit dengan kasus demikian pasti mengundurkan diri," cetus Drs. Sudardji dari F.PP dan Ketua Komisi VII DPR, kepada pers. Direksi RSCM sendiri belum memberikan tanggapan terhadap reaksi tersebut "Kami sedang mempelajari reaksi-reaksi mengenai kejadian itu dalanicbuah rapat. direksi," jawab dr. Helmy Direktur Medis RSCM. Tentang kematian Hartono sendiri, dr. Surarso yang mcmimpin operasi tidak berkenan memberikan penjelasan. tak ada keterangan dari saya," katanya tajam. Tulana Sumsum Sedangkan pihak PLN Distribusi Jakarta Raya & Tangerang menganggap putusnya aliran listtik rumah sakit paling top itu karena kecelakaan. "Ada gangguan pada kabel tegangan menengah yang antara lain mengalirkan listrik ke RSCM," kata Widijarso, Kepala Humas. Kalau ada pemutusan sengaja untuk melakukan perbaikan, pihak PLN katanya akan menyampaikan pemberitahuan lebih dulu. SepanJang yang diketahui kematian karena putusnya aliran listrik di RSCM sudah dua kali dengan pasien Hartono ini. Desember 1978 Atase Pertahanan Kedutaan Malaysia, Kolonel Arifin bin Muda, 40, juga meninggal dengan cara menyedihkan.pukul 3 pagi dia buru-buru diberangkatkan ke ruangan Intensive Coronory Care Unit (ICCU). Arifin bin Muda diduga kena serangan jantung. Mesin-mesin jantung dipasang. Tapi tiba-tiba . . . pet. Listrik padam. Atase militer itu meninggal sebelurn sempat ditolong. Karena kemalangan itu menyangkut kegagalan, tak banyak keterangan yang bisa keluar. Beberapa dokter ketika itu menduga jantung Arifin bin Muda mengalami gangguan ritme. Debar jantungnya bergalau, sampai ratusan denyut per menit. Dokter hendak mengatasinya dengan therapi countershock yang tentu saja memerlukan tenaga listrik. Listrik mati, habis mau bikin apa? Memang untuk mengatasi debar jantung menggila seperri itu bisa juga dicoba dengan melakukan pemukulan terhadap tulang dada. Tapi cara begini kurang meyakinkan. "Untung sudah dua tahun Perawatan Kegawatan Jantung berdiri belum pernah listrik putus. Padahal dari sekitar 1000 pasien jantung yang masuk ke mari banyak juga yang memerlukan pertolongan dengan countersbock," urai ahli jantung Barita Sitompul, 41, dari Bagian Kardiologi RSCM. Bagian ini sama sekali tergantung dari Pl N. Sedangkan mesin defibrilasi di situ menurut Sitompul saban hari diperiksa tiga kali. "Jangan sampai begitu mau dinyaiakan ternyata memang sudah rusak," katanya. Bagian bedah jantung sendiri melakukan pembedahan dua kali seminggu. Di bagian bedah saraf frekuensi pembedahan lebih kerap 450 kali/tahun.Bagian ini hanya mcngandalkan tenaga listrik dari PLN. Tak heran banyak kcadian-kejadian yang mencemaskan terJadi disini. "Saya sudah sempat memhuka kepala seorang pasien. Eh, tiba-tiba listrik mati. Ya, kepala saya tutup kembali," cerita ahli bedah saraf, dr. Padmosantjojo, 43 tahun. Ia juga sudah pernah membuka tulang sumsum, tapi mendadak sontak membatalkan operasi karena ulah listrik juga. Menurut Padmosantjojo jika listrik mati strategi operasi akan berubah sama sekali. Sehingga dokter mendapat beban dua kali lipat. Dia harus segera menghadapi perubahan dalam narkosa. Harus cepat mengambil inisiatif untuk meiakukan pemompaan mesin pemapasan dengan tangan. Dia juga harus segera berpikir bagaimana bisa menyedot kembali darah yang sudah berlumuran padahal mesin penyedot sudah mati. Kalang Kabut "Kalau daya improvisasi seorang dokter ahli bedah kurang, bisa berakibat fatal. Kalau hal ini terjadi pada dokter Belanda, si pasien sudahlah pasti mati. Karena mereka tidak punya pengalaman dengan pengadaan listrik seperti di sini," urai dokter yang pernah menuntut ilmu bedah di Belanda itu. Heran juga bahwa rumah sakit dengan anggaran belanja Rp 5,9 milyar untuk 1980/1981 itu tidak bisa menyediakan sekedar lampu darurat untuk beberapa bagian penting. Misalnya Kanlio logi, Bedah Jantung atau Bedah Saraf. Padahal harganya hanya sekitar Rp 50.000 sebuah. Dengan lampu darurat ini, seperti dikatakan seorang perawat, dokter dan perawat bisa memberikan pertolongan agak leluasa. Jadi tidak kalang-kabut dalam kegelapan. Sebenarnya RSCM sudah memiliki alat pembangkit listrik cadangan berke kuatan 600 KVA yang sudah dipasang setahun yang lalu. Alat ini akan bekerja secara otomatis begitu aliran dari PLN putus. Tapi, seperti dikatakan Direktur Medis dr. Helmy listrik dari tenaga cadangan itu hanya dialirkan ke Intensive Care Unit dan Bedah Sentral. Beberapa sumber dokter di RSCM menyebutkan, nasib Hartono sebenarnya tak perlu semalang itu. Dengan dibukanya Bedah Sentral yang terletak di bagian tengah rumah sakit, setahun yang lalu, bagian bedah jantung seharusnya juga sudah berada di sana. Jadi soal listrik yang mematikan itu tak sampai tcrjadi. Tapi dokter di bagian bedah jantung rupanya tak mau pindah ke sana. Karena menurut beberapa sumber, dokter bedah jantung tak mau pindah ke sana untuk menghindari birokrasi. Misalnya mereka harus lapor dulu kalau hendak mengadakan operasi. Ada pula yang menyebutkan belum pindahnya beberapa bagian bedah ke Bedah Sentral itu karena disain ruangan di sana kurang tepat. Barang-barang sleril dan tercemar kotoran konon keluar masuk dari pintu yang sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus