Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Amarah di tengah gamelan

Pembacaan sajak oleh m.h. ainun nadjib, kumpulan puisinya yang berjudul 'tuhan aku berguru kepadamu', di iringi oleh perangkat musik termasuk gamelan.(tr)

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMHA Ainun Nadjib membacakan sajaknya yang pertama, Jakarta. Dan ia memekik "Kotaku meraung!" Lalu serempak gamelan dipalu. Sangat keras dan menggulung ruangan Teater Arena TIM, 8 Desember, dengan cepat dan riuh. Hanya kadang-kadang saja bunyi-bunyian itu menipis atau menjadi alun --mengikuti rasa sajak yang dibacakan penyair Yogya berusia 27 tahun itu. Penampilan Emha, secara keseluruhan, setidak-tidaknya mencerminkan semangat tinggi untuk unjuk gigi. Dan itu dibarengi--agaknya--dengan persiapan yang cukup rapi. Kecuali setumpuk puisi, juga taktik mencari harmoni perpaduan bunyi. Ditambah pula dengan upaya menciptakan kenikmatan pandangan mata. Sebuah panggung rendah bertutup kain hitam dibuat di arena. Di sanalah gamelan Jawa lengkap dengan gong serta para penabuhnya berada -- di bawah dua buah payung emas keratonan. Agak ke depan, sang penyair duduk bersila di belakang meja kecil bertaplak putih. la sendiri berkaus hitam lengan panjang dengan celana cokelar muda. Sementara itu kain-kain hitam yang lebar, yang menjelang ujungnya diberi simpul, digantungkan di atas bagian belakang. Dan dua alat pengeras suara dipasang di tengah penonton di kiri dan kanan. Tentu saja, di tengah suasana tenteram, di hadapan kata-kata yang menerjang --marah dan muram --ditingkah suara gamelan yang keras-nyaring, orang pun hanyut. Tak cuma itu. Ainun pun mengucapkan ayat-ayat Quran -- bahkan mengakhiri "puisi kampung"nya, Gudeg Yogya, dengan iqomat (ajakan sembahyang) . Suasana kemudian memang bergantiganti. Sekitar 15 sajak dibacakan tanpa gamelan, sebagian besar bertema ketuhanan Penyair ini memang bekas anak pesantren, dan "saya ingin membuka pengajian", katanya. Rambutnya gondrong. Tubuhnya tipis, tinggi, dan belakangan sakit-sakitan. Kumpulan puisinya yang dibacakan itu diberi judul Tuhan. Aku berguru KepadaMu. Di dalamnya memang ada empat buah sajak dengan judul itu--Yang dibacakan dengan petikan gitar klasik, disambung gesekan biola dengan gaya padang-pasiran lalu pembacaan Alif Lam Mim disusul trompet dan gamelan. Suasana religius berhasil dimunculkan. Yang paling menarik memang pembacaan dengan iringan gamelan sendiri. Karena itu, meski cuma tujuh sajak yang dilringinya -- tapi panjang-panjang -unsur musiknya terasa lebih dominan. Namun, yang khas di sana adalah suasana Jawa yang begitu kuat diciptakan baik oleh bahasa "puisi-puisi kampung", maupun oleh cara penyajian dan tabuhan gamelannya yang mengingatkan pada wayang kulit atau uyon-uyon atau pangkur jenggleng yang khas Yogya. Karena itu, meskipun sajak-sajaknya berupa kritik sosial, penyajiannya yang kalem dan nJawani membuatnya gandem di samping marem, meminjam model bahasa sajak-sajaknya sendiri. Orang yang tak mengenal kesenian serta bahasa Jawa tentu agak sulit memasuki suasana ini Ngisep klembak menyan, menghirup teh kental sambil berselonjor di kursi panjang. Selingan dialog yang dilakukan antara dua orang nayaga -- seperti dalam pangkur Jenggleng --ternyata merupakan bagian yang paling menarik dan sangat lucu, sehingga sajak Ngisep Klembak Menyan itu jadi mencuat. Biasa Percakapan itu (antara ayah dananak), misalnya: 'Dadia pangertenmu. Le. Sugih tanpa banda, nglurug tanpa bala (Pahamilah, Nak. Kaya tanpa harta, menggempur tanpa tentara), nasihat si ayah. "Inggih Rama, dados pangerten kula. Pangkat tanpa tulada, mangan kentekan sega, (Ya, Bapak, saya pahami. Pangkat tanpa teladan, makan kehabisan nasi)," sahut si anak. Kata si anak lagi "Nunggu Ratu Adil malah ketemu bedil". Dan seterusnya. Penonton menyambut semua itu dengan gerr dan tepuk tangan. Bentuk penyajian seperti itu bagi orang Jawa--dan yang mengenal keseman Jawa--adalah biasa. Ainun sendiri mengatakan, dalam acara tanyajawab sesudah pembacaan sajak, proses pertemuannya dengan gamelan sederhana saja. Ia berkawan dengan para anggota Teater Dinasti yang bisa memainkan gamelan, gitar, biola dan alat lainnya. Dari pertemuan itu muncul gagasan untuk membacakan sajak diiringi perangkat musik. Aransemen dibikin. Mereka pun ngamen ke kampung-kampung. "Supaya orang-orang kampung mengenal puisi," kata Ainun. "Gamelan itu cuma untuk ngapusi (mengelabui) mereka saja," sambungnya. Menurut pengakuannya, sambutan ternyata cukup baik. Kampus-kampus pun mengundangnya. Dan di TIM, apa yang terjadi secara bersahaja itu ternyata mendapat sambutan mewah --tercermin pada komentar hadirin dalam tanyajawab tadi. Kesederhanaan bisa mengejutkan, ternyata. Yudhistira ANM Massardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus