Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Banyak Utang, Bilang Saja Pailit

Dengan memperalat sebuah kantor pengacara (kho gin tjan) & pengadilan, sebuah komplotan melakukan penipuan untuk memperoleh keputusan pailit bagi usahanya dengan keputusan tersebut komplotan tersebut terhindar.(hk)

20 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKASNYA sedang dipersiapkan Kepoiisian Jakarta. Dan tak lama lagi tiga tersangka--sekarang mereka ditahan--siap pula diajukan ke pengadiln Menyangkut uang lebih seratus juta rupiah, komplotan yang menurut polisi taki Hendrik alias A Kim menjadi menarik, karena menggunakan liku-liku hukum . Segala sesuatunya memang tampak legal. Mulai dari meminta bantuan hukum sebuah kantor pengacara, sampai memperoleh keputusan pengadilan segala. Sehingga, menurut pejabat kepolisian di Kodak Metro Jaya, kegiatan Hendrik dkk "merupakan modus openradi, atau cara melakukan kejahatan, model baru." Kakak beradik Hidayat aiias Pong Klam dan Erick Gunawan yang juga bernama Hian Eng, pedagang di Pasar Pagi Jakarta Kota, sejak beberapa waktu sebelum Juli 1980 mulai belanja belrnacam-macam barang: kembang-api,barang-barang plastik, kaus, baju jadi 7 dan lain-lain, dari sekitar 50 pedagang iangganannya. Para relasinya mau mcnerima pembayaran dengan giro bilyet atau cek yang berlaku mundur. Berapa jumlah yang diutang mereka, belum dapat dipastikan. Barang-barang tersebut kemudian dioperkan kepada Hendrik. Lalu bagaimana mereka menyelesaikan utang utangnya? Seperti diakui kepada polisi kemudian, Erick memhuar pengakuan utang sebesar Rp 1,5 juta kepada Hendrik dan orang lain bernama Herman (polisi belum menemukan orang ini), yang dengan alasan kesulitan uang sehingga tak mungkin dibayarnya. Pengakuan tersebut oleh Hendrik dan Herman diperkarakan ke pengadilan. Pengacara Kho Gin Tjan, yang katanya dibayar Rp 5 juta, kemudian mengurusnya untuk memperoleh ,keputusan pailit bagi usaha Erick. Keputusan tak sulit diperoleh. Hakim Benyamin Mangkudilaga dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengabulkan permohonan Kho Gin Tjan, Agustus lalu, yaitu tidak lebih dari seminggu sejak perkara diajukan. Toko dan isinya yang tak seberapa -- yang telah disegel tiga hari sesudah perkara masuk ke pengadilan--serta sisa uang di bank telah diserahkan ke Balai Hata Peninggalan. Kembang-api Dengan keputusan pengadilan tersebut, berdasarkan fasal 47 KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), Erick dan Hidayat terahindar dari tagihan membayar senhua utang yang sengaja dibuatnya. Tapi ternyata ada beberapa orang kreditur yang tak mau menerima begitu saja kebangkrutan yang diciptakan Hendrik, melalui Kho Gin Tjan dan pengadilan. Mereka mengadu ke polisi. Misalnya, seperti yang dilakukan Kusumawibawa, pengusaha kembangapi Cap Kucing yang merasa dirugikan sekitar Rp 45 juta. Hidayat dan Erick, kata Kusuma, sebelumnya memang cukup dipercayainya. Itulah sebabnya tanpa ragu-ragu ia berani melayani permintaan kembang-api yang mereka pesan secara berangsur-angsur dan pembayaran dengan cek yang berlaku mundur. Pada saat terakhir, ceritanya kepada TEMP0 . utang Erick dan Hidayat sudah mencapai 750 peti kembang-api. Dan pada waktu pengiriman terakhir, 28 Juli, Hidayat dan Erick menjanjikan pembayaran akan dilakukan 1 Agustus. Untuk menjemput uangnya, kata Kusuma, "saya malah diminta agar membawa pengawal. Pada waktu yang dijanjikan Kusuma memang datang bersana dua orang pengawal. Tapi, katanya, ia menjumpai toko langganannya tersebut dalam keadaan disegel. "Ketika itulah saya menyadari telah kena tipu," ucap Kusuma. Menurut hukum, sebenarnya, Kusuma dan pedagang lain yang dirugikan dapat mengajukan bantahan terhadap keputusan pengadilan yang menyatakan Erick dan Hidayat pailit. Tapi mencium urusan berbau penipuan, mereka lebih suka mengadu ke polisi. Perkara belum dibuka di pengadilan. Tapi adalah Advokat Kho Gin Tjan, bak kebakaran jenggot, memaki-maki "Bangsat, si Hendrik itu!" la, katanya, tak menyangka kantornya telah diperalat komplotan yang menurut polisi diatur oleh bekas kliennya. Ia mau membantu Hendrik, katanya, karena perkara yang dibawanya biasa-biasa saja Ada yang mengaku punya piutang, ada yang mengaku punya utang, dan apa salahnya bila ia membantu mereka memintakan pernyataan pailit dati pengadilan? Kho Gin Tjan membenarkan "pailit aneh" yang belakangan diurusnya itu merupakan perkara kedua yang pernah ditanganinya. Yang pertama, katanya, diminta oleh seseorang yang tak lain adalah pegawai Hendrik. Orang itu, Hendrik, "memang jago tipu, hebat, padahal orangnya masih muda, baru berumur 23 tahun," kata Kho Gin Tjan. Bahkan, saking hebatnya, pengacara kawakan itu sendiri hendak pula diperasnya. Ketika urusan mulai di tangan polisi, kata Kho Gin Tjan, bekas kliennya tersebut pernah mengiriminya sutat. Isinya, kalau pengacara tersebut tak mau memberinya sejumlah uang, akan dilibatkan -- seolah-olah ia adalah salah seorang anggota komplotan yang membantu melicinkan jalannya penipuan. Kho Gin Tjan, merasa hanya menjalankan tugas sebagai pemberi bantuan hukum, tak mau melayani tuntutan Hendrik. Ia juga membantah pernyataan Hendrik kepada polisi yang mengatakan honornya Rp 5 juta. Berani sumpah, katanya, "saya hanya menerima Rp 1 juta." Sementara kantornya cukup laris, lanjutnya, "untuk apa saya menjelekkan nama sendiri hanya untuk uang Rp 1 juta?" Bahkan, sebagai pengacara, Kho Gin Tjan merasa punya kewajiban melaporkan kepada y ang berwajib bila sebelumnya ia tahu kebusukan kliennya. Diperalat Yang boleh menjadi pertanyaan: begitu mudahkah pengadilan diperalat oleh seseorang yang ingin dinyatakan pailit -- sekedar untuk menghindari tagihan? Hakim Benyamin tentu saja menjawab tidak! Pengadilan, katanya, harus menempuh beberapa tatacara. Mula-mula, kata Benyamin, keterangan masing-masing pihak--kreditur dan debitur--didengarkan. Bukti utangpiutang juga diperhatikan. Sebagai langkah pengamanan, tambah Benyamin pula, uang di bank dan harta milik calon yang akan dinyatakan pailit dikuasai pengadilan. Keputusan pailit berikutnya juga diumumkan di koran. Yang keberatan boleh segera mengajukan bantahan atau gugatan ke pengadilan. Bila semuanya beres, barulah Balai Harta Peninggalan membagi-bagikan kekayaan pailit tersebut, kepada siapa saja yang dapat membuktikan punya piutang. Bahwa, ada yang memanfaatkan prosedur hukum untuk menipu, kata Bcnyamin, "itu sih bisa saja." Iapi, katanya, sebenarnya ia tak melihat suatu celah pada hukum yang mengatur kepailitan yang mungkin dimanfaatkan penipu. " 'Kan keputusan pailit diumumkan di koran--dengan itu semua orang dianggap tahu dan bisa mengajukan bantahan bila keberatan atau merasa tertipu." Namun, terhadap kasus Hendrik dkk, menurut Benyamin, sampai sekarang toh belum ada pihak yang melakukan intervensi --kecuali cuma melapor kepada polisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus