BERKASNYA sedang dipersiapkan Kepoiisian Jakarta. Dan tak
lama lagi tiga tersangka--sekarang mereka ditahan--siap pula
diajukan ke pengadiln Menyangkut uang lebih seratus juta rupiah,
komplotan yang menurut polisi taki Hendrik alias A Kim menjadi
menarik, karena menggunakan liku-liku hukum .
Segala sesuatunya memang tampak legal. Mulai dari meminta
bantuan hukum sebuah kantor pengacara, sampai memperoleh
keputusan pengadilan segala. Sehingga, menurut pejabat
kepolisian di Kodak Metro Jaya, kegiatan Hendrik dkk "merupakan
modus openradi, atau cara melakukan kejahatan, model baru."
Kakak beradik Hidayat aiias Pong Klam dan Erick Gunawan
yang juga bernama Hian Eng, pedagang di Pasar Pagi Jakarta
Kota, sejak beberapa waktu sebelum Juli 1980 mulai belanja
belrnacam-macam barang: kembang-api,barang-barang plastik, kaus,
baju jadi 7 dan lain-lain, dari sekitar 50 pedagang
iangganannya. Para relasinya mau mcnerima pembayaran dengan giro
bilyet atau cek yang berlaku mundur. Berapa jumlah yang diutang
mereka, belum dapat dipastikan.
Barang-barang tersebut kemudian dioperkan kepada Hendrik.
Lalu bagaimana mereka menyelesaikan utang utangnya? Seperti
diakui kepada polisi kemudian, Erick memhuar pengakuan utang
sebesar Rp 1,5 juta kepada Hendrik dan orang lain bernama Herman
(polisi belum menemukan orang ini), yang dengan alasan kesulitan
uang sehingga tak mungkin dibayarnya.
Pengakuan tersebut oleh Hendrik dan Herman diperkarakan ke
pengadilan. Pengacara Kho Gin Tjan, yang katanya dibayar Rp 5
juta, kemudian mengurusnya untuk memperoleh ,keputusan pailit
bagi usaha Erick. Keputusan tak sulit diperoleh. Hakim Benyamin
Mangkudilaga dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengabulkan
permohonan Kho Gin Tjan, Agustus lalu, yaitu tidak lebih dari
seminggu sejak perkara diajukan. Toko dan isinya yang tak
seberapa -- yang telah disegel tiga hari sesudah perkara masuk
ke pengadilan--serta sisa uang di bank telah diserahkan ke Balai
Hata Peninggalan.
Kembang-api
Dengan keputusan pengadilan tersebut, berdasarkan fasal 47
KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), Erick dan Hidayat
terahindar dari tagihan membayar senhua utang yang sengaja
dibuatnya. Tapi ternyata ada beberapa orang kreditur yang tak
mau menerima begitu saja kebangkrutan yang diciptakan Hendrik,
melalui Kho Gin Tjan dan pengadilan. Mereka mengadu ke polisi.
Misalnya, seperti yang dilakukan Kusumawibawa, pengusaha
kembangapi Cap Kucing yang merasa dirugikan sekitar Rp 45 juta.
Hidayat dan Erick, kata Kusuma, sebelumnya memang cukup
dipercayainya. Itulah sebabnya tanpa ragu-ragu ia berani
melayani permintaan kembang-api yang mereka pesan secara
berangsur-angsur dan pembayaran dengan cek yang berlaku mundur.
Pada saat terakhir, ceritanya kepada TEMP0 . utang Erick dan
Hidayat sudah mencapai 750 peti kembang-api.
Dan pada waktu pengiriman terakhir, 28 Juli, Hidayat dan
Erick menjanjikan pembayaran akan dilakukan 1 Agustus. Untuk
menjemput uangnya, kata Kusuma, "saya malah diminta agar
membawa pengawal. Pada waktu yang dijanjikan Kusuma memang
datang bersana dua orang pengawal. Tapi, katanya, ia menjumpai
toko langganannya tersebut dalam keadaan disegel. "Ketika
itulah saya menyadari telah kena tipu," ucap Kusuma.
Menurut hukum, sebenarnya, Kusuma dan pedagang lain yang
dirugikan dapat mengajukan bantahan terhadap keputusan
pengadilan yang menyatakan Erick dan Hidayat pailit. Tapi
mencium urusan berbau penipuan, mereka lebih suka mengadu ke
polisi.
Perkara belum dibuka di pengadilan. Tapi adalah Advokat Kho
Gin Tjan, bak kebakaran jenggot, memaki-maki "Bangsat, si
Hendrik itu!" la, katanya, tak menyangka kantornya telah
diperalat komplotan yang menurut polisi diatur oleh bekas
kliennya. Ia mau membantu Hendrik, katanya, karena perkara
yang dibawanya biasa-biasa saja Ada yang mengaku punya piutang,
ada yang mengaku punya utang, dan apa salahnya bila ia membantu
mereka memintakan pernyataan pailit dati pengadilan?
Kho Gin Tjan membenarkan "pailit aneh" yang belakangan
diurusnya itu merupakan perkara kedua yang pernah ditanganinya.
Yang pertama, katanya, diminta oleh seseorang yang tak lain
adalah pegawai Hendrik. Orang itu, Hendrik, "memang jago tipu,
hebat, padahal orangnya masih muda, baru berumur 23 tahun,"
kata Kho Gin Tjan.
Bahkan, saking hebatnya, pengacara kawakan itu sendiri
hendak pula diperasnya. Ketika urusan mulai di tangan polisi,
kata Kho Gin Tjan, bekas kliennya tersebut pernah mengiriminya
sutat. Isinya, kalau pengacara tersebut tak mau memberinya
sejumlah uang, akan dilibatkan -- seolah-olah ia adalah salah
seorang anggota komplotan yang membantu melicinkan jalannya
penipuan.
Kho Gin Tjan, merasa hanya menjalankan tugas sebagai
pemberi bantuan hukum, tak mau melayani tuntutan Hendrik. Ia
juga membantah pernyataan Hendrik kepada polisi yang mengatakan
honornya Rp 5 juta. Berani sumpah, katanya, "saya hanya menerima
Rp 1 juta." Sementara kantornya cukup laris, lanjutnya, "untuk
apa saya menjelekkan nama sendiri hanya untuk uang Rp 1 juta?"
Bahkan, sebagai pengacara, Kho Gin Tjan merasa punya kewajiban
melaporkan kepada y ang berwajib bila sebelumnya ia tahu
kebusukan kliennya.
Diperalat
Yang boleh menjadi pertanyaan: begitu mudahkah pengadilan
diperalat oleh seseorang yang ingin dinyatakan pailit -- sekedar
untuk menghindari tagihan? Hakim Benyamin tentu saja menjawab
tidak! Pengadilan, katanya, harus menempuh beberapa tatacara.
Mula-mula, kata Benyamin, keterangan masing-masing
pihak--kreditur dan debitur--didengarkan. Bukti utangpiutang
juga diperhatikan. Sebagai langkah pengamanan, tambah Benyamin
pula, uang di bank dan harta milik calon yang akan dinyatakan
pailit dikuasai pengadilan.
Keputusan pailit berikutnya juga diumumkan di koran. Yang
keberatan boleh segera mengajukan bantahan atau gugatan ke
pengadilan. Bila semuanya beres, barulah Balai Harta Peninggalan
membagi-bagikan kekayaan pailit tersebut, kepada siapa saja yang
dapat membuktikan punya piutang.
Bahwa, ada yang memanfaatkan prosedur hukum untuk menipu,
kata Bcnyamin, "itu sih bisa saja." Iapi, katanya, sebenarnya ia
tak melihat suatu celah pada hukum yang mengatur kepailitan yang
mungkin dimanfaatkan penipu. " 'Kan keputusan pailit diumumkan
di koran--dengan itu semua orang dianggap tahu dan bisa
mengajukan bantahan bila keberatan atau merasa tertipu." Namun,
terhadap kasus Hendrik dkk, menurut Benyamin, sampai sekarang
toh belum ada pihak yang melakukan intervensi --kecuali cuma
melapor kepada polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini